BANDA ACEH – Di dalam keutuhan sebuah negara atau wilayah, agama dan budaya (akademisi dan teungku dayah) harus jalan beriringan demi mencapai sebuah kegemilangan di masa yang akan datang.
Demikian kata tokoh Aceh, Nur Djuli, dalam bincang kebudayaan yang bertema “Hubungan Aceh dan Afrika” di Sultan II Selim ACC Banda Aceh, Sabtu tanggal 12 Maret 2016. Acara ini dilaksanakan oleh salah satu organisasi antarbangsa, PuKAT (Pusat Kebudayaan Aeh-Turki), dan manajemen Sultan II Selim ACC.
“Cobalah para akademisi dan Tengku dayah bersatu dalam lingkaran yang kuat, kerana kita tahu setelah masuknya belanda ke Aceh barulah adanya sistem belajar-mengajar di sekolah-sekolah. Tidak lagi di dayah,” kata Nur Djuli.
Nur Djuli mengatakan, adat dalam artian keacehan adalah berbeda jauh dengan arti adat yang diartikan oleh mereka, selain orang Aceh. Dalam prinsip bernegara, adat Aceh merupakan ikatan dari agama dan budaya.
“Seorang raja (pemimpin) haruslah didampingi oleh seorang yang alim, (tahu agama),” ujar pria yang pernah menjadi aktor dalam hal perjuangan Aceh.
Acara tersebut dihadiri oleh para seniman, akademisi dan beberapa tamu luar negeri yang tidak pernah disangka akan kehadiran mereka seperti profesor Hasbi Amiruddin, dan profesor Darwis A Soelaiman.
Acara ini dimulai pukul 14:30 WIB, dibuka dengan penampilan group nasyid SAHLONBA. Setelah group nasyid itu selesai menampilkan dua lagu, langsung dilanjutkan acara bincang kebudayaan itu, dimulai oleh keynote speaker, Dr Mehmet Ozay.
Setelah Mehmet Ozay memberi pengantar acara dalam bahasa Inggris, Ariful Azmi Usman yang menjadi pemandu (moderator) mempersilakan pemateri Nur Djuli, dan aktivis senior, Juanda Djamal. Acara ini turut dihadiri beberapa media, dan didokumentasikan oleh tim kamera person Discover Studio.[]
Penulis: Syukri Isa Bluka Teubai, Alumnus Sekolah Hamzah Fansuri (ASHaF)