KUTACANE – Panitia Pertandingan Cabang Olahraga Arung Jeram PON XXI Aceh-Sumut melarang belasan wartawan mengambil gambar dari jarak dekat saat penyerahan medali kepada atlet di venue arung jeram, di Ketambe, di Aceh Tenggara, Minggu, 15 September 2024.
Larang tersebut disampaikan panitia PON menggunakan pengeras suara sehingga didengar ramai warga. Panitia itu menyampaikan hanya juru foto dari Dinas Kominfo Agara dan pihak Federasi Arung Jeram Indonesia ( FAJI) yang ditugaskan secara khusus boleh mengambil gambar jarak dekat. Sedangkan para wartawan dilarang mengambil gambar dan visual dari jarak dekat. Alasannya supaya tidak terganggu saat penyerahan medali.
“Wartawan dipersilakan mengambil gambar dari jarak jauh, dan hanya petugas Kominfo dan FAJI yang boleh mengambil gambar dari dekat,” kata salah seorang panitia melalui alat pengeras suara.
Atas larangan itu, sejumlah wartawan berupaya mengambil gambar dari jarak jauh, lalu meninggalkan lokasi tersebut dengan rasa kecewa.
“Untuk apa kami memiliki kartu tanda pengenal yang dikeluarkan oleh Panitia Besar PON jika dalam setiap momen seperti pengalungan medali kepada pemenang lomba arung jeram tidak diperbolehkan mengambil gambar? Ada apa dengan Kominfo dan FAJI yang diberi akses secara khusus,” kata Lantra, wartawan tvOne dan wartawan lainnya kepada portalsatu.com, Minggu (15/9).
“Jika ini ini memang SOP dari PON XXI, kenapa pihak Kominfo dan FAJI diperbolehkan mengambil gambar dari jarak dekat, ini kami anggap diskriminasi,” tambah Lantra.
Atas kejadian ini, Lantra dan sejumlah wartawan lainya minta penjelasan Panitia Arung Jeram PON XXI terkait kebebasan pers agar lebih leluasa melakukan liputan.
Ketua PWI Aceh Tenggara, Sumardi menyayangkan sikap panitia PON atas kejadian itu. “Kami mengecam keras terhadap tindakan panitia PON sudah melanggar kebebasan pers. Melarang wartawan saat melaksanakan tugas jurnalistik bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yakni Pasal 18 Ayat (1), di mana menghalangi wartawan melaksanakan tugas jurnalistik dapat dipidana dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp500 juta,” ujarnya.[](Supardi)