Kamis, Oktober 3, 2024

Tiga Alasan Jack Gayo...

BLANGKEJEREN - Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Kabupaten Gayo Lues Jack Gayo...

Deklarasi Pilkada Damai di...

SUBJLUSSALAM - Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Subulussalam melaksanakan acara Deklarasi Pilkada Damai...

Gajah Liar Ubrak-Abrik Kebun...

ACEH UTARA - Kawanan gajah liar mulai memasuki perkebunan warga di Dusun Batee...

Ketua KIP Subulussalam Ajak...

SUBJLUSSALAM - Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Subulussalam melaksanakan acara Deklarasi Pilkada Damai...
BerandaHeadlineSalahkah Jika Tak...

Salahkah Jika Tak Mampu Membaca ‘Mushaf’ Al-Quran

Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, Ph.D., Dosen Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe

Perbincangan seputar kompetensi baca al-Quran masih terus bergulir dari mulut ke mulut, dan pastinya di sejumlah media sosial. Bahkan ada video yang sempat menyebar di salah satu platform media sosial, terang-terangan menyatakan, “kami takkan mendukung “saudara fulan” karena mendukung orang yang tak bisa baca Quran. Soal kualifikasi baca Quran ini pastinya akan menjadi barang dagangan laris saat kampanye (black campaign) nanti. Oleh itu, penting rasanya menyampaikan sedikit pandangan soal tema ini, kiranya menjadi pembanding atau bahan diskusi tambahan terhadap apa yang selama ini berkembang dan menjadi keyakinan masyarakat luas.

Sebelumnya perlu diperjelas, apa yang dimaksud dengan “membaca al-Quran”…? Bagaimana seseorang dikatakan mampu membaca al-Quran, atau tidak. Jika yang dimaksud dengan membaca al-Quran adalah kemampuan melafalkan huruf, kata dan kalimat “yang tertulis dalam mushaf” al-Quran sesuai dengan ketentuan ilmu tajwid, maka akan ada banyak sekali umat Islam yang tak bisa baca al-Quran. Orang pertama yang masuk dalam kategori ini adalah Rasulullah saw, di mana beliau dikenal sebagai orang yang ummi (tidak pandai tulis baca). Fakta ini disebutkan dalam salah satu firman Allah, “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka…”, (al-A’raf: 157). Ayat ini menurut Ibnu Katsir menegaskan sifat nabi yang ummi, yang sudah dikenal sejak zaman Taurat.

Adalah Abdullah Ibnu ‘Abbas sebagaimana dinukil oleh al-Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan, nabi kalian adalah seorang yang ummi, tidak punya kemampuan menulis dan membaca, juga tidak pandai ilmu hitung. Allah berfirman, “dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Quran) sesuatu kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu)”, (al-Ankabut: 48).

Dalam beberapa riwayat disebutkan, bahwa saat mula-mula wahyu turun, saat Jibril datang dengan wahyu pertama, yaitu lima ayat dari surah al-‘Alaq, ketika diperintahkan untuk membaca, Rasulullah menjawab, “saya tidak pandai membaca”. Jawaban tersebut secara spontan keluar dari lisan nabi karena beliau mendapati Jibril datang dengan secarik kain sutra yang di atasnya tertulis lima ayat surah al’Alaq, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan”…dan seterusnya. Beliau menyangka diperintahkan membaca apa yang tertulis di kain tersebut. Otomatis jawaban yang keluar adalah, “saya tidak pandai membaca”. Karena beliau memang tidak bisa membaca yang tertulis. Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam bukunya Fathul Bari.

Bahkan menurut sebagian ulama tafsir, sebagaimana dinukil oleh imam Suhaili, maksud dari “kitab” yang ada dalam ayat kedua surah al-Baqarah “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”, (al-Baqarah: 2) merupakan isyarat kepada tulisan (kitab) yang dibawa Jibril saat datang dengan wahyu pertama di Gua Hira’.

Penjelasan di atas menegaskan bahwa nabi tak pandai baca tulisan al-Quran. Atau dalam bahasa imam Suhaili, nabi tak pandai baca kitab al-Quran. Di mana kitab itu dimaknai sebagai “tulisan”. Ketidakmampuan nabi membaca berterusan hingga beliau wafat. Begitu diyakini oleh kebanyakan ulama umat ini. Adapun hadis-hadis yang menyebutkan bahwa nabi menulis, itu semuanya ditakwil dengan perintah tulis. Artinya nabi memerintahkan sahabatnya menulis, bukan beliau sendiri yang menulis. Walaupun tulisan itu kemudian dinisbahkan kepada tulisan nabi.

Seterusnya termasuk orang yang tak pandai baca Quran dalam konteks definisi di atas adalah sejumlah besar sahabat nabi. Mereka adalah orang-orang yang dikenal dengan ummiyun, atau orang yang tak pandai tulis baca. Allah berfirman, “dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf (ummiyun) seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”, (al-Jumu’ah: 2).

Tradisi Membaca al-Quran Dalam Islam

Oleh karena itu, jika definisi membaca al-Quran berhenti pada ketrampilan atau kecakapan melafalkan apa yang tetulis dalam mushaf, maka saya sendiri – jika memang tak mampu – takkan merasa risih dengan kondisi tersebut. Karenanya Syaikh Ibnu ‘Asyur saat menjelaskan firman Allah “iqra’” dalam tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir mengatakan, membaca adalah melafalkan perkataan tertentu, apakah perkataan itu tertulis adanya atau yang dihafal. Artinya seseorang yang membaca sebuah tulisan atau membaca apa yang ada dalam hafalannya itu dianggap sama-sama membaca. Seorang imam shalat, ia dikatakan membaca al-Quran meskipun bacaannya didasarkan pada hafalannya bukan melihat mushaf. Begitulah yang terjadi pada nabi dan para sahabat. Semua mereka adalah orang-orang yang pandai dan fasih membaca al-Quran. Mereka membaca apa yang terhafal di kepala (hati) mereka, bukan membaca pada mushaf. Sehingga terkenal dengan satu ungkapan, “kaum yang Injil mereka ada di hati-hati mereka”.

Ungkapan di atas menjelaskan tentang bagaimana sahabat nabi membaca al-Quran. Yaitu membacanya tanpa melihat pada mushaf. Bahkan hal itu menjadi ciri sahabat nabi yang kemudian membedakan mereka dengan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang membaca Taurat dan Injil melalui tulisan-tulisan, bukan lewat hafalan.

Semua umat Islam sadar sejarahnya, sejarah bagaimana al-Quran diriwayatkan dari generasi ke generasi sejak awal Islam. Mula-mula Jibril datang kepada nabi Muhammad, membacakan kepadanya al-Quran, nabi mendengar dan menghafalnya. Allah menceritakan bagaimana peristiwa itu terjadi. “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu”, (al-Qiyamah: 18). Nabi tidak pernah membaca yang tertulis, tapi membaca dan menghafal dari apa yang didengar. Di ayat lain Allah berfirman, “dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Quran sebelum disempurnakan wahyunya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan“, (Taha: 114).

Begitulah seterusnya nabi mengajarkan membaca al-Quran kepada umatnya, yaitu dengan memperdengarkan bacaan yang benar kepada mereka, baik saat beliau mengimami shalat, khutbah atau munasabah lainnya. Allah memuliakan para sahabatnya, mereka tidak butuh tenaga lebih untuk mengingat dan memasukkan apa yang didengar dari nabi dalam memori mereka. Tinggal saja kebersamaan mereka dengan nabi yang kemudian membuat mereka memiliki jumlah hafalan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Semakin sering dan intens seorang sahabat dengan nabi semakin banyak hafalannya, sebaliknya, semakin sedikit perjumpaan dan kebersamaannya dengan nabi hafalannya juga akan sedikit.

Nabi tak pernah mempersoalkan sahabatnya yang tak pandai membaca al-Quran pada mushaf. Semua yang yang menjadi perhatian nabi adalah seberapa banyak hafalan al-Quran yang ada pada mereka. Suatu hari seorang perempuan datang kepada nabi menawarkan dirinya untuk dinikahi, namun nabi kurang berkenan dengan perempuan tersebut. Melihat kondisi itu seorang sahabat bangun menghampiri nabi dan berkata, nikahkan saya dengannya ya Rasulullah. Beliau bertanya apa yang engkau miliki untuk dijadikan mahar, laki-laki tersebut mengaku tidak memiliki apapun, meski cincin dari besi sekalipun. Kemudian nabi bertanya, “adakah al-Quran bersamamu..?”. laki-laki itu menjawab, ia. Dia kemudian menyebutkan sejumlah surah yang dihafalnya. Nabipun kemudian menikahkannya dengan hafalan tersebut sebagai mahar, (HARI: Bukhari).

Lebih dari itu nabi bersabda, “orang-orang yang dalam dirinya (hatinya) kosong dari al-Quran diibaratkan seperti rumah yang roboh”, (HR: Tirmizi). Artinya seseorang tidak cukup hanya mengafal tanpa menjadikan al-Quran itu hidup di hatinya. Karena saat al-Quran hidup di hatinya, al-Quran akan menghiasi kehidupannya. Itulah tujuan dari hadirnya al-Quran sebagaimana diungkapkan oleh Aisyah, “akhlak nabi itu al-Quran”. Artinya kehidupan Rasulullah itu dihiasi oleh nilai-nilai dan norma-norma al-Quran. Menghiasi perilaku sehari-hari dengan nilai-nilai al-Quran sama sekali tidak bergantung hanya pada kemampuan membaca “tulisan” mushaf.

Maka oleh karena itu tidak cukup jika hanya menguji kemampuan baca “tulisan” al-Quran pada mushaf, apalagi untuk mengatakan seseorang tak pandai baca al-Quran jika tidak mahir membaca tulisan al-Quran. Bila perlu ada ujian hafalan al-Quran. Lihat berapa ayat atau surah al-Quran yang dihafal oleh seorang kandidat dan seberapa fasih bacaannya. Karena sangat mungkin saat ia tak fasih baca tulisan, ia mampu membaca hafalannya dengan fasih, layaknya seorang imam dalam shalat misalnya. Atau jika perlu karena ini konteksnya memilih pemimpin, sekalian saja uji kemampuan shalatnya. Lihat bagaimana bacaan iftitah-nya, bacaan al-Fatihah-nya, bacaan surah setelah al-Fatihah. Bila perlu semua bacaan shalat hingga salam. Karena seorang pemimpin dalam Islam tidak hanya dituntut memiliki kesanggupan menggerakkan rakyatnya dan pandai berorasi di lapangan, tapi juga mampu menjadi imam shalat di mesjid.

Akhirnya, celotehan dan coretan singkat ini sama sekali tidak bertujuan untuk menegasikan atau mendiskreditkan orang-orang yang pandai membaca al-Quran melalui mushaf, atau sebaliknya membela yang tak pandai baca al-Quran pada mushaf. Umat Islam selalu dituntut ideal, dan yang ideal itu adalah ketika seseorang mempunyai kemampuan membaca pada mushaf, juga memiliki sejumlah hafalan atau bahkan menghafal seluruh ayat al-Quran. Sehingga ia bisa membaca kapanpun dan di manapun serta dalam kondisi apapun. Namun lebih penting dari sekadar membaca, baik melalui hafalan maupun tulisan (mushaf) adalah kemampuan dan komitmen mengaktualisasikan nilai-nilai dan spirit al-Quran dalam realitas kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungannya dengan Allah (hablum minallah) maupun masyarakat (hablulm minannas), baik dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin maupun rakyat biasa. Wallahua’lam.[]

Baca juga: