BerandaOpiniPemilu Berkualitas Tanpa Politik Uang

Pemilu Berkualitas Tanpa Politik Uang

Populer

Oleh: Munawwar*

Pesta demokrasi di Indonesia akan dihelat pada tahun 2024. Kontes demokrasi kali ini memiliki perbedaan apabila dibandingkan dengan pesta demokrasi sebelumnya. Pemilihan umum (pemilu) kali ini diselengggarakan serentak untuk level eksekutif maupun legislatif. Pemilu yang diimpi-impikan masyarakat adalah pemilu berkualitas. Pemilu berkualitas tidak akan datang begitu saja, tetapi perlu didesain sedemikian rupa.

Eklit dan Reynold dalam artikel “Konstruksi Indikator dan Formula Penilaian Kualitas Pemilihan Umum di Indonesia” menguraikan sebelas indikator mengukur kualitas pemilu: pertama, regulasi; kedua, kualitas penyelenggara; ketiga, konstituen; keempat, pendidikan pemilih; kelima, penyusunan DPT; keenam, lokasi TPS; ketujuh, aturan kampanye; kedelapan, partisipasi pemilih; kesembilan, proses penghitungan suara; kesepuluh, penyelesaian sengketa; dan kesebelas audit hasil pemilu.

Hal hampir serupa juga disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat, Yusfitriadi, dalam Seminar Publik Bersama Mengawal Putaran Dua Pilkada dengan tema: “Jakarta: Pemilih Jakarta Antipolitik Uang”, di Jakarta, 13 September 2012. Yusfitriadi menyebut lima indikator untuk mengukur kualitas pemilu, yakni: pertama, independensi penyelenggara birokrasi; kedua, independensi birokrasi; ketiga, adanya partisipasi pemilih yang tinggi disertai kesadaran dan kejujuran dalam menentukan pilihannya dengan rasa tanggung jawab dan tanpa paksaan; keempat peserta pemilu melakukan proses penjaringan bakal calon yang demokratis dan berkualitas dan tidak menggunakan politik uang (money politic) dalam semua tahapan pemilu; kelima, terpilihnya eksekutif dan legislatif yang memiliki legitimasi yang kuat dan berkualitas. Jadi, masyarakat, penyelenggara, pengawas, dan peserta pemilu memiliki peranan yang penting dalam mewujudkan pemilu berkualitas.

Money Politic Benalu Demokrasi

Money politic atau politik uang telah menjadi benalu terhadap pelaksanaan pesta rakyat. Pesta rakyat seharusnya sesuai dengan hati nurani masyarakat. Masyarakat dapat menggunakan hak suaranya untuk memilih yang terbaik menurut mereka bukan karena ada imbalan materi ataupun suara mereka dibeli.

Dedi Irawan seorang peneliti dalam jurnal “Studi tentang Politik Uang (Money Politic) dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014: Studi Kasus Di Keluruhan Sempaja Selatan”: mengungkapkan bahwa politik uang sering dilakukan dengan cara serangan fajar dan mobilisasi massa. James Pollock Gubernur Pennsylvania ke-13 dari tahun 1885-1858 pun tidak ketinggalan menanggapi praktik politik uang pada zamannya dengan mengungkapkan hubungan antara uang dan politik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi dan pemerintahan.

Lalu bagaimana dengan pesta demokrasi di Aceh baik itu Pemilu legislatif 2014, Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2017 sampai Pemilu 2019. Apakah pernah terindikasi dengan praktik politik uang?

Masyarakat sipil yang mengabungkan diri dalam Jaringan Pemilu Aceh (JPA), melaporkan bahwa Pemilu legislatif 2014 sarat politik uang. JPA terdiri dari Aceh Sipil Society Taskforce (ACSTF), Aceh Institute, Forum LSM Aceh, LBH Banda Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), dan Solidaritas Perempuan Aceh JPA. Hafidh Juru Bicara MaTA mewakili JPA, yang disiarkan kompas.com, 4 November 2014, menyampaikan praktik politik uang menyebar di berbagai Kabupaten/Kota, dan dilakukan juga oleh calon legislatif (caleg) dan tim sukses dari berbagai level. MaTA menemukan setidaknya ada tiga kasus terkait politik uang dilakukan caleg untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), DPR Aceh, DPR kabupaten dan timses partai politik (parpol) baik parpol nasional dan lokal. Menurut Hafidh, seorang caleg dari salah satu partai nasional (parnas) tertangkap tangan membagikan uang kepada masyarakat dari rumah ke rumah pada pukul 22.00-23.00 WIB sebelum pelaksanaan Pemilu legislatif 2014.

Laporan lainnya diterima MaTA seorang caleg DPR-RI didapati membagikan paket dan di dalam paket tersebut berisi uang Rp50.000 dan diedarkan dari satu lapas ke lapas lainnya di kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar. Praktik politik uang juga dilakukan partai lokal (parlok) di kawasan Pulo Seupeng, Kecamatan Keumala, Kabupaten Pidie, dengan membagikan uang Rp50.000-Rp100.000 sambil menginstruksikan masyarakat untuk mengingat nomor urut dan nama caleg dari partai tersebut.

Pada Pilkada Provinsi Aceh 2017, menurut laporan Koalisi Pemantau Pilkada Aceh terdapat berbagai bentuk pelanggaran, salah satu politik uang. Praktik politik uang juga berembus di Kabupaten Aceh Tengah, tim kuasa hukum pasangan calon Bupati-Wakil Bupati Aceh Tengah Shabel Abubakar-Firdaus melaporkan dugaan politik uang kepada Panitia Pengawas (Panwas) Kabupaten Aceh Tengah.

Pemilu 2019 juga ternodai praktik money politic sebagaimana dilaporkan Wildan Koordinator Divisi Humas dan Hubungan Antarlembaga Panwaslih Bireuen pada 16 April 2019. Timses calon anggota DPRK Bireuen dari salah satu parnas diduga melakukan politik uang dengan membagi-bagikan uang kepada masyarakat setempat. Kejadian ini diperkirakan dilakukan pada 12 April 2019. Timses tersebut mendatangi keluarganya serta menyuruh memilih caleg tersebut dengan imbalan uang Rp100.000. Kemudian keluarganya mengajak keluarga lainnya. Panwaslih Bireun mengamankan barang bukti uang Rp1,4 juta yang akan dibagikan.

Politik uang adalah benalu demokrasi. Benalu menempel pada pohon inangnya dan mengisap nutrisinya perlahan-lahan hingga akhirnya si inang menjadi “hidup segan mati tak mau”, atau bahkan mati. Begitulah praktik politik uang yang menggerogoti sistem demokrasi kita.

Pemilu Berkualitas Tanpa Politik Uang

Kualitas pemilu yang baik menjadi harapan seluruh masyarakat. Pemilu adalah mekanisme yang digunakan negara Indonesia dalam melakukan pergantian kepemimpinan pada level eksekutif maupun legislatif. Mekanisme ini amat menentu arah kebijakan. Apabila prosesnya diwarnai dengan politik uang maka akan amat berpengaruh terhadap sosok yang dihasilkan. Masyarakat harus menolak praktik politik uang. Politik uang jelas-jelas salah baik berdasarkan norma hukum maupun agama.

Pemimpin yang lahir dari politik uang secara jangka panjang berpengaruh pada regulasi atau kebijakan yang dikeluarkan eksekutif maupun legislatif. Tidak heran apabila Daniel Dhakidae seorang jurnalis dan akademisi Indonesia menyampaikan bahwa politik uang merupakan mata rantai dari terbentuknya kartel politik. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Banyak kebijakan yang akan dihasilkan dalam rentang waktu tersebut. Masyarakat memang tidak akan berubah secara profesi. Contohnya petani, setelah mengunakan hak pilihnya ia tetap akan menjadi petani. Namun, apabila pemimpin terpilih merupakan pemimpin berkualitas maka akan ada terobosan kebijakan yang memihak kepada petani juga. Contohnya, memberikan bantuan pupuk, traktor dan sebagainya. Termasuk proses pemasaran padi dapat dijembatani oleh pemimpin tersebut.

Begitu juga dengan pekerjaan lain, misalnya tukang becak. Ada kebijakan yang membantu tukang becak dalam hal ini, seperti memberikan subsidi yang berbeda kepada tukang becak sehingga berpengaruh terhadap harga yang perlu dikeluarkan tukang becak saat membeli bahan bakar. Tentunya akan berbeda yang terjadi apabila tukang becak dan petani itu menggunakan hak pilihnya kepada orang yang sudah melakukan politik uang kepadanya. Saat orang tersebut terpilih maka ia tidak akan memiliki kepedulian kepada petani dan tukang becak tersebut. Karena ia sudah membayar (membeli) suara.[]

*Penulis adalah guru PPKn SMP Methodist Banda Aceh dan anggota Komunitas JW Banda Aceh

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita terkait

Berita lainya