Kita sudah lama lupa akan Bukit Tengkorak, Buket Seuntang, Kampung Janda, Jambo Kupok, Ara Kundoe, bahkan mungkin Simpang KKA, juga Rumoh Geudong. Semua itu adalah bara dari api sejarah yang dipadamkan, tersisa hanya abu masa lalu.
Aceh tampaknya akan selalu berada dalam kecelakaan sejarah. Generasi Aceh masa depan hanya akan disuguhkan abu masa lalu, tanpa mengetahui bara dari api sejarah itu sendiri. Termutakhir semisal Rumoh Geudong di Gampong Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie.
Rumoh Geudong pernah dijadikan Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) TNI Sektor A, Pidie selama pemberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh sepanjang 1990 hingga 1998. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2018 silam menegaskan bahwa rumah itu sebagai tempat terjadi pelanggaran HAM berat oleh aparat negara.
Kasus pelanggaran HAM berat itu disebut akan dituntaskan penyelesaiannya oleh pemerintah, setelah Komnas HAM bersama Kejaksaan Agung dan Kementeri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan menyepakati untuk menuntaskan 11 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Dari 11 kasus itu, tiga terjadi di Aceh, yakni kasus penyiksaan warga di Rumoh Geudong, penembakan massal di Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) Aceh Utara pada tahun 1999, serta pembantaian warga di Jambo Kupok, Aceh Selatan tahun 2003.
Kini Rumoh Geudong kembali menjadi topik pembicaraan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan berkunjung ke sana. Area itu dibersihkan, sisa-sisa Rumoh Geudong pun hilang, yang kemudian mendapat kecaman dari banyak pihak. Rumah yang menjadi locus delicti pelanggaran HAM berat oleh aparat negara itu kini tak lagi berbekas.
Penghilangan bukti sejarah kelam konflik Aceh dengan Pemerintah pusat ini bukanlah pertama kali terjadi di rumah penyiksaan tersebut. Sebelumnya pada 20 Agustus 1998 Rumoh Geudong dibakar masyarakat yang tersulut emosinya atas peristiwa yang terjadi di rumah itu. Pembakaran dilakukan dua pekan setelah Panglima ABRI Jenderal Wiranto mencabut status DOM Aceh pada 7 Agustus 1998.
Penyanyi Aceh, Sabirin Lamno kemudian mengabadikan peristiwa pembakaran itu dalam lagu Misteri Rumoh Geudong. Pada salah satu baitnya, ia menulis:
Lheuh nyan geutanyoe deungo misteri Rumoh Geudong
Rumoh nyan di Bili Aron Kecamatan Geulumpang Tiga
teutapi jinoe hana le rumoh nyan ka habeh tutong
kajitot le ureueng gampong ngon tanoh ka abeh rata.
Rumoh Geudong sejatinya adalah rumah milik Uleebalang Ampon Raja Lamkuta yang dibangun pada tahun 1818. Pada masa perang kolonial Belanda di Aceh, rumah yang juga disebut sebagai Rumoh Raya itu dijadikan tempat mengatur strategi perang. Setelah Raja Lamkuta wafat, rumah itu diwariskan secara turun temurun kepada Teuku Cut, Teuku Keujruen Husein, dan Teuku Keujruen Gade.
Pada April 1990, Rumoh Geudong yang sudah kosong ditempati prajurit TNI tanpa diketahui pemiliknya. Maka tragedi penyiksan warga pun terjadi.
Dyah Rahmany P dalam buku Rumoh Geudong: The Scar of The Acehnese diterbitkan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan bersama penerbit Cordova di Jakarta mengungkapkan, Komnas HAM dalam penyelidikan mendalam dari 65 saksi menyimpulkan bahwa tragedi Rumoh Geudong merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang menyalahi Pasal 9 Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Adapun bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan tentara di Rumoh Geudong berupa penyiksaan, pemerkosaan, dan kekerasan seksual lainnya. Penyiksaan-penyiksaan dialami masyarakat Aceh, tidak hanya yang terjadi di Rumoh Geudong tapi juga di tempat lainnya di Aceh, kemudian diabadikan oleh Al Chaidar bersama Yarmen Dinamika dan Sayed Mudhahar Ahmad dalam buku Aceh Bersimbah Darah. Buku ini kemudian dilarang beredar oleh pemerintah.
Kasus pelanggaran HAM berat kedua, tragedi Jambo Kupok di Kecamatan Bakongan, Kabupaten Aceh Selatan. Ini juga abu masa lalu dari api sejarah yang dipadamkan. Peristiwa ini terjadi 17 Mei 2003, sehari sebelum Darurat Militer (DM) diberlakukan di seluruh Aceh. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat tragedi itu sebagai pelanggaran HAM berat, karena 16 penduduk sipil mengalami penyiksaan, penembakan dan pembunuhan, serta pembakaran di luar proses hukum (extrajudicial killing).
Boy Abdaz dalam buku Proses Damai Aceh Model Resolusi Konflik Indonesia yang juga mengutip rilis KontraS mengungkapkan, peristiwa itu bermula dari informasi seorang cuak (informan) kepada aparat TNI bahwa pada tahun 2001-2002 Gampong Jambo Kupok termasuk salah satu desa yang menjadi basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Informasi itu ditindaklanjuti aparat negara dengan melakukan razia dan penyisiran ke desa-desa sekitar dalam Kecamatan Bakongan.
Puncaknya pada 17 Mei 2003, sekitar pukul 07.00 WIB, tiga truk reo mengangkut pasukan berseragam militer dengan memakai topi baja, sepatu lars, membawa senjata laras panjang dan beberapa pucuk senapan mesin mendatangi Desa Jambo Keupok. Mereka memaksa seluruh pemilik rumah untuk keluar. Lelaki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak dikumpulkan di depan sebuah rumah.
Warga diinterogasi satu persatu untuk menanyakan keberadaan GAM. Ketika warga menjawab tidak tahu, mereka langsung dipukul dan ditendang. KontraS mencatat, peristiwa tersebut mengakibatkan empat warga sipil meninggal dengan cara disiksa dan ditembak, 12 warga sipil meninggal dengan cara disiksa, ditembak dan dibakar hidup-hidup, tiga rumah warga dibakar, satu orang perempuan terluka dan pingsan terkena serpihan peluru, empat perempuan ditendang dan dipopor dengan senjata. Peristiwa ini juga membuat warga harus mengungsi selama 44 hari ke sebuah masjid karena takut hal itu akan kembali terjadi di desa mereka.
Kemudian kasus pelanggaran HAM berat ketiga di Aceh, tragedi di Simpang PT Kertas Kraft Aceh (KKA). Peristiwa yang dikenal sebagai Insiden Dewantara atau Tragedi Krueng Geukueh ini menewaskan 46 warga sipil, tujuh di antaranya anak-anak, 156 orang mengalami luka tembak, dan 10 orang dinyatakan hilang.
Peristiwa bermula dari hilangnya anggota TNI dari Kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom pada 30 April 1999. Pencarian dilakukan, sasarannya ke Gampong Cot Murong, 20 warga ditangkap. Pada 3 Mei 1999, masyarakat melakukan unjuk rasa di Simpang KKA berdekatan dengan markas tentara. Lima warga diterima untuk menyampaikan aspirasi dan tututan, tapi tentara kemudian mengepung para pengunjuk rasa, dua truk tentara dari Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) yang dijaga Detasemen Rudal 001 dan Yonif 113/Jaya Sakti datang dari belakang. Para pengunjuk rasa ditembaki, maka terjadilah tragedi itu.
Kembali ke Rumoh Geudong. Berkaca pada penghilangan rumah tempat terjadinya pelanggaran HAM berat itu, beberapa tahun ke depan tampaknya kasus tersebut akan hilang dari ingatan generasi muda Aceh. Padahal, sebagai objek dari sejarah konflik Aceh dengan Pemerintah pusat, bangunan itu sangat bernilai. Berat untuk mewariskan kebenaran dari sejarah Rumoh Geudong. Kelak generasi Aceh akan susah mencari api dari bara sejarah itu. Mereka hanya akan menemukan abu masa lalu, karena informasi dan bukti tentang peristiwa itu telah hilang.
Namun, agar sejarah tidak menjadi dongeng, seberat dan sepahit apapun, sejarah itu harus diwariskan apa adanya. Tokoh sosialis Gane Goris mengatakan, “Kita harus mencari bara api sejarah, jangan pernah puas dengan abu masa lalu”. Sejarah bagi suatu daerah sangatlah penting, sebagaimana Allan Nevins menukilkan “History is actually a bridge connecting the past with the present and pointing the road to the future (Sesungguhnya sejarah merupakan sebuah jembatan penghubung masa lampau dan masa kini dan mengarahkannya ke masa depan”.
Ada motivasi yang ditinggalkan sejarah hingga harus terus dirawat oleh generasi pewarisnya. Begitu pentingnya sejarah, hingga Andrew Dicson White, presiden pertama American Historical Asociation pada tahun 1884 menekankan kegunaan langsung dari sejarah. Ulama tersohor Aceh Syekh Abbas Ibnu Muhammad yang lebih dikenal sebagai Teungku Kuta Karang juga menekankan pentingnya belajar dari sejarah dalam kitabnya Maw’idhat Al-Ikhwan.
Kita yang hidup pada zaman sekarang tak lekang dari masa lalu dengan ragam sejarahnya. Kita harus mempu menginterprestasikan sejarah kita sendiri untuk menjadi patron penggerak motivasi dalam melakukan hal-hal yang positif dan konstruktif, memahaminya dan kemudian menjadikannya sebagai timbangan masa depan. Sartono Kartodirjo mengatakan, “Setiap generasi berhak membuat interpretasi sendiri atas sejarahnya”. Maka kita juga harus mampu membaca sejarah kita untuk menjadikannya pijakan masa sekarang dan era akan datang.
Sebenarnya, penghilangan bukti sejarah bukanlah hal baru di Aceh. Bila tragedi Rumoh Geudong lahir dari rahim konflik Aceh dengan Pemerintah pusat, sebaliknya, bukti cinta dan harmonisasi Aceh dengan Republik Indonesia juga pernah dihilangkan di Aceh. Hampir semua orang Aceh tahu bahwa Presiden Soekarno pernah menangis di Aceh, meminta dibelikan pesawat untuk kebutuhan diplomasi. Namun, di mana peristiwa itu terjadi, jarang ada yang tahu.
Adalah European Hotel di tengah Taman Vreddespark, kini dikenal sebagai Taman Sari atau Taman Bustanussalatin, Kota Banda Aceh, di sisi selatan Masjid Raya Baiturrahman. Hotel ini dibangun Pemerintah Kolonial Belanda sekitar tahun 1880, yang kemudian berubah nama menjadi Atjeh Hotel. Salah satu ruangannya pernah dijadikan sebagai Kantor Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida), organisasi yang menghimpun dana rakyat Aceh untuk pembelian pesawat Dakota Seulawah RI 001.
Sayangnya, kini tak ada lagi sisa-sisa bangunan hotel tempat Presiden Soekarno menangis pada tahun 1948 di hadapan Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, Teungku Muhammad Daod Beureueh. Yang ada hanya fondasi bekas tangga depan hotel, sebagai pertanda bahwa di situ pernah berdiri bangunan bersejarah.
Begitu juga dengan penghilangan prasasti tempat Panglima Perang Belanda Mayor Jenderal JHR Kohler tertembak di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Proyek perluasan plaza masjid menyebabkan pohon geulumpang ditebang dan prasasti Kohler di bawahnya dihilangkan.[]