Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim*
Beberapa waktu lalu di tengah hiruk pikuk wacana revisi Qanun LKS, buntut dari macetnya layanan BSI sejak awal Mei kemarin, muncul pernyataan dari salah seorang pentolan partai lokal yang menegaskan bahwa pemerintah tak perlu terlalu jauh masuk dan mengatur hidup masyarakat, biarkan mereka memilih, tugas pemerintah cukup menjelaskan mana baik mana buruk. Dalam tanyangan video pendek yang sempat viral itu, ia berujar, “Biarlah masyarakat merdeka memilih, mau dia ke neraka atau ke surga, biarlah hak dia”. Tugas pemerintah menurutnya memberi tahu masyarakat, mana surga mana neraka. Ia kembali menekankan, “Jadi hak merdeka kepada masyarakat untuk masuk ke mana dia suka, yang mau api masuk ke neraka, dan yang mau dingin masuk ke surga”.
Ujaran “kepicikan” di atas menyiratkan sejumlah syubhat (kesamaran) yang sekilas terkesan logis, apalagi jika dikaitkan dengan jargon, “tidak ada paksaan dalam Islam”, maka menjadi “benarlah” ungkapan tersebut. Kalau memang demikian adanya bahwa tugas pemerintah hanya menjelaskan kepada rakyat mana baik mana buruk, setelah itu diserahkan sepenuhnya kepada mereka untuk memilih atas asas kemerdekaan atau kebebasan berkehendak, sementara pemerintah tidak punya wewenang mengintervensi rakyatnya apalagi memaksa, maka saya usul kepada pemerintah agar segera mencabut larangan penyalahgunaan narkoba dan sejenisnya, apalagi sampai memberi sanksi, tapi cukup menjelaskan kepada masyarakat bahwa sabu-sabu, ganja dan yang semisal dengannya merusak, biarkan mereka memilih. Begitu juga terhadap hal-hal buruk lainnya, silakan rakyat memilih. Ini jelas-jelas ngawur.
Penguasa yang Bertanggung Jawab
Saya pikir banyak di antara kita sangat popular dengan sebuah hadis nabi, “Siapa yang melihat kemungkaran hendaklah ia cegah dengan tangannya, jika tidak mampu maka cegahlah dengan lisannya, dan jika tak mampu juga, maka cegahlah dengan hatinya, yang demikian itu selemah-lemah iman” (HR: Muslim). Hadis ini secara sederhana menjelaskan fungsi pemerintah, cendikiawan, dan masyarakat saat mereka berdepan dengan kemungkaran (hal-hal yang merusak). Pemerintah menggunakan kekuasaannya (tangan), cendikiawan memanfaatkan ilmunya (lisan), adapun masyarakat awam cukup mengubah dengan membenci melalui hatinya. Hanya cendikiawan (ulama) yang bertugas menjelaskan. Adapun pemeritah mereka bisa bertindak lebih dari itu, menjelaskan, mengatur, dan bahkan menghukum bagi yang melanggar aturannya. Utsman bin ‘Affan dalam satu ungkapannya yang masyhur berkata, “Allah akan menghentikan keburukan seseorang melalui wewenang para penguasa, saat mana keburukannya tak mampu dihentikan oleh ajaran agama (al-Quran).
Saat berbicara tentang bagaimana menghentikan seseorang dari perbuatan buruk, Islam menawarkan tiga hal utama. Pertama akal (wazi’ jibilliy), di mana dengan akal manusia bisa menjadi baik, walaupun takkan sempurna. Sebagian orang hidup di zaman jahiliyah, mereka tidak terkontaminasi dengan budaya jahiliyah, tidak menyembah berhala, tidak mabuk, tidak berzina, dan lain-lain. Akal telah menjadikan mereka orang-orang yang terjaga fitrahnya (salimul fithrah). Namun dengan akal saja tak cukup, banyak hal tak mampu dimengerti oleh akal. Di samping tak semua orang bisa diharapkan baik jika hanya berpandukan akal, karena di sebelah akal ada nafsu. Karena itu agama (wazi’ diniy) hadir untuk mengisi relung hati mereka dengan pengetahuan yang jauh melampaui jangkauan akal, menanamkan kebaikan dan nilai-nilai sehingga menjadi seimbang. Namun ternyata, banyak orang tetap “jahat” meskipun hidup beragama. Dari sinilah urgensi keberadaan pemerintah (wazi’ sultaniy) atau lembaga yang memiliki otoritas memaksa manusia meninggalkan keburukan dan berjalan pada jalan yang baik. Ini maksud dari ungkapan Utsman bin ‘Affan di atas.
Benar bahwa Islam tidak memaksa siapapun untuk menjadi apapun. Seseorang bebas memilih menjadi baik atau buruk, bahkan Allah berfirman, “Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (al-Kahfi: 29). Di ayat lain Allah menegaskan, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” (al-Baqarah: 256). Namun perlu disadari bahwa, dua ayat ini tak bisa dimaknai apa adanya (literal). Keduanya memiliki konteks masing-masing yang perlu dipahami dengan benar, baik internal maupun eksternal. Karena jika tidak, tak mungkin nabi memerintahkan orang tua memukuli anaknya yang tak mau shalat, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadis, “Perintahkan anak-anakmu shalat kalau sudah beranjak usia tujuh tajun, dan pukullah (jika membangkang) saat mereka berumur sepuluh tahun” (HR: Abu Daud). Begitu juga nabi takkan mensyariatkan hukuman bunuh bagi yang murtad. Dalam sebuah hadisnya beliau bersabda, “Siapa yang menggantikan agamanya (Islam) maka bunuhlah dia” (HR: Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Majah, Nasa’i, dll.).
Pernyataan, “silakan masyarakat memilih, buruk atau baik, surga atau neraka”, mengesankan bahwa ajaran Islam ini seperti barang murahan dan tidak bernilai sama sekali sehingga bisa diobral sedemikian rupa. Karena sangat tidak logis—untuk konteks Aceh hari ini—ketika semua sepakat tentang keharaman suatu produk dari layanan sebuah perbankan misalnya, baik karena ada unsur riba, gharar atau maisir, sementara di sisi lain, telah tersedia produk yang sama dan diyakini bersama-sama kehalalannya, lalu pemerintah diam serta membiarkan masyarakat memilih sesuka hatinya. Justru dalam keadaan seperti itu pemerintah harus menentukan pilihan atas rakyatnya dengan mewajibkan mereka memilih yang halal, dan ini tak bisa dikatakan paksaan atau otoriter.
Saat menjelaskan al-Baqarah 256, Syaikh Sya’rawi menjelaskan bahwa ada hal-hal yang secara lahiriah terkesan memaksa, seperti orang tua yang memaksa anaknya minum obat, ini tidak masuk kategori paksaan menurutnya, melainkan kemaslahatan atau kebaikan yang dilakukan untuk sang anak. Ungkapan “silakan masyarakat memilih, baik atau buruk”, adalah logika sesat saat mana kebaikan dan keburukan itu sudah nyata (konsesus). Tidak ada manusia yang menginginkan hal buruk ketika mengetahui ada yang baik.
Penguasa yang Pragmatis dan Hedonis
Ungkapan “silakan pilih antara surga dan neraka” secara tidak langsung menunjukkan betapa murahnya harga agama di mata sebagian masyarakat Aceh, terutama kaum elite (para penguasa). Sesuatu yang menurut mereka boleh ditawar, boleh dipilih dan bahkan diobral. Mereka tak mempermasalahkan surga atau neraka, dalam bahasa lain, mereka tak menghiraukan soal “halal haram” asalkan bisnisnya lancar.
Penguasa yang dimaksudkan di sini bukan hanya para eksekutif atau legislatif, tapi termasuk para pengusaha (pemodal) yang sejatinya merekalah para penguasa. Para pengusaha ini ada di mana-mana, baik di pemerintahan maupun di luar “sistem” pemerintahan. Pengusaha di luar sistem mereka adalah orang-orang yang memodali dan mengendalikan para pejabat, dan yang di dalam sistem pemerintahan merekalah pejabatnya (oligarch). Tidak dapat dipungkiri bahwa yang namanya pengusaha di mana-mana orientasi mereka adalah keuntungan materil. Tidak ada istilah halal haram atau riba nonriba dalam kamus mereka. Mereka adalah orang-orang yang secara lantang berkoar-koar “berjuang demi rakyat”.
Kenyataan ini mengingatkan kita pada satu artikel lama yang ditulis oleh Tengku Adli Abdullah berjudul, “Perjuangan Berhenti di Kijang Innova, Talet Musoeh Tajoek Peukateun”. Sebuah nasihat kepada para pejuang, siapapun yang merasa dirinya sebagai pejuang, apalagi perjuangan yang mengatasnamakan rakyat. Tengku Adli menulis, “Para pejuang sejati tak akan “menuhankan” benda (uang dan fasilitas) yang tak sehat dalam hidupnya. Pejuang sejati jarang memiliki kekayaan yang amat banyak serta tidak mengedepankan kepentingan pribadinya. Dan biasanya mereka yang sudah mengenal uang akan disebut pembelot perjuangan. Mereka yang sudah mendapatkan fasilitas mewah atas nama perjuangan dinamai pejuang “cucumuk” rakyat. Karena bukan hanya merugikan kawan seperjuangannya tapi mengkhianati rakyat sebagai misi perjuangannya”.
Sejatinya, hari ini orang-orang yang berteriak atas nama rakyat, mereka tidak lain adalah para “pengusaha” yang hanya memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Balutan safari yang mereka kenakan atau jas berdasi mengesankan kepada publik bahwa mereka adalah orang-orang yang mengerti dan mumpuni mengurus negeri ini serta peduli pada nasib rakyat kecil. Padahal semuanya pencitraan (kebohongan). Kondisi ini sesungguhnya telah diisyaratkan oleh nabi dalam sebuah hadisnya, “Akan datang kepada umat Islam tahun-tahun yang penuh dengan kebohongan (post truth). Ketika itu para pendusta dibenarkan, sedangkan orang-orang jujur malah didustakan. Para pengkhianat (penipu) dipercaya manakala orang-orang jujur (amanah) dianggap pengkhianat. Saat itu para ruwaibidhah tampil ke publik (berbicara). Tiba-tiba ada sahabat bertanya, siapa itu ruwaibidhah wahai Rasulullah? Baginda menjawab, “Orang bodoh yang ikut mengurus urusan orang banyak” (HR: Ibnu Majah).
Di akhir tulisan saya ingin mengingatkan bahwa wajah suram kepemimpinan Aceh hari ini, mungkin juga Indonesia, atau bahkan umat Islam secara umum tak melulu harus menunjuk ke arah (menyalahkan) para pemimpin. Karena secara teori, rakyat yang baik akan dipimpin oleh orang baik, demikian sebaliknya. Jika hari ini kita merasa dipimpin oleh para pemimpin yang tidak pro rakyat, jelas ini ujian (musibah) buat kita, sedangkan Allah tidak menguji seseorang melainkan karena dosa-dosa yang diperbuatnya. Maka jika satu jari menuding para pemimpin, jangan lupa, empat jari sedang menunjuk diri kita sendiri. Pesannya, perbaiki diri, karena dari diri-diri yang baik akan lahir para pemimpin yang baik. Wallahua’lam.
* Muhammad Syahrial Razali Ibrahim adalah Dosen dan Dekan Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe, dan salah seorang Pimpinan Dayah Ma’had Ta’limul Qur’an (Mataqu) Ustman Bin Affan Lhokseumawe. Ia juga dikenal sebagai Teungku Balee di Lhokseumawe.