Minggu, September 8, 2024

Panwaslih Aceh Paparkan Hasil...

LHOKSEUMAWE - Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih/Bawaslu) Provinsi Aceh menggelar sosialisasi hasil pengawasan dan...

Pemkab Agara: Masyarakat Bisa...

KUTACANE - Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara menyatakan masyarakat bisa menonton pertandingan cabang olahraga...

Ulama Aceh Tu Sop...

JAKARTA – Inna lillahi wa innailaihi rajiun. Aceh berduka. Ulama kharismatik Aceh, Tgk....

Fraksi Megegoh Terbentuk Pada...

SUBULUSSALAM - Partai Aceh, Partai Nasdem, dan Partai Amanat Nasional (PAN) Kota Subulussalam hari ini...
BerandaSejarah Mengerikan tentang...

Sejarah Mengerikan tentang Pria-Pria yang Menyanyi seperti Perempuan

Countertenor muda adalah bintang-bintang baru musik klasik. Tapi fenomena abad 20 itu punya sejarah kelam.

Pertamanya, mungkin Anda tak mempercayai pendengaran Anda, saking uniknya suara yang dihasilkan seorang countertenor.

Mungkin Anda sudah sering mendengar pria menyanyikan nada tinggi yang biasa dinyanyikan soprano perempuan: contohnya, jika Anda pernah mendengar lagu Bee Gees, maka Anda sudah familiar dengan suara falsetto pria.

Tapi penyanyi countertenor klasik – suara yang kuat tapi terdengar murni seperti bidadari yang muncul dari seorang pria dewasa – akan membawa Anda ke suatu tempat yang berbeda. Suara itu unik, mencengangkan, dan sekali didengar tak akan bisa dilupakan.

Countertenor adalah fenomena vokal abad 20, dan sejarahnya yang panjang dan kadang mengerikan bisa dirunut sampai beberapa generasi ke belakang, dan kini di lansekap musik abad 21, menempati posisi yang menarik dan berbeda.

Meski para pionir countertenor seperti Alfred Deller, James Bowman, David Daniels dan Andreas Scholl banyak dipuji di dunia klasik, para pria yang secara profesional menyanyi di jangkauan vokal perempuan dulunya adalah hal yang jarang.

Bahkan 40 tahun lalu, hanya sedikit countertenor yang bisa bekerja secara reguler di panggung internasional.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, kemunculan penyanyi-penyanyi baru yang bertepatan dengan kebangkitan kembali repertoar baroque menuntut suara pria yang biasanya dinyanyikan oleh seorang ‘castrato’ atau penyanyi pria yang dikebiri pada saat kecil sehingga suaranya tetap murni (dan lalu, di masa yang lebih beradab, suara ini diisi oleh perempuan dengan mezzo-soprano).

Bintang-bintang generasi terbaru termasuk Anthony Roth Costanzo, asal Amerika berusia 33 tahun, “musisi yang sempurna” menurut Le Monde, yang baru-baru ini membuat kagum penonton di London dalam opera Akhnaten karya Philip Glass; penyanyi Prancis Philippe Jaroussky usia 38 tahun punya penggemar berat yang giat mengikutinya keliling dunia seperti halnya penggemar One Direction; lalu ada Bejun Mehta, penyanyi yang masuk nominasi Grammy, dan anggota keluarga musisi klasik paling terkenal di India (ayahnya adalah sepupu dari konduktor top, Zubin Mehta).

Lalu ada Iestyn Davies, penyanyi Inggris usia 36 tahun yang sudah memperoleh Grammy dan dua penghargaan Gramophone dan baru-baru ini berada di posisi dua dalam daftar bintang opera internasional “paling glamor” oleh The Telegraph, mengungguli tenor ternama Jonas Kaufmann dan diva yang spektakuler Anna Netrebko.

Tak terlalu buruk buat seorang lelaki asal York yang menyanyi seperti perempuan.

Tapi apa sebenarnya countertenor dan kenapa bisa menjadi begitu glamor?

‘Dewa rock’

“Suara itu bukan dihasilkan dari ‘modal’ atau suara berbicara yang normal, tapi jangkauan yang lebih tinggi yang terjadi saat kombinasi otot laring posisi pita suara yang diubah sedemikian rupa sehingga udara yang melewati pita suara menggetarkan lapisan luar yang lebih tipis,” kata Davies, saat transit singkat untuk sebuah konser di London di sela penampilan di New York dan Paris.

“Suara itu sering dianggap sebagai mirip perempuan, tapi sebenarnya semua laki-laki punya kemampuan untuk menghasilkan bunyi falsetto, dan beberapa orang memilih untuk melakukannya terus-terusan.”

Dengan bergurau, Davies berkata bahwa countertenor seperti Formula One buat penyanyi falsetto, “mereka menggunakan suara itu sepanjang menyanyi”.

Dalam pop, suara Barry Gibb dari The Bee Gees lebih soal “perpanjangan suara menyanyi tenor atau bariton si penyanyi. Jadi ketika melodinya terlalu tinggi atau ada keinginan untuk menampilkan kualitas nada tersebut, mereka mengeluarkan suara falsetto.”

Davies berbicara dengan suara alamiah yang bernada rendah dan ‘modal’ suara menyanyinya adalah bariton-bas, yang paling rendah.

Namun pada akhir masa remajanya, Davies mulai bereksperimen dengan bagian alto dalam latihan paduan suara sekolah. “Teman saya bilang kedengarannya bagus, dan saya harus menekuninya,” katanya.

“Itulah yang saya lakukan.”

Beasiswa paduan suara yang prestisius ke St John’s College, Cambridge pun dia peroleh, dan Davies melanjutkan ke studi pasca-sarjana di Royal Academy of Music, tempatnya menjadi salah seorang mahasiswa.

Dengan banyaknya permintaan dari semua panggung opera terkemuka dunia serta kesempatan konser, dan dengan jumlah album yang lebih banyak daripada usianya, Davies tak pernah menyesali keputusannya.

Namun jika kini countertenor menjadi pilihan karier yang menarik bagi penyanyi muda pria, sejarahnya dulu ternyata cukup kejam.

Sebagian besar peran gereja dan musik opera yang dinyanyikan oleh countertenor seperti Davies dulunya ditulis pada abad 17 dan 18 untuk castrato legendaris Carlo Broschi – atau dikenal sebagai Farinelli – dan rekan-rekannya: castrato adalah penyanyi pria yang dikebiri sebelum mereka mencapai usia pubertas agar suara mereka tetap terdengar tinggi dan murni.

Bahwa aksi barbar seperti itu bisa dibenarkan atas nama seni mungkin tak dipercaya di era modern ini, namun praktik tersebut terus menyediakan soprano dalam jumlah banyak bagi paduan suara kepausan dan istana bangsawan, dan di saat bersamaan mempertahankan pernyataan Santo Paulus yang mempesona, bahwa “perempuan harus diam di gereja”.

Pada abad 17, bukan hanya panggung di negara-negara di bawah pemerintahan Paus yang melarang perempuan tampil: hukum kesopanan publik juga melarang perempuan muncul di panggung pertunjukan.

Para castrato pun mengambil peran dalam seni baru yaitu opera. Pada abad berikutnya, seiring semakin populernya opera, permintaan akan kemunculan castrato yang berbakat pun meningkat: penyanyi seperti Farinelli pada masa itu seperti dewa rock, dan pemujanya tersebar di dataran Eropa.

“Satu Tuhan dan satu Farinelli!” adalah pujian atau ucapan yang populer pada masa itu.

‘Elemen menjijikkan’

Tentu saja, kini, kita tidak tahu seperti apa suara castrato yang sebenarnya (“Saya harus menjelaskan bahwa suara seperti itu tak lagi dilakukan sekarang!” kata Davies), tapi terlepas dari kekuatan jenis suara itu, kita sulit melupakan sejarahnya yang kejam.

Dalam profil terbaru di New York Times, Philippe Jaroussky mengakui bahwa suaranya yang seperti malaikat itu bisa memicu ‘rasa jijik’ dan mengatakan, “Benar, bahwa ada yang kedengarannya konyol bahwa suara ini muncul dari tubuh seorang pria dewasa.

Orang membahas countertenor seperti jenis kelamin lain, atau sesuatu yang menyerupai perempuan.”

Davies melihatnya dengan pragmatis. “Seperti halnya sesuatu yang baru atau berbeda, ketidaktahuan dari seseorang yang harus menghadapinya memunculkan rasa takut,” katanya.

“Sekarang tak masalah bagi kami, tapi pada 1950an saat Alfred Deller masih tampil, dia akan dikritik karena orang berpikir bahwa dia tak seharusnya dipekerjakan sebagai suara solo di panggung.”

Maka bersyukur kita sudah berubah, seiring dengan makin banyaknya penghargaan dan kesempatan yang menghampiri Davies.

Dia menjadi pria Inggris pertama yang memerankan Oberon di A Midsummer Night’s Dream versi Benjamin Britten yang tampil di Metropolitan Opera, New York (peran bersejarah yang dulu ditampilkan Deller).

Dan baru-baru ini Davies tampil di drama Farinelli and the King yang tampil di West End bersama peraih Oscar, Mark Rylance.

Lewat peran itu, Davies mendapat nominasi penghargaan Olivier dan, menurutnya, mungkin akan pindah ke panggung Broadway.

Davies juga tengah bersiap untuk menyanyi dalam penampilan perdana dunia opera baru Thomas Adès’, berjudul The Exterminating Angel atau Malaikat Pembasmi di Festival Salzburg pada musim panas, sebelum pindah ke London dan New York pada musim berikutnya.

Dengan banyaknya repertoar countertenor berasal dari tradisi musik gereja yang suci dan opera dari abad 17 dan 18, bekerja dengan repertoar baru tentu akan menarik.

“Sebagai seorang penyanyi modern yang bekerja di seluruh dunia, bahwa ada penggubah musik kontemporer yang menulis karya-karya baru dengan keterlibatan countertenor tentu sangat menguntungkan,” katanya.

“Kita kadang lupa seberapa pentingnya menghidupkan musik, bukan hanya dengan menampilkan karya musik terkenal, tapi juga dengan terus menciptakan karya baru untuk dinikmati sekarang dan juga untuk generasi di masa depan.”[] Sumber: bbcindonesia.com

Baca juga: