Namanya Marzuki, ia sudah lama berprofesi sebagai pandai besi, dari tangannya lahir berbagai jenis senjata tajam. Pernah pula mengajari mahasiswa praktek. Ia berharap pemerintah membantu peralatan kerja.
Dua pria bercengkrama di teras rumah kayu. Yang lebih muda duduk di kursi panjang, yang lebih tua darinya duduk di tanah. Pria yang duduk di kursi itu usianya sekitar 40 tahun. Ia tak banyak bicara, hanya duduk menunggu pesanannya selesai.
Yang satu lagi namanya Marzuki, pemilik bengkel pandai besi di Siron, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Bengkel pandai besi itu persis berada di sisi timur pinggir jalan kanal Krueng Aceh di lintasan Cot Iri – Lambaro.
“Ini datang jauh-jauh dari Montasik ke sini untuk mengasah parang dan arit,” kata Marzuki memperkenalkan pelanggannya. Pria yang diperkenalkan itu hanya tersenyum.
Marzuki berusia 49 tahun. Ia sudah lama menggeluti pekerjaan itu. Ayah dua anak ini mengaku setiap hari rata-rata hanya laku tiga sejata tajam buatannya, kadang-kadang parang, ada kalanya pisau, dan sebagainya. “Cukup untuk makan dan operasional lah. Paling dalam sebulan ada sisa Rp500 ribu,” jelasnya.
Baca Juga :Kisah Kolonel Scheepen Tewas Dihamok Rincong Uleebalang Titue
Pria asal desa Lam Ujong, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar ini sangat bersyukur dengan pekerjaannya itu. Baginya lebih baik bekerja dengan keahlian sendiri dari pada bekerja pada orang lain. Yang penting baginya berusaha secara sunguh-sungguh, “meugrak jaroe meu’ek igoe.” katanya. Asal mau berusaha, ada yang bisa dimakan.
Marzuki menambahkan, soal kualitas, senjata tajam buatannya bisa diuji dengan barang luar. Pelanggannya datang dari berbagai daerah sekitar. Ia sudah lama menggeluti profesi tersebut. Keahlian menempa senjata tajam didapat secara turun termurun dari keluarganya.
Menaiknya, ternyata di bengkel pembuatan senjata tajam Marzuki itu, ia pernah menerima mahasiswa praktek dari Universitas Syiah Kuala (USK). Untuk bahan baku pembuatan senjata tajam, ia menggunakan besi pilihan, untuk menekan biaya, ia menggunakan besi per dan as mobil bekas.
Untuk tubueng pengikat senjata tajam dengan gagangnya, Marzuki menggunakan kuningan dari biji timbangan (aneuk ceng) yang dilebur dan dibentuk kembali sesuai kebutuhan. Kalau di luar sudah ada kuningan yang berbentuk pipa, sehinga bisa praktis saat dipakai untuk tubueng. “Kita di sini karena tidak ada terpaksa harus olah sendiri dengan berbagai cara,” kata Marzuki.
Marzuki sangat berharap bantuan pemerintah untuk pengadaan alat-alat kerja, agar kerja lebih praktis dan memangkas waktu pembuatan. “Jangan kasih uang, kalau bantuan uang banyak yang akan tercecer, lebih baik kasih alat, agar bisa bekerja maksimal dan bisa memperkejakan para pandai besi lainnya,” harapnya.
Baca Juga: Kisah Controler Belanda Tewas Dibacok Kelewang Remaja Aceh
Dulu Marzuki pernah mempekerjakan beberapa orang. Tapi setelah sepi pembeli, kini bekerja sendiri karena tidak sanggup menutup biaya operasional dan gaji karyawan. Makanya ia sekarang bekerja sendiri.
Ia mengungkapkan, sangat ingin memperkerjakan lagi kawan-kawan pandai besi lainnya di bengkelnya. Namun, untuk itu butuh biaya tambahan, seperti uang makan, uang rokoh dan kebutuhan operasional lainnya. “Sejak sepi pembali saya bekerja sendiri,” ungkapnya.
Meski demikian, ketika menerima banyak orderan, Marzuki tetap membagi pekerjaan kepada rekan-rekannya di bengkel pandai besi lainnya. Setiap pekerjaan yang dibagi itu ia memberi catatan penting tentang bentuk senjata tajam dan corak yang harus dibuat.
“Kita harus jaga kualitas, meski dibuat di bengkel lain, tapi khasnya kita tetap ada. Jadi orang tahu mana produk kita, mana yang bukan, jadi gak bisa ditiru. Kawan-kawan yang menerima orderan dari saya itu sudah sangat paham bagaimana kebutuha saya,” tegasnya.[]