Siapa Penghuni Pertama Sumatra?
Oleh: Thayeb Loh Angen
Pujangga dari Sumatra Aceh
Sumatra adalah sebuah pulau yang terletak di antara Samudra Pasifik dan Samudra Atlantik. Secara umum, permukaan tanah Pulau Sumatra berwarna hitam dan coklat. Di sebagian dataran tingginya bewarna hitam dan kekuningan, berkerikil. Sementara permukaan kepulauan kecil di sekitarnya, berwarna hitam kekuningan berisi kerikil.
Secara kekukuhannya pada bumi, Pulau Sumatra dipasak oleh barisan gunung sepanjang pungungnya, dari utara ke selatan. Gugusan itu disebut bukit barisan. Pulau ini dilintasi garis tengah bumi yang membelah utara dan selatan, garis khatulistiwa.
Dengan keadaan geografis demikian, maka tanah Sumatra subur dan hanya memiliki musim hujan dan musim kemarau. Udara lembab, sesekali panas dan dingin, dengan tantangan alam adalah halilintar dan angin ribut atau puting beliung. Tidak ada badai angin berskala besar atau badai api atau badai listrik di Sumatra.
Dalam pembicaraan tentang Sumatra ini, kita menggunakan dua sudut pandang mendasar, yaitu:
Pertama, Pulau Sumatra telah ada sejak bumi diciptakan. Oleh karena itu, kita berada di seberang sisi teori lain yang mengatakan di masa lalu Sumatra tersambung dengan Semenanjung Asia, yang dihuni sebaran orang Melayu dan Astronesia serta Indocina.
Kita memandang Sumatra sebagai sebuah pulau dasar sejak bumi diciptakan, bukan pecahan Benua Asia yang terjadi saat zaman es berakhir atau banjir zaman Nabi Nuh As.
Kedua, manusia pertama di bumi adalah penghuni surga, Nabi Adam As, yang diturunkan ke bumi untuk beranak pinak dan keturunannya menjadi khalifah di muka bumi. Oleh karena itu, kita berada di seberang sisi lain teori lain yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera. Kita meyakini bahwa manusia adalah makhluk dari surga yang diturunkan ke bumi oleh Allah Ta’ala untuk menjadi khalifah.
Dalam pembicaraan ini, selain dua sudut pandang mendasar tadi, kita menggunakan satu sudut pandang pendukung, yaitu: Nabi Adam As diturunkan ke bumi di bagian barat Asia, atau timur Laut Tengah (Mediterania, laut yang diapit oleh Benua Asia, Afrika, dan Eropa) atau timur tengah.
Dengan sudut pandang ini, maka kita menyakini bahwasanya Tuhan Semesta Alam, Allah SWT tidak menurunkan Nabi Adam As di Sumatra, sehingga Sumatra saat itu kosong dari manusia sampai sekira lebih seribu tahun setelahnya.
Dengan sudut pandang pendukung ini, kita dapat memperkirakan, siapa yang pertama sekali datang dan menghuni Sumatra. Siapa di antara turunan Nabi Adam As melalui Nabi Nuh As yang datang ke Sumatra?
Mari kita melihat bagaimana cucu Adam As setelah banjir Nuh As membangun peradabannya. Mudah diketahui bahwasanya manusia yang tersisa dari banjir zaman Nabi Nuh As adalah manusia yang memiliki peradaban, telah menguasai teknologi perkapalan, mampu membuat perahu.
Nabi Nuh As membuat perahu yang berisi manusia dan binatang dan tumbuhan hanya dapat mengapung saat banjir yang menenggelamkan satu bumi dan terdampar saat banjir surut. Setelah itu, para turunannya mulai berpikir bagaimana membuat perahu yang dapat menyeberang dari pulau ke pulau, dari benua ke benua.
Dari letak geografis, kemampuan membuat perahu antar benua diyakini dimiliki oleh penduduk yang berada di pesisir benua, seperti di penduduk Teluk Persia, semenanjung Yaman, Semenanjung India, dan Afrika Timur. Itu pesisir yang terdekat dengan tempat Nabi Adam As diturunkan dan Nabi Nuh As terdampar (diyakini di Eurasia), dan terdekat dengan Sumatra.
Dengan melihat peta bumi dan bentuk tubuh orang Sumatra sekarang, dapat diperkirakan bahwasanya, manusia pertama penghuni Sumatra datang dari Pesisir Persia, Arab, India, dan Indocina.
Dengan perkiraan tersebut, maka diaspora Persia, Arab, India, Tiongkok, dan Afrika telah datang ke Sumatra sejak zaman sebelum penyebaran Hindu dan Islam datang ke pulau ini.
Proses penyebaran agama Hindu, Budha, dan Islam di kemudian hari merupakan sebuah fenomena dakwah yang dijalankan dengan perdagangan barang kebuhuhan manusia secara normal.
Percampuran diaspora orang dari berbagai benua di Sumatra, amat terasai di ujung paling utara pulau, yang sekarang dihuni oleh orang Aceh. Secara alamiah ini terjadi karena Aceh, terutama Bandar Sumatra (Teluk Samawi, Lhokseumawe) dan Lamuri (Banda Aceh, Aceh Besar) merupakan daratan terdekat dari pelayaran orang dari Afrika, Arab dan Persia, India, dan Indocina yang berlayar dari Semenanjung Asia Tenggara (yang kini bagian dari negara Malaysia dan Thailand).
Dengan keadaan tersebut, maka terbantahkanlah pendapat yang mengatakan bahwa orang pesisir Aceh adalah pendatang dan yang lainnya adalah penduduk asli. Semua penduduk Sumatra adalah pendatang, sejak 12000 tahun Sebelum Masehi (SM).
Senda menyenda selama ribuan tahun menjadikan suku bangsa yang terbanyak menjadi pemimpin di pulau, yaitu ras Melayu dengan berbagai anak suku bangsanya. Kemampuan menjadi yang terbanyak ini turut mempengaruhi anak suku bangsa Melayu di wilayah lain, termasuk di semenanjung Asia di suatu masa. Melayu dari Sumatra menjadi induk dari dunia Melayu untuk masa selanjutnya.
Diaspora manusia yang datang ke Sumatra adalah para pelaut, petani, dan pemburu, yang memiliki keahlian teknologi di bidangnya, dan sebagian mampu berperang. Orang-orang yang mampu berperang tersebut menghuni ujung utara Sumatra, yang kemudian mendirikan Kerajaan Lamuri, Kesultanan Sumatra (Samudra Pasai) dan di ujung selatan Sumatra, yang kemudian mendirikan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Pagaruyung. Penduduk di wilayah lain yang tidak memiliki keahlian berperang dan mengorganisir kelompok manusia secara sistematis cenderung menjadi pengikut di masa tersebut.
Tidak ada bukti bahwa terdapat suku nomaden di Sumatra. Hal itu diperkirakan karena iklim hujan dan alam yang subur. Mereka datang ke Sumatra setelah menguasai teknologi membuat perahu, memburu ikan, dan bercocok tanam. Tidak ada suku primitif yang datang. Apabila kemudian didapatkan suku penghuni hutan yang primitif, maka perlu ditinjau lagi, bagaimana mereka terpisah dari komunitas mereka yang besar di pesisir. Apakah karena peperangan atau karena bencana alam?
Di antara suku bangsa yang ada di Sumatra, kita dapat membicarakan suku bangsa yang terbesar terlebih dahulu, yaitu Melayu. Dalam hal ini, Aceh sebagai promotor bahasa Melayu moderen (Bahasa Jawi) sejak abad 14 Masehi ada zaman Kesultanan Sumatra (Samudra Pasai) dapat digolongkan ke dalam Melayu, dapat pula tidak. Hal tersebut karena pengguna sebuah bahasa dan penyebarnya belum tentu berasal dari suku bangsa tersebut.
Aceh memiliki bahasa sendiri dengan struktur yang lebih rumit memilih menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa tulis dan perdagangan serta bahasa saat menyebarkan Islam di Asia Tenggara sehingga bahasa Melayu (Jawi yang dibangsakan kepada Pasai) menjadi lingua franca.
Sejauh yang ditemukan saat ini, negara moderen yang diketahui sebelum kedatangan Islam (antara 800 – 1000 Masehi) di Sumatra adalah Kerajaan Sriwijaya (Sumatra Selatan Sekarang), Kerajaan Lamuri (Aceh Besar Sekarang). Kedua kerajaan ini berada di zaman yang sama dan menjadi aliansi Kerajaan Cola di India. Di lain waktu, Kerajaan Sriwijaya pun menduduki beberapa wilayah di Pulau Jawa.
Dengan keadaan tersebut, di zaman Hindu dan Budha, penghuni Sumatra pernah di bawah pengaruh daratan Asia dan pernah mempengaruhi penghuni pulau lain. Hal tersebut terjadi pula di zaman Islam, Kesultanan Sumatra mempengaruhi pulau-pulau lain dan Semenanjung Asia Tenggara dalam bidang perdagangan dan agama Islam.
Semantara Kesultanan Aceh Darussalam yang mengikutinya bahkan memiliki aliansi sampai ke Malabar, India selain ke Semenanjung Asia Tenggara dan pulau lain di Asia Tenggara.
Hal tersebut berbalik dengan zaman Hindu Budha yang Sumatra di bawah Cola India di Daratan Asia. Sementara di zaman Islam, Kesultanan Aceh Darussalam pernah memimpin aliansi yang anggotanya dari Kesultanan Malabar, India.
Saat itu, di muka bumi ini, hanya di Sumatra, yaitu Pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang mampu merebut kembali tanah yang telah dikuasai oleh Portugis.
Pengaruh negara moderen di zaman Islam seperti Kesultanan Sumatra (Samudra Pasai), Kesultanan Aceh Darussalam–yang kemudian menjadi induk beberapa kerajaan lain di Sumatra dan aliansinya di daratan benua Asia pada zamannya–telah umum ditulis di dalam buku sejarah, dan tengah diteliti kembali sekarang.
Dengan demikian, dalam seribu tahun terakhir, Sumatra telah mengalami beberapa perubahan kekuasaan dan keyakinan yang mendasar. Sementara penghuninya masih dari keturunan yang sama.[]