BANDA ACEH – Seorang penenun sungket (songket) asal Aceh Besar, Dahlia, mengatakan, kini usaha kerajinan pok teupeun (tenunan) Aceh lebih banyak produksi sungket berbahan katun, karena Aceh tidak memiliki bahan baku sutera.
“Kita punya lahan dahulu di Gampong Lamtamot, Seulimum, kemudian sekitar tahun 1978 Aceh dilanda konflik, maka aktivitas produksi benang sutera di Aceh terhenti,” kata Dahlia, di Banda Aceh, Selasa 14 Agustus 2018.
Dahlia bersama dua temannya melakukan pok teupeuen sungket dari benang katun, kain sungket Aceh hand made (bikinan tangan), di bawah anjongan rumoh adat Aceh Besar, Taman Sulthanah Safiatuddin, untuk menyemarakkan PKA 7.
Dahlia mengatakan, produksi tenun Aceh berawal dari gampong Siem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, karena di sanalah Nyak Mu mula mengajari, memperkenalkan wanita-wanita Aceh bagaimana cara membuat sungket motif Aceh yang bernilai seni.
“Saya sendiri juga belajar menenun pada Nyak Mu sejak tahun 70-an. Pada masa itu murid yang belajar pelatihan pok teupeun itu diikuti sekitar dua ratus peserta dari berbagai wilayah Aceh,” kata Dahlia.
Tentang kisah gurunya itu, Dahlia mengatakan, Nyak Mu nama aslinya adalah Maryamun (70) yang membuka usaha pada 1973 tenunan di Gampong Siem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. Ia sekaligus menjadi guru tenun bagi perempuan-perempuan seluruh Aceh.
“Nyak Mu mengajarkan motif tradisional Aceh melalui selembar kain pusaka, warisan neneknya yang telah berusia 200 tahun selebar kain sutera berwarna cokelat tanah ukuran 50X50 centimeter dan sudah robek ujungnya itu, berisi motif-motif tradisional Aceh yang rata-rata diadopsi dari bunga-bunga dan kaligrafi Arab, lebih kurang di kain tersebut terdapat 25 jenis motif tradisional Aceh ditenun dengan indah,” katanya.
Dahlia mengatakan hingga tahun ini, penenun yang masih bertahan dengan pekerjaan menenun, di Gampong Seim kini sepuluh orang, di Krueng Kale ada tiga orang, di Miruek Taman ada tujuh orang, di Lamno sekitar dua orang.
Proses pembuatan sungket Aceh hand made tergolong rumit dan lama. Menurut pengakuan Dahlia, pengerjaannya dilakukan melalui beberapa proses tahapan hingga seminggu kemudian jadilah sungket yang indah. Jika itu kain sutera maka harganya sekitar dua jutaan.
Mengenai kain sutera, Dahlia mengatakan untuk mendapatkan satu benang sutera maka dibutuhkan tujuh kokon untuk bisa menghasilkan satu benang sutera.
“Karena kini tidak ada di Aceh, bahan baku sutera maka harus diimpor dari Palembang, dan Bandung. Sedangkan bahan baku katun ada di Banda Aceh,” katanya.
Pelatihan tenun Aceh untuk masyarakat, kata Dahlia, empat bulan yang lalu timnya juga pernah melakukan pelatihan di Gampong Lamgugop, dan mungkin tahap ke dua, bulan sepuluh timnya berencana akan melakukan pelatihan menenun kepada masyarakat.
“Barbara Ligh seorang peneliti motif-motif Aceh dari Australia mengatakan sejak abad 17 Masehi, ahli-ahli tenun banyak terdapat di Aceh Besar. Sedangkan benang-benang sutera kualitas tinggi diproduksi di Aceh Pidie, kemudian diperdagangkan keluar Aceh seperti ke India, Banglades, Cina, dan lain-lain. Demikian juga dengan karya-karya Nyak Mu, di antara tahun 1980-1990 mulai dipamerkan di Singapura, Malaysia, dan Sri Lanka,” kata Ibu Dahlia.[]