Oleh Taufik Sentana*
Gagasan besar saja tidaklah cukup
untuk menghimpun harap
dalam pengap ketimpangan
dan omong besar keadilan sosial.
Maka Tuan Wali yang dinisbahkan
padanya kemudian, memilih jalan patriotisme, keberanian dan keyakinan.
Orang bilang itu perlawanan, semata kepentingan diri dan mungkin mudah diselesaikan lewat agresifisme.
Bila semata kepentingan diri
tanpa dasar logika sejarah dan apa yang telah ia capai sebelumnya, mestilah ia nyaman dengan bisnis di Amerika, tanpa kehilangan hak warga negara (Indonesia) Atau ia puas dengan gelar akademiknya, tanpa harus berfikir, menulis dan menggerakkan bangsanya untuk cita kemandirian, daulat dan kejayaan.
Apa yang telah ia torehkan itu lebih penting dari sekadar orasi (atau duduk bermusyawarah tanpa isi)
Dan orang orang yang meyakininya akan selalu menatap nasionalisme yang ia maksud: meski melewati konsesi dan dialog, sang Wali hanya ingin Aceh hidup dalam martabatnya.
Sebab, dalam beberapa catatannya yang dikutip para cendekia modern, sejatinya nasionalisme (Islam Aceh), menurut Sang Wali, hendaknya muncul secara koheren, bergaris lurus tanpa mendekap negara Islam, pun ia yakin bahwa sekularisasi hanyalah kegilaan.
Maka karena pilahan tafsir nasionalisme ini ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah modern Aceh tanpa mengesampingkan para sejawatnya yang Ulama (semisal Tuan Daud Beureuh) dalam gairah nasionalisme yang berbeda,
Keduanya sama dalam satu hal:
Ingin meninggikan warwah Aceh, inilah yang mesti digaungkan oleh pembesar Aceh agar mereka dimuliakan oleh sejarah, bukan dinistakan.[]
*Peminat Kajian Sosial-Budaya.