LHOKSEUMAWE – Ketua DPD Partai Golkar Aceh, T. M. Nurlif, meminta Pemerintah Aceh dan DPRA mengevaluasi secara serius pengelolaan Dana Otonomi Khusus selama ini untuk mengukur keberhasilan pemanfaatan anggaran tersebut. Nurlif mengingatkan pentingnya memperkuat perencanaan dan pengawasan agar ke depan Dana Otonomi Khusus Aceh dapat memajukan daerah dan menyejahterakan rakyat, bukan pejabat.
“Itu menyentuh bagi saya, karena saya (saat menjadi Anggota DPR RI) dipercaya oleh teman-teman Golkar mewakili Aceh ada dalam Pansus dalam rangka melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang juga mengatur tentang Dana Otonomi Khusus. Harapan kita saat itu sejak 2007 Pemerintah Aceh dengan kewenangannya bisa mempersiapkan desain pembangunan Aceh untuk kemajuan daerah. Tapi sebagaimana yang kita lihat sudah berapa tahun dan cukup banyak dikucurkan Dana Otsus untuk Aceh tampaknya kita agak sulit mengukur outcome-nya apa,” kata Nurlif.
Nurlif menyampaikan itu menjawab portalsatu.com setelah ia membuka Orientasi Fungsionaris dan Konsolidasi Kader Partai Golkar Kota Lhokseumawe, di Lhokseumawe, Selasa, 5 Juli 2022.
Dia menyebut sampai saat ini tidak ada parameter yang bisa digunakan untuk mengukur keberhasilan pemanfaatan Dana Otsus Aceh. “Kalau dibandingkan dengan (anggaran yang dikelola) Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh pascatsunami 2004 silam, yang hanya berjalan tiga tahun setengah itu jelas kelihatan yang dibangun apa saja. Sedangkan ini (Dana Otsus Aceh) sulit mengukurnya dari segi apa yang menonjol pembangunannya,” ujar Nurlif.
Menurut Nurlif, kondisi ini akibat tidak adanya manajemen yang jelas antara pengelolaan Dana Otsus dengan anggaran reguler lainnya yang dikelola Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota. “Yang kita sayangkan, Dana Otsus ini begitu sampai ke Aceh, kemudian didistribusikan kepada semua SKPA sehingga berbaur dengan dana-dana yang lain. Artinya, kita sulit melihat Dana Otsus digunakan untuk apa saja. Padahal, dalam undang-undang jelas pengaturannya bahwa Dana Otsus dikelola dan diadministrasikan tersendiri secara teratur agar bisa dilihat ukuran keberhasilannya,” tutur dia.
Oleh karena itu, Nurlif berharap Penjabat (Pj.) Gubernur Aceh bersama DPRA mengevaluasi pengelolaan Dana Otsus selama ini. “Sehingga ke depan dapat diperjelas kembali bagaimana manajemen yang baik agar dana tersebut bisa lebih terarah dalam pengelolaannya,” ujarnya.
“Jadi, kita meminta kepada Pj. Gubernur Aceh [yang dilantik oleh Mendagri pada Rabu (6/7)], nantinya bersama DPRA untuk mereformula Dana Otsus ini. Reformulanya termasuk juknis (petunjuk teknis) yang jelas, siapa dari pemerintah yang merencanakan penggunaan dana ini, dan bagaimana pengelolaanya, sehingga betul-betul bermanfaat untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat Aceh, bukan kesejahteraan pejabat,” tegas Nurlif.
Nurlif juga berharap Pemerintah Aceh dan DPRA terus memperjuangkan kepada pemerintah pusat agar Dana Otsus yang akan berakhir pada tahun 2027 dapat diperpanjang.
“Problem di Aceh selama ini salah satunya adalah angka kemiskinan masih tinggi. Kemudian tingkat (kualitas) pendidikan juga masih rendah. Jadi, hal-hal yang sangat prinsipil bagi rakyat, ini harus menjadi prioritas,” kata Nurlif.
Ketua Golkar Aceh ini menyambut baik Pj. Gubernur Aceh yang ditetapkan oleh Presiden RI. “Pada prinsipnya Partai Golkar mendukung siapapun yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Tentunya kita harapkan Pj. Gubernur Aceh itu dapat bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan di Aceh, baik DPRA, Forkopimda, ulama, akademisi, dan pihak-pihak lainnya,” kata Nurlif.
Baca juga: Lantik Pj Gubernur Aceh, Ini Kata Mendagri Soal SDA, SDM Hingga UMKM
Data diperoleh portalsatu.com, sejak tahun 2008 sampai 2021, Aceh sudah menerima Dana Otsus mencapai lebih Rp88,43 triliun. Sedangkan untuk tahun 2022, pemerintah pusat mengalokasikan Dana Otsus Aceh Rp7,56 triliun. Dari jumlah itu, hingga Juni 2022, Kementerian Keuangan telah mentransfer Dana Otsus kepada Pemerintah Aceh Rp2,28 triliun atau 30% dari pagu.
Selama ini Dana Otsus memberikan kontribusi terbesar terhadap Pendapatan Aceh. Seperti pada tahun 2020, Dana Otsus mencapai 52,32% dari total keseluruhan Pendapatan Aceh. Sebaliknya kontribusi Pendapatan Asli Aceh terhadap Pendapatan Aceh hanya 17,80%. Sedangkan sumbangan Dana Otsus untuk Pendapatan Aceh TA 2021 mencapai 54,17%.
Meskipun Aceh mendapatkan kucuran Dana Otsus sangat besar saban tahun, tapi tidak terserap seutuhnya sehingga menjadi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) cukup besar.
Tahun 2020, misalnya, dari total SiLPA APBA lebih Rp3,96 triliun (T), sebanyak Rp2,56 T bersumber dari Dana Otsus. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2019 yang mencatat SiLPA APBA Rp2,84 T, berasal dari Dana Otsus Rp2,23 T.
Data dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, sejak dianggarkan pertama kali tahun 2008 sampai 2021 total alokasi Dana Otonomi Khusus yang diterima Provinsi Aceh mencapai Rp88,43 T. Nominal yang diperoleh sangat besar, tetapi pengelolaan Dana Otsus Aceh dinilai belum maksimal. Hal ini dibuktikan dengan sisa Dana Otsus Aceh kurun waktu 2013 sampai 2020 sebesar Rp7,7 T.
Adapun SiLPA APBA Tahun Anggaran 2021 sebesar Rp3,93 T lebih, paling besar dari Dana Otsus Rp2,55 T lebih, sebagaimana data dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Perwakilan Aceh Atas Laporan Keuangan Pemerintah Aceh TA 2021.
[Sumber: LHP BPK Perwakilan Aceh Atas Laporan Keuangan Pemerintah Aceh Tahun Anggaran 2021]
Sisa Dana Otsus yang mengendap di Rekening Kas Umum Pemerintah Aceh itu kemudian diperhitungkan dalam penyaluran Dana Otsus tahun berikutnya oleh Kementerian Keuangan.
Dana Otsus untuk Aceh diberikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana Otsus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Undang-Undang tersebut selanjutnya diturunkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang Alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh.
Salah satu narasumber portalsatu.com mengungkapkan bahwa secara umum penyebab terjadinya SiLPA cukup besar bersumber dari Dana Otsus Aceh, di antaranya perencanaan yang tidak tepat, tak fokus pada pencapaian outcome, tidak memerhatikan apakah capaian output ter-deliver sesuai kebutuhan masyarakat Aceh, karena hanya fokus pada proses dan output terbangun. Perencanaan yang tidak tepat waktu menyebabkan ketersedian waktu pelaksanaan tak mencukupi sampai tahun anggaran berakhir.
Selain itu, proses pengadaan barang dan jasa (PBJ) yang berlarut-larut, mulai dari perencanaan dan pelaksanaan serta pemanfaatannya. Rekanan tidak mampu menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak/wanprestasi, itikad tidak baik rekanan.
“Hasil pekerjaan tidak dimanfaatkan, banyak bangunan mangkrak karena output-nya tidak sesuai kebutuhan pengguna, tidak sesuai kualitas dan kuantitas dalam kontrak, dan dijumpai output tidak diselesaikan oleh rekanan,” ungkap sumber itu.
Baca juga: Ketika Dana Otsus Aceh Jadi SiLPA, Siapa Peduli?
Sementara itu, Dana Otsus Aceh mulai tahun 2023 hingga 2027 akan mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 1% dari Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional. Hal tersebut diperkirakan akan berdampak terhadap program pembangunan di Aceh.[](nsy)