BANDA ACEH – Tujuh organisasi mendeklarasikan Komite Keselamatan Jurnalis (KKI) Aceh di Banda Aceh, Sabtu, 14 September 2024. Deklarasi KKJ Aceh diawali diskusi bertema “Advokasi dan Keamanan Jurnalis” di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh.
Deklarator terdiri dari empat organisasi profesi jurnalis, yakni AJI Banda Aceh, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda Aceh, dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh. Selain itu, tiga organisasi masyarakat sipil, yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, dan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA).
Pembentukan KKJ Aceh dianggap penting mengingat jurnalis rentan menjadi target kekerasan selama melaksanakan kerja-kerja jurnalistik. Kendati Aceh bukan penyumbang angka kasus kekerasan terhadap jurnalis tertinggi di Indonesia, keberadaan komite tetap menjadi keharusan karena kekerasan bisa menimpa jurnalis kapan dan di mana pun.
Jaminan keamanan bagi jurnalis merupakan salah satu syarat mutlak terjaganya kebebasan pers. Kebebasan pers penting sebagai salah perwujudan dari hak warga negara dalam memperoleh informasi.
“Tanpa kebebasan pers, yang dirugikan adalah publik karena tidak dapat mengakses berita penting yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pers memiliki mandat yang diberikan oleh rakyat kepada media, yang berfungsi sebagai mata dan telinga untuk memantau dan mengawasi persoalan di negeri ini,” kata Koordinator KKJ Indonesia, Erick Tanjung saat mengisi diskusi dan deklarasi KKJ Aceh.
Erick menambahkan kebebasan pers mesti dijaga dengan melibatkan banyak pihak. Karena itu, komite merupakan kolaborasi yang tidak terdiri dari organisasi profesi jurnalis saja, tetapi juga mengikutsertakan elemen organisasi masyarakat sipil yang selama ini memiliki konsentrasi terhadap isu kebebasan berpendapat, berekspresi, dan pers.
“Penting bagi kita untuk terus berkolaborasi menjaga kemerdekaan pers di Indonesia. Dari Januari hingga Agustus 2024, tercatat ada 40 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media. Pada bulan September, angka ini diperkirakan akan meningkat, terutama karena adanya demonstrasi terkait RUU Pilkada. Namun, ini bukan hanya soal angka, ini adalah tentang orang dan kepentingan publik yang harus dijaga. Saya sangat menghargai inisiatif AJI Banda Aceh untuk berkolaborasi menjaga kemerdekaan pers dan kepentingan publik,” ujar Erick.
Di tingkat nasional, KKJ pertama kali dideklarasikan pada April 2019. Sejak saat itu, inisiatif membentuk KKJ di provinsi-provinsi di Indonesia terus digalakkan. Aceh, menurut Erick, terhitung sebagai wilayah ketujuh yang telah mendeklarasikan KKJ. Sebelum Aceh, daerah lain lebih dahulu membentuk KKJ yakni Ambon, Sumatra Utara, Papua Barat Daya, NTT, NTB, dan Jawa Timur.
Direktur LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa, menyambut baik pembentukan KKJ di Aceh. Menurut dia, pembentukan KKJ di Aceh menjadi momentum untuk membangun konsolidasi kekuatan sipil untuk menjaga kemerdekaan pers dan hak publik dalam memperoleh informasi yang kadang kala dikooptasi oleh kepentingan yang berseberangan dengan kepentingan publik.
“Kebenaran tidak boleh ditutup-tutupi, dan informasi tidak bisa dimonopoli. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang sebenarnya. Hal ini menjadi salah satu alasan ketertarikan kami dalam kolaborasi ini. Kami juga mengusulkan agar melibatkan rekan-rekan lain, misalnya lembaga yang fokus pada isu anggaran, agar KKJ memiliki amunisi yang cukup untuk melakukan advokasi secara paralel,” tegas Aulianda.
Koordinator MaTA, Alfian, berharap KKJ Aceh tidak distarter hanya ketika terjadi kasus kekerasan yang menimpa jurnalis. Namun, KKJ juga dapat dimanfaatkan sebagai forum komunikasi yang jauh lebih intens antar anggotanya.
“Harapan kami, KKJ bukan hanya sekadar deklarasi, tapi menjadi ruang gagasan dan ide, serta pusat advokasi dan pertukaran informasi,” ucap Alfian.
Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin, menyambut baik pembentukan KKJ di Aceh karena menandakan adanya kekuatan yang jauh lebih besar. PWI Aceh, kata dia, siap berkomitmen.
“Orang menganggap kita tidak memiliki kekuatan. Dengan adanya KKJ ini, berbagai persoalan bisa kita hadapi bersama. PWI prinsipnya siap untuk berkolaborasi agar kita semakin kuat dalam menghadapi berbagai bentuk teror dan intimidasi yang membuat pekerja pers merasa tidak nyaman,” kata Nasir Nurdin.
Ketua IJTI Pengda Aceh, Munir Noer, mengatakan komite semacam KKJ Aceh seharusnya sudah diinisiasi jauh hari. Ini karena teror yang menjadikan jurnalis sebagai target sudah ada sejak zaman baheula. Selain itu, ia berharap para jurnalis dibekali dengan pengetahuan advokasi yang cukup, setidaknya untuk diri sendiri.
“Sehingga, apabila ada ancaman dari luar, mereka (jurnalis) sudah tahu apa yang harus dilakukan dan ke mana harus melapor,” kata Munir.
Sepanjang 2023, tercatat sebanyak 89 kasus serangan terhadap jurnalis dan media berdasarkan catatan AJI. Jika ditarik sejak 2018, jumlah ini menjadi yang tertinggi dalam rentang waktu satu dekade terakhir.
AJI mencatat serangan fisik, teror, digital, kriminalisasi dan kekerasan seksual telah menargetkan 83 individu jurnalis, 5 kelompok jurnalis, dan 15 media. Jumlah kekerasan tertinggi yang menimpa jurnalis dan media ini dapat dibagi ke dalam tiga kelompok isu. Yakni, setelah pemberitaan terkait akuntabilitas dan korupsi sebanyak 33 kasus; isu-isu sosial dan kriminalitas sebanyak 25 kasus, serta isu lingkungan dan konflik agraria mencapai 14 kasus.
Pelaku kekerasan sebagian besar berasal dari aktor negara dengan jumlah sebanyak 36 kasus, aktor non-negara sebanyak 29 kasus, dan terakhir tidak teridentifikasi sebanyak 24 kasus. Selain itu, terdapat lima narasumber yang menjadi target kriminalisasi menggunakan UU ITE, KUHP dan gugatan perdata. Mirisnya, pelaku kekerasan yang dijatuhi hukuman di pengadilan sejauh ini tercatat baru dua kasus dari total 89 kasus.
Menurut Koordinator KKJ Aceh, Rino Abonita, jika ditarik dari tahun 2018, berdasarkan pendataan cepat setidaknya terdapat belasan kasus kekerasan yang menimpa jurnalis dan media di Aceh. Dua di antaranya merupakan ancaman pembunuhan secara lisan. Satu diintimidasi dengan benda yang diduga kuat senjata api.
Selanjutnya pengusiran dua kasus, pengrusakan alat kerja satu kasus, penghapusan hasil liputan dua kasus, pembakaran rumah satu kasus, penghalang-halangan tugas jurnalistik satu kasus, take down berita satu kasus, pengeroyokan satu kasus, dan serangan digital satu kasus.
“Namun, yang harus kita garisbawahi di sini, kasus kekerasan yang menimpa jurnalis juga mirip fenomena gunung es. Yang tampak di permukaan tak menunjukkan jumlah riil,” ujar Rino, Senin, 15 September 2024.
Menurut Rino, berdasarkan prosedur operasional standar KKJ di tingkat nasional, komite bertujuan untuk melindungi dan membela jurnalis dalam menjalankan profesi dan kegiatan jurnalistiknya. Selanjutnya, juga mendorong jurnalis dan atau media melakukan kegiatan jurnalistik yang profesional, beretika, bermartabat dan sepenuhnya berpihak kepada kepentingan publik.
“KKJ Aceh ini juga bukan hanya mengetengahkan solidaritas, tetapi juga upaya kita untuk memupuk soliditas. Ia seperti mengumpulkan kekuatan yang selama ini diaspora atau tercerai-berai,” pungkas Rino.[](ril)