Jumat, Oktober 4, 2024

Undangan Resmi: Majlis Khatam...

BANDA ACEH – Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) bersama Halaqah Al-Qur'an Malaysia akan...

Kunjungi Kantor PWI, Pejabat...

BLANGKEJEREN - Pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Gayo Lues,...

Siti Nahziah Sebut Gebyar...

SUBULUSSALAM - Pj Bunda PAUD Kota Subulussalam, Hj. Nahziah, S. Ag mengatakan kegiatan...

Tolak Raqan Pemajuan Kebudayaan...

BANDA ACEH - Ratusan seniman, budayawan, serta puluhan organisasi seni dan kebudayaan di...
BerandaNewsUmat Islam Indonesia...

Umat Islam Indonesia Harus Kuak Tabir Oligarki, Kata Fachry Ali

JAKARTA – Pengamat sosial keagamaan, Fachry Ali, mengatakan umat Islam Indonesia kini harus menguak tabir oligarki. Kenyataan itu tak bisa dibiarkan karena akan membuat posisi umat Islam ke depan menjadi semakin riskan.

“Mereka tidak berada di dalam sistem negara, tetapi kekuasaan mereka yang berasal dari kontrol terhadap kekayaan/ekonomi memungkinkan terjadinya aliansi,” kata Fachry Ali dalam diskusi di Majelis Reboan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KBPII), di Jakarta, Rabu, 23 Maret 2022, malam.

Fachry Ali mengatakan pada 1940-an, struktur masyarakat relatif masih bersifat horisontal. Elemen vertikalnya lebih karena struktur organisasi, yang paling jelas pemerintah.

“Bicara tentang pimpinan menjadi sesuatu yg bersifat intepretable. Apakah pimpinan itu dipilih secara demokratis, atau pimpinan dalam keumatan,” kata putra kelahiran Susoh, Aceh Barat Daya ini.

Fachry Ali menyebut oligarki dalam bahasa Inggris oligarchy lebih dikaitkan dengan persoalan Rusia. “Oligarch adalah seorang yang punya kekuasaan melimpah tapi juga pengaruh politik. Konteks sejarahnya Rusia, tapi istilahnya dalam bahasa latin,” katanya.

“Dalam ensiklopedia bebas Wikipedia, sejarawan Edward L. Keenan membandingkan fenomena oligarki di Rusia sekarang dengan para Boyar yang kuat di Muskovia pada abad pertengahan,” ujar Fachry Ali.

Boyar adalah anggota kelas bangsawan pada abad pertengahan di Rusia dan negara-negara Slavia lainnya seperti Bulgaria. Mereka tergabung dalam suatu kelompok yang disebut Duma dan memberi nasihat kepada pangeran atau Tsar yang berkuasa. Namun, mereka dapat memutuskan untuk mengabdi kepada pangeran lain.

Maka, kata Fachry, terjadinya sistem oligarki adalah saat di mana para oligarch memainkan kekuasaannya. Merujuk definisinya, maka habitat oligarkh mestinya di sektor privat (swasta), bukan negara.

“Mereka tidak berada di dalam sistem negara, tetapi kekuasaan mereka yang berasal dari kontrol terhadap kekayaan/ekonomi memungkinkan terjadinya aliansi,” kata Fachry Ali.

Fachry Ali kemudian menyampaikan kajian Ben Anderson (Benedict Richard O’Gorman Anderson), seorang sejarawan dan pakar politik dunia berkebangsaan Irlandia. Bens Anderson mempertanyakan, di Indonesia ada oligarch yang praktiknya muncul dalam sistem negara, atau kekuatan yang berada di luar negara.

“Nah, kalau kaum oligarkh dibayangkan sudah ada di dalam negara, siapa?” tanya Fachry Ali.

Fachry Ali mempertanyakan apakah telah terjadi konsolidasi elemen-elemen oligarch yang sejatinya berada di luar negara, tapi secara politik ditunjuk untuk menjadi salah satu state official, pejabat negara.

Tentang konsep oligarkh dalam sebuah sistem oligarki, Fachry Ali mengajukan pertanyaan lain, apakah oligarkh yang di luar negara tidak berpengaruh kepada negara?

Fachry kemudian mengajak peserta Majelis Reboan KBPII memecahkan misteri. Misalnya, soal fenomena kelangkaan minyak goreng yang berbuntut pada naiknya harga minyak goreng, apa bisa menjadi salah satu indikasi, Indonesia tengah menuju sistem oligarki?

Sementara itu pengamat ekonomi politik, Prof. Didik J. Rachbini, mengungkapkan watak dasar penguasa dan pengusaha pada hakekatnya sama yakni ingin menambah kekuasan dan keuntungan. Oleh karena itu, kekuasaan harus dibatasi. Jika tidak maka akan menjadi otoriter.

“Sayangnya, justru ada intelektual yang memberi legitimasi kekuasan untuk menambah masa kekuasaan.”

Didik pun menyebut intelektual tersebut sebagai intelektual rongsokan yang membuat penguasa meninggalkan demokrasi.

Baik Didik J Rachbini maupun Fachri Ali sepakat bahwa semua pihak harus menghormati demokrasi. Karena jika demokrasi ditinggalkan maka implikasinya bagi sebuah bangsa akan sangat panjang.[]Sumber: republika.co.id

Baca juga: