Senin, September 9, 2024

Persaudaraan Masyarakat Brunei Darussalam...

BANDA ACEH - Berkenaan dengan berita duka cita, telah berpulang ke Rahmatullah seorang...

Peduli Terhadap Anak Yatim, Abu...

SUBULUSSALAM - Pimpinan Pondok Pesantren Babul Khairi, Desa Batul Napal, Sultan Daulat, Abu...

Masyarakat Gayo-Agara Gelar Kesenian...

KUTACANE - Dalam rangka melestarikan tari Saman hingga ke anak cucuk, masyarakat Gayo-Agara...

Panwaslih Aceh Paparkan Hasil...

LHOKSEUMAWE - Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih/Bawaslu) Provinsi Aceh menggelar sosialisasi hasil pengawasan dan...
BerandaInspirasiSejarahAceh Hari Ini:...

Aceh Hari Ini: Gerakan Amir Husein Almujahid Lucuti Kekuasaan Uleebalang

Amir Husein Almujahid melakukan gerakan pembersihan terhadap kekuasaan kaum feodal (Uleebalang) di Aceh. Berawal dari Aceh Timur hingga ke Banda Aceh. Kekuasaan Residen Aceh Teuku Nyak Arief juga dilucuti.

Gerakan ini dimulai dari Idi, Kabupaten Aceh Timur, tempat kelahiran Amir Husein Almujahid. Mulanya kelompok ini hanya diikuti oleh beberapa puluh orang saja. Pembersihan terhadap kekuasaan kaum feodal dilakukan karena ada kelompok uleebalang yang mencoba melakukan penyambutan masuknya Sekutu/NICA ke Aceh sebagai mana dilakukan kelompok Daod Cumbok di Pidie.

Baca Juga: 35 Tahun Pemerintahan Ratu Safiatuddin di Kerajaan Aceh.

Meski Daod Cumbok dan pengikutnya telah ditangkap di kawasan Padang Tiji dekat kaki gunung Seulawah, setelah gagalnya pemberontakan Cumbok (Perang Cumbok). Sisa-sisa pengikut uleebalang pro Belanda diyakini masih ada, sehingga gerakan pembersihan kelompok tersebut dari kekuasaan dilakukan. Dalam melakukan aksinya, Amir Husein Almujahid membawa semangat nasionalisme Indonesia dan anti penjajahan Belanda, karena itu kelompoknya mendapat sambutan dari masyarakat banyak.

Gerakan Amir Husein Almujahid ini melakukan show of force dari Aceh Timur hingga ke Banda Aceh. Sasaran akhirnya adalah ke Sabang untuk mengusir Sekutu/NICA yang sudah bercokol di Sabang sejak 25 Agustus 1945, setelah kekuasaan Jepang di pulau tersebut dilucuti. Tapi Sekutu/NICA tidak pernah bisa masuk ke daratan Aceh.

Isu yang mereka bawa mengusir Belanda dari Sabang dan menggilas kaum feodal yang masih mengharapkan datangnya Wakil Ratu Belanda di Aceh, ternyata mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat di setiap daerah yang mereka lalu sejak dari Idi, Lhokseumawe, Bireuen, Sigli, Seulimuem, hingga ke Banda Aceh. Pasukan yang ketika berangkat dari Idi, Aceh Timur itu hanya sekitar 300 orang, sampai di Seulimuem, Kabupaten Aceh Besar jumlahnya telah melebihi 1.000 orang.

Baca Juga: Pemuda Sosialis Aceh Bentuk Pasukan Bersenjata.

Kelompok Amir Husein Almujahid benar-benar dapat memanfaatkan sentiment rakyat Aceh yang anti terhadap kembalinya Belanda ke Aceh. Namun pelaku pejuang kemerdekaan di Aceh AK Jakobi menilai Amir Husein Almujahid sebagai orang yang ambisius dan ugal-ugalan. Hal itu bisa dibaca pada halaman 29-37 bukunya, Aceh Daerah Modal, Long March ke Medan Area, terbitan Yayasan Seulawah RI-001, tahun 1992.

AK Jakobi mengungkapkan, sebelum melakukan long march dari Idi ke Banda Aceh, Amir Husein Almujahid dan pasukannya melakukan show of force di Kota Langsa, pada 12 Februari 1946, hanya 19 hari setelah Perang Cumbok berakhir. Di Kota Langsa mereka menangkap Asisten Residen Kabupaten Aceh Timur, Teuku Raja Pidie, Wedana Langsa Teuku Ali Basyah, sejumlah uleebalang lainnya juga tidak luput dari pengejaran dan penangkapan, bahkan terhadap anggota kepolisian yang mereka curigai pro uleebalang.

Usai melakukan aksi di Kota Langsa mereka kemudian melakukan aksi serupa di Kuala Simpang dan Kota Lhkseumawe. Di Lhokseumawe mereka menyasar Teuku Ibrahim Cunda yang merupakan rival dekat Amir Husein Almujahid. Dari Lhokseumawe mereka kemudian melakukan long march ke Bireuen. Saat itu pasukannya sudah bertambah banyak, ia menamai pasukannya yang mulai terorganisir dengan nama Tentara Perjuangan Rakyat (TPR).

Baca Juga: Saudagar Aceh Diminta Bantu Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

Amir Husein Almujaid sendiri bertindak sebagai Komandan TPR, didampingi oleh rekan seperjuangannya seperti Nurdin Sufi, Oesman Adamy, Abdul Manaf, Mahmud Harun, Ismail, Gazali Idris, Abubakar Majid, Usman, Abubakar Amin, Usman Peudada, Hasanuddin dan Budiman. Mereka melakukan parade pasukan dan show of force ke Banda Aceh dengan menggunakan 40 truk. Pasukan TPR dilengkapi dengan senjata api dan senjata tajam.

Pada 25 Februari 1946, pasukan TPR masuk ke Kota Sigli. Mereka disambut oleh ribuan rakyat Pidie yang barus saja melewati perang cumbok. Sentiment anti uleebalang yang masih sangat terasa di Pidie membuat pasukan TPR disambut dengan penuh eforia. Tapi di Pidie TPR tidak melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap uleebalang, karena dianggap sudah bersih setelah berakhirnya perang cumbok.

Ketika tiba di Kota Sigli, Amir Husein Almujahid dipanggail oleh Tgk A Wahab Seulimuem, kepadanya ditanyakan maksud dan tujuan TPR. Hal yang sama juga pernah ditanyakan oleh Ayah Gani dan Ayah Hamid ketika pasukan TPR masuk Kota Bireuen.

Amir Husein Almujahid menjelaskan bahwa ia dan pasukannya bermaksud untuk membersihkan kekuatan kaum feodal yang pro pada Belanda, agar Sekutu/NICA tidak bisa masuk ke Aceh. Namun Tgk A Wahab Seulimeum berpesan kepadanya agar hal itu dilakukan secara hati-hati dan mengedepankan musyawarah, tidak boleh lagi terjadi perang saudara seperti pada perang cumbok yang baru usai.

Baca Juga: Dialog RI dan GAM di Swiss Hasilkan KOnsultasu Keamanan.

Tanggal 1 Maret 1946, pasukan TPR sudah sampai di Seulimuem, Amir Husein Almujahid mengirim utusannya ke Banda Aceh untuk melakukan pendekatan dengan sejumlah tokoh pemerintah dan tokoh masyarakat. Diantara utusan itu ada Tgk A Wahab Seulimuem, Ayah Gani, dan M Nur El Ibrahimy. Di Banda Aceh mereka menghubungi beberapa tokoh masyarakat dan pimpinan laskar perjuangan diantaranya Ali Hasjmy, Zaini Bakri, Nyak Neh, Tgk Syech Marhaban, Pawang Leman, serta beberapa tokoh lainnya. Sementara dari pejabat militer dihubungi Mayor Husein Jusuf.

Sejarawan dan pelaku pejuang kemerdekaan di Aceh Teuku Alibasjah Talsja dalam buku Batu Karang di Tengah Lautan mengungkapkan, saat di Seulimuem itu Amir Husein Almujahid menjelaskan kepada para tokoh yang ditemuinya bahwa tujuannya ke Banda Aceh untuk melucuti kekuasaan Residen Aceh yang dipegang oleh Teuku Nyak Arief.

Untuk menghindari pertumpahan darah, Teuku Nyak Arief memilih mundur dari jabatannya sebagai Resdien Aceh, ia kemudian dibawa ke Takengon hingga meninggal dalam pengasingan di sana.[]

Baca juga: