LHOKSEUMAWE – Teuku Chik Di Tunong dan Teuku Chik Di Buah dieksekusi mati pada tiang gantung di dekat pantai Lhokseumawe, 25 Maret 1905. Tiang gantung yang menjadi saksi bisu ketika regu tembak pasukan Belanda menghabisi dua pejuang Aceh itu kini tinggal pangkalnya.
Besi bulat sisa tiang gantung tersebut berada di Lorong Kokonas Dusun Chik Di Tunong, Kampung Jawa Lama, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe. Lorong sempit itu berada di tengah permukiman padat penduduk. Rumah-rumah di lorong ini berdempetan, sebagian di antaranya berkonstruksi kayu sudah lapuk.
Besi sebesar betis orang dewasa dan setinggi lutut anak usia sekolah dasar itu berada di depan rumah Mukhlis yang berdampingan dengan rumah Andi Firnardi. “Iya, ini sisa tiang gantung tempat Teuku Chik Di Tunong ditembak mati oleh tentara Belanda (pada masa penjajahan) dulu. Seharusnya pemerintah memugar (sisa) tiang ini agar tidak hilang total, karena ini peninggalan sejarah. Apakah dibangun monumen, teknisnya pemerintah lebih paham,” kata Dahri (60), tetangga Mukhlis, ditemui portalsatu.com, Rabu, 18 Oktober 2023.
“Dari tahun ke tahun, banyak pihak yang datang melihat sisa tiang gantung ini, mulai dari pejabat (pemerintah) sampai artis Jakarta asal Aceh. Kita berharap pemerintah memugar bukti sejarah ini supaya diketahui generasi masa depan,” ujar Cut Eli (56), tetangga Dahri.
Sepengetahuan Dahri dan Cut Eli, salah seorang cicit (anak dari cucu) Teuku Chik Di Tunong yang masih hidup tinggal di Desa Hagu Selatan, Kecamatan Banda Sakti. “Namanya Pak T. Zulkifli,” ucap Cut Eli.
Teuku Chik Di Tunong—nama aslinya Teuku Cut Muhammad—adalah suami pahlawan nasional Cut Meutia. Sedangkan Teuku Chik Di Buah merupakan rekan seperjuangan Teuku Chik Di Tunong. Keduanya dikenal sebagai pejuang sejati yang lihai merancang strategi gerilya untuk mencincang serdadu penjajah.
Dikutip dari buku “Perjuangan Cut Meutia di Rimba Pasai” yang ditulis Ali Akbar, Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Utara tahun 1987, Teuku Chik Di Tunong dan Teuku Chik Di Buah ditangkap pasukan Belanda pada 5 Maret 1905 dan ditahan di Penjara Lhokseumawe.
Kedua pejuang Aceh itu dituduh sebagai perancang penyerbuan Meurandeh Paya di Aceh Utara yang menewaskan tentara Belanda dalam jumlah banyak. Mulanya, Belanda memutuskan Teuku Chik Di Tunong dan Teuku Chik Di Buah dihukum gantung. Namun, hukuman gantung dibatalkan Gubernur Militer Van Daalen di Banda Aceh. Diganti dengan hukuman tembak walau persiapan tiang gantung telah disiapkan di pantai Lhokseumawe (Kampung Jawa Lama).
Setelah 20 hari ditahan, Teuku Chik Di Tunong dan Teuku Chik Di Buah dibawa ke tepi pantai Kampung Jawa Lama, 25 Maret 1905. Di sana sudah ada tiang gantung dan regu tembak. “Dua patriot bangsa itu minta matanya tak ditutup sebagai jiwa besar. Mereka gugur sebagai kesuma bangsa. Atas permintaan Maharaja Lhokseumawe, dua pahlawan itu dimakamkan di Desa Mongeudong, Lhokseumawe,” tulis Ali Akbar.
Baca juga: Tiang Tempat Teuku Chik Di Tunong Ditembak Mati, Kapan Dipugar?
[Foto direkam portalsatu.com, 18 Oktober 2023]
Bentuk TACB dan TPCB
Kepala Bidang Kebudayaan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (PK) Lhokseumawe, Zul Afrizal, S.Pd.I., M.A., dikonfirmasi portalsatu.com via telepon, Jumat, 20 Oktober 2023, mengatakan pihaknya sudah survei ke lokasi sisa tiang gantung tempat Teuku Chik Di Tunong dieksekusi mati oleh pasukan Belanda. “Terkait tiang itu, kita sudah survei dan ambil foto pada Juni 2023,” ujar Zul Afrizal akrab disapa Jol Pase.
Tiang gantung tersebut salah satu dari banyak Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) di Kota Lhokseumawe. ODCB perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu untuk menilai apakah memenuhi syarat ditetapkan menjadi Objek Cagar Budaya (OCB) dan dipugar.
Menurut Jol Pase, sejak Pemko Lhokseumawe terbentuk hasil pemekaran Kabupaten Aceh Utara tahun 2001, sampai 2021 belum ada Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dan Tim Pendaftar Cagar Budaya (TPCB) di Kota Lhokseumawe. Oleh karena itu, kata dia, dalam masa dua tahun dirinya menjabat Kabid Kebudayaan, langkah pertama dilakukan membentuk TACB dan TPCB.
“Akhir tahun 2022, kita ajukan TACB dan TPCB ke Kementerian (Pendidikan dan Kebudayaan) melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh untuk didaftarkan. Alhamdulillah, tahun 2023 ini sudah keluar SK TACB dan TPCB Kota Lhokseumawe. Tahun ini kita usul (anggaran) untuk 2024 agar tim itu bisa efektif bekerja, karena secara undang-undang yang menetapkan Objek Cagar Budaya dan Objek Diduga Cagar Budaya adalah pemerintah melalui proses penelitian tim itu,” ujar Jol Pase.
Jol Pase menyebut pihaknya mengajukan lima orang untuk TACB dan TPCB Kota Lhokseumawe. Namun, disetujui empat orang, yakni dua orang TACB dan dua orang TPCB. “Dua orang TACB, satu akademisi ISBI Aceh yang juga putra Kota Lhokseumawe, Ahmad Zaki, dan satu pelaku budaya, Ihsan Nanda (mantan Kasi Museum Kota Lhokseumawe yang kini tidak lagi bertugas di Dinas PK),” tuturnya.
Dia berharap TACB dan TPCB Kota Lhokseumawe proaktif untuk menjembatani proses penetapan ODCB menjadi OCB. “Apapun harapan masyarakat kita tampung, insya Allah pada 2024 ada sosialisasinya. Artinya, ada sejumlah ‘PR’ Kota Lhokseumawe ke depan yang harus dirasionalkan dengan terbentuknya dua tim itu. Beberapa yang dianggap ODCB sudah diambil foto dan akan diteliti pada 2024 supaya dapat didaftarkan oleh TACB dan TPCB,” pungkas Jol Pase.[](red)