Rabu, September 18, 2024

Kajari Aceh Tenggara: Kami...

KUTACANE - Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Tenggara, Lilik Setiyawan, S.H., M.H., berkomitmen...

Tim Jabar Kembali Sabet...

KUTACANE - Tim Jawa Barat (Jabar) kembali merebut medali emas cabang olahraga arung...

Putra Anggota Polres Gayo...

BLANGKEJERN - Prestasi gemilang kembali ditorehkan oleh putra Gayo Lues Haikal Al-Fakhri, putra...

Panitia PON XXI Aceh-Sumut...

KUTACANE - Panitia Besar Pekan Olahraga Nasional (PB PON) Aceh-Sumut meminta maaf kepada...
BerandaOpiniAda Apa di...

Ada Apa di Balik Kerja Sama PT PEMA dengan PT EMP Mengelola Blok B?

Oleh Terpiadi A. Majid*

Keputusan Gubernur Aceh Nova Iriansyah yang tidak mengikutsertakan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam pengelolaan Blok B adalah kebijakan yang keliru, konyol, dan tidak bermartabat.

Lapangan gas Blok B yang sepenuhnya berada di Aceh Utara, tepatnya di kampung Aron sehingga namanya ditabalkan menjadi Arun Field, ditemukan oleh Mobil Oil Corporation pada 24 Oktober 1971 di bawah kendali Bob Graves sebagai pimpinan eksplorasi ketika itu. Ladang gas terbesar dengan cadangan gas diperkirakan mencapai 17.1 trilliun kaki kubik.

Pada 16 Maret 1974, Pemerintah mendirikan PT Arun NGL Co., sebagai operator dengan kepemilikan saham 55% Pertamina, 30% Mobil Oil, dan 15% JILCO. Ekspor perdana kondensat dilakukan pada 14 Oktober 1977 dan pabrik LNG terbesar milik PT Arun NGL Co tersebut diresmikan Presiden Suharto, 19 September 1978.

Ketika dimulainya konstruksi Lapangan Arun dan pembangunan pabrik LNG, tepatnya 4 Desember 1976 Dr. Hasan Muhammad Di Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka. Aceh pun bergolak. Dari eksploitasi gas dalam perut bumi Aceh, ternyata Aceh tidak mendapatkan hasil yang dibagi, hanya memperoleh sebatas dan senilai zakat jika dihitung dari hasil yang dikeruk dari bumi Aceh dan yang diterima dari pemerintah pusat dari hasil ekspor LNG, kondensat dan LPG tersebut. Kontrak ekspor LNG berakhir pada Oktober 2014 setelah lebih kurang 40 tahun dieksploitasi.

Sementara itu, hasil perjanjian damai atau MoU Helsinki ditandatangani Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), 15 Agustus 2005, kemudian melahirkan UUPA. Dari undang-undang tersebut lahirlah Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) sekaligus memberi ruang untuk Aceh dalam pengelolaan Migas di daratan Aceh dan laut yang terbatas.

Ketika Blok B belum habis masa kontrak dengan Mobil Oil, perusahaan ini merger dengan Exxon pada tahun 1999 sehingga berubah nama menjadi ExxonMobil. Sejak tahun 2010, ExxonMobil ingin melepaskan dengan menjual seluruh sahamnya di Blok B, karena mereka menganggap sudah tidak ekonomis, dan akan mengembangkan di tempat lain.

Pada 1 Oktober 2015, kontrak Blok B beralih kelola kepada PT Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE). Kontrak berakhir pada 3 Oktober 2018, diperpanjang sampai 3 April 2019. Lalu, diperpanjang lagi masa transisi hingga 17 Mei 2021.

Akhirnya, Menteri ESDM dengan surat No. 76 K/HK.02/MEM.M/2021 menunjuk Pemerintah Aceh melalui PT PEMA untuk mengelola Blok B mulai 18 Mei 2021.

Untuk diketahui bahwa Aceh mendapatkan hak untuk mengelola Migas sendiri bukanlah atas kesabaran dan kecerdasan Gubernur Aceh Nova Iriansyah, sebagaimana dikatakan Kepala Dinas Pertambangan Aceh Mahdinur (Serambi Indonesia, Senin, 26 Juli 2021). Akan tetapi, Aceh bisa mendapatkan hak mengelola tersebut berkat perjuangan Gerakan Aceh Merdeka yang ditindaklanjuti oleh para juru runding RI dan juru runding GAM ketika sepakat dengan MoU Helsinki.

Anehnya lagi, kenapa Gubernur Aceh Nova Iriansyah serta merta menunjuk PT Energi Mega Persada (PT EMP)—perusahaan yang masih terafiliasi dengan kelompok usaha Bakrie yang mengendalikan Lapindo Brantas—dengan surat Gubernur Aceh No. 540/5583, tanggal 31 Maret 2020? Surat Gubernur itu ternyata setahun lebih sebelum Menteri ESDM RI menerbitkan surat tentang kelanjutan pengelolan wilayah kerja North Sumatera Blok B (NSB) di Aceh. Kesannya Gubernur mengambil kebijakan sangat tergesa-gesa. Kenapa tidak melalui beauty contest, dan mengapa PT EMP dari Bakri Group yang belum selesai masalah Lapindo di Porong, Jawa Timur, yang dipilih?

Kenapa pula tanpa persetujuan DPRA? Gubernur hanya mendapatkan persetujuan dari Ketua DPRA Dahlan Jamaluddin tanpa keputusan rapat paripurna. Jika keputusan diambil melalui rapat paripurna sudah pasti anggota DPRA asal Aceh Utara tidak akan setuju jika Blok B dikelola tanpa melibatkan Pemerintah Aceh Utara.

Ada apa di balik itu semua, apakah ada komitmen siapa mendapat apa dan berapa? Sehingga penunjukan PT EMP itu berjalan mulus tanpa hambatan.

Kita mengharapkan KPK turun tangan menyelidiki dugaan kongkalikong antara PT PEMA dengan PT EMP atas restu Gubernur Aceh. Jangan sampai beberapa oknum mendapat laba, sedangkan rakyat Aron menderita.

* Penulis adalah mantan Ketua KNPI Aceh Utara/mantan Karyawan PT Arun/Mobil Oil.

Baca juga: