BerandaBerita Banda AcehAktivis Perempuan di Aceh Minta Kasus Kejahatan Seksual Pesulap Hijau Dijerat UU...

Aktivis Perempuan di Aceh Minta Kasus Kejahatan Seksual Pesulap Hijau Dijerat UU TPKS

Populer

BANDA ACEH – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Flower Aceh meminta kasus kejahatan seksual yang dilakukan pesulap hijau atau dukun cabul di Kabupaten Pidie dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, mengatakan kasus kejahatan seksual ini sangat merugikan para korban secara fisik dan psikis, bahkan berpeluang memengaruhi kehidupan sosial korban. Menurut dia, pelaku berinisial Br (46), harus dihukum dengan UU TPKS.

“Pelaku harus dihukum dengan hukuman maksimal, dan korban harus dapatkan pemulihan komprehensif. UU TPKS lebih komprehensif dalam upaya penanganan, pemulihan, dan pemenuhan hak korban,” kata Riswati, dalam siaran persnya, Jumat, 28 Oktober 2022.

Riswati menjelaskan UU TPKS menjamin hak atas pemulihan baik fisik, psikologis, ekonomi, sosial, dan budaya serta restitusi. Pemulihan dilakukan sebelum, selama, dan setelah proses peradilan, di antaranya berupa penyediaan layanan kesehatan pemulihan fisik, penguatan psikologis korban, pemberian informasi tentang hak korban dan proses peradilan, penyediaan tempat tinggal yang layak dan aman, pendampingan hukum.

“UU TPKS memastikan korban mendapatkan jaminan perlindungan, penyediaan akses informasi penyediaan perlindungan, perlindungan dari ancaman kekerasan dan berulangnya kekerasan, dan perlindungan terhadap kerahasiaan identitas,” ujar Riswati.

Selain itu, kata Riswati, korban juga mendapatkan jaminan pemulihan setelah proses peradilan. Di antaranya, dalam bentuk pemantauan, pemeriksaan dan pelayanan kesehatan fisik dan psikologis korban secara berkala dan berkelanjutan, pemantauan dan pemberian dukungan lanjutan terhadap keluarga korban, penguatan dukungan komunitas untuk pemulihan korban, dan pendampingan penggunaan restitusi.

“UU TPKS selain menjamin hukumannya lebih maksimal terhadap pelaku, juga mengakomodir penanganan, perlindungan, pemulihan, dan pemenuhan hak korban kekerasan seksual secara komprehensif,” tegas Riswati.

“Kita memberikan dukungan kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan UU TPKS dalam penanganan hukum kasus ini,” tambahnya.

Untuk diketahui, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan pada 12 April 2022. Pengesahan UU TPKS dilakukan saat rapat paripurna DPR RI ke-19 masa persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022.

Mengutip berbagai sumber media lokal di Aceh, pelaku jarimah pemerkosaan, Br, melakukan aksinya dengan modus mengaku sebagai orang pintar atau dukun dan bisa mengobati orang sakit dan mengaku sebagai wali Allah agar pasien mempercayai praktik pengobatannya ampuh menyembuhkan berbagai penyakit.

“Tersangka mengancam dan melakukan pemaksaan apabila korban tidak mau berhubungan badan dengannya, korban dan keluarganya akan dibunuh secara gaib, dan sakit korban lebih parah dua kali lipat dari sebelum berobat pada tersangka,” tutur Kapolres Pidie AKBP Padli, dikutip pihak LSM Flower Aceh dari pemberitaan media lokal.

[Presidium Balai Syura, Khairani Arifin. Foto: Ist]

Menanggapi penjelasan penyidik yang menerapkan Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dalam kasus itu, Presidium Balai Syura, Khairani Arifin, S.H., M.Hum., menegaskan secara hirarki peraturan perundang-undangan, qanun harus mengacu kepada peraturan lebih tinggi yaitu UU No. 12 tahun 2022. Pada UU ini, pasal 4 bahwa tindak pidana kekerasan seksual meliputi kekerasan nonfisik dan kekerasan seksual fisik. Selain itu juga meliputi pemerkosaan, perbuatan cabul, dan lainnya.

Menurut Khairani, menghukum pelaku
kekerasan seksual dengan menggunakan Qanun Jinayat (cambuk), tidak akan menimbulkan efek jera. Hal ini dapat dilihat dengan kasus terus terjadi di tengah masyarakat.

“Kami minta penyidik menghukum pelaku dengan menggunakan UU No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan memberikan perlindungan dan dukungan kepada korban dengan melibatkan DP3A, Dinsos dan dinas terkait lainnya,” tegas Khairani.

Khairani menilai kasus pesulap hijau yang melakukan pelecehan seksual dan pemerkosaan jika dijerat dengan Qanun Jinayat merupakan tindakan yang keliru. Menurutnya, pelecehan dan pemerkosaan bukan merupakan jarimah/pelanggaran sebagaimana bentuk jarimah lainnya yang diatur dalam Qanun Jinayat, tetapi ini merupakan tindakan kejahatan.

“Dan tindakan ini telah memiliki pengaturan secara nasional yang lebih komprehensif dan secara hukum lebih kuat yaitu UU No.12 tahun 2022,” kata Khairani yang juga akademisi Fakultas Hukum USK.[](ril)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita terkait

Berita lainya