Dalam Alquran, kata “al-kabir” dikontekskan paling tidak dalam empat tema. Pertama, tema “bukti-bukti kebesaran Allah SWT”. Dalam tema ini ditegaskan bahwa Allah SWT mengetahui dengan sedetail-detailnya tentang segala hal yang bersifat gaib (tidak kasat mata, metarasional, tidak tersentuh syaraf tubuh makhluk), dan yang bersifat lahiriyah, syahadah (kasat mata, rasional, tersentuh syaraf tubuh makhluk) (QS Ar-Ra’d, 13: 9).
Kedua, tema “Allah SWT adalah benar-benar ‘ada’”. Dalam pemahaman in, maka tidak ada celah sedikitpun manusia mempertuhan selain Allah SWT. Kalau Allah SWT adalah Tuhan yang “Sungguh-sungguh benar”, maka tindakan mencari Tuhan atau mempertuhankan selain dari Allah SWT adalah tidakan pencarian dan cara berketuhanan yang “batal”. (QS Al-Hajj, 22: 62; QS Luqman, 31:30).
Ketiga , tema “hak prerogatif pemberian syafaat”. Hanya Allah SWT yang memiliki hak tersebut, karena Allah SWT adalah Tuhan yang “sungguh-sungguh benar”, yang memiliki sifat Maha Tinggi, Maha Besar (QS Saba’, 34:23). Dalam agama Islam diajarkan bahwa Allah SWT hanya memberi hak memberi syafaat tersebut kepada nabi Muhammad SAW, terutama pemberian syafaat terhadap umat beliau, yaitu mukmin, muslim, dan muhsin.
Keempat, tema “ke-Esaan Allah SWT adalah segala-galanya”. Tema ini adalah khas dari agama Islam, tema ini juga menjadi ujung dakwah agama Islam, menjadi warna seluruh ajaran agama Islam, dan menjadi ciri utama agama Islam di tengah-tengah pergaulan antaragama di dunia ini, kapan saja dan di mana saja. Siapapun yang mencoba menolak tema “ke-Esaan Allah SWT” tidak akan pernah mampu meruntuhkan Allah SWT dan Allah SWT tidak tergoyahkan sedikitpun atas penolakan manusia, andaikata ada yang mencoba melakukannya; Allah SWT masih tetap “Maha Besar” di depan mereka yang demikian itu (QS Al-Mu’min, 40: 12).
Berdasarkan uraian yang berlandaskan ayat-ayat Alquran di atas, dapat diringkaskan bahwa “kebesaran Allah SWT” berdasarkan alasan: (1) bukti kekuasaan yang tidak akan bisa ditandingi; (2) bukti “ada”-Nya yang beralas argumentasi yang benar-benar kuat (sungguh-sungguh “ada”); (3) bukti pemegang hak prerogatif atas “syafaat” pada Hari Kiamat nanti; dan (4) bukti “ke-Esaan Allah SWT” yang tidak akan bakal dapat digoyang, digulingkan, atau dirobohkan oleh kemampuan logika manusia kapanpun dan dimanapun. Argumentasi apapun akan dengan sendirinya gugur dan tidak ada kemampuan untuk menegakkannya kembali.
Barangkali inilah rahasiannya kenapa shalat dimulai dengan bacaan “takbirat al-ihram” (allahu akbar) dan disunahkan selepas shalat membaca berulang masing-masing sebanyak 33 kali bacaan “tasbih” (subhana-‘i-llah), bacaan “tahmid” (alhamdu li-‘l-llah), dan bacaan “takbir” (allahu akbar), serta diakhiri dengan bacaan “tahlil” (la ilaha illa-‘l-llah). Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis: Mohammad Damami Zain, Dosen Tetap UIN Suka Yogyakarta.
[]Sumber: Majalah SM Edisi 22 Tahun 2018/republika.co.id