“Dari balik tubuh tuanya itu, dapat kurasakan jiwa 'kepemimpinan' yang dimilikinya. Jiwa yang ditempa oleh masa dan sejarah yang telah dilaluinya. Getir dan indahnya masa lalu terpahat di kerutan wajah lelaki yang pada Juni lalu ini genap berumur 92 tahun”.
RUMAH itu tampak lengang. Pintu depannya rapat terkunci. Hanya pintu samping dan pagar saja terbuka. Sementara, tak terdengar ada aktivitas dari dalam rumah yang kusambangi pada Selasa, 16 Mei 2018, sore, itu.
Awalnya, aku agak ragu. Siang itu, kali pertamanya aku mengemban tugas sebagai “kuli tinta”, di salah satu media online lokal Aceh. “Pokoknya aku harus dapat mewawancarai sang narasumber,” gumamku seraya membulatkan tekad dalam hati.
“Wa'alaikum salam,” terdengar jawaban dari dalam rumah. Seorang lelaki paruh baya terlihat ke luar dari pintu samping rumah tersebut. Melihatku, lelaki itu tampak kebingungan. Raut wajahnya penuh tanya, sebelum akhirnya aku memperkenalkan diri serta mengutarakan maksud dan tujuan kedatanganku.
“O…, dari media. Tapi, maaf dek. Bapak sedang kurang sehat. Tidak mungkin mewawancarai beliau saat ini,” kata lelaki itu. Aku sedikit kecewa mendengar jawaban lelaki tersebut, tapi apa boleh buat. Setelah meminta maaf, aku mohon pamit untuk pulang.
Saat aku akan pergi, tiba-tiba lelaki tadi memanggilku. “Dek…, dek, bapak bilang ia mau diwawancara.
“Oh, alhamdulillah”. Segera kumatikan sepeda motorku lalu masuk ke dalam rumah ditemani lelaki yang rupanya adalah anak narasumber yang sedang kuburu itu.
Hari itu aku berhasil mewawancarai seorang sejarawan Aceh Barat, T.M. Yatim. Kebetulan aku ditugasi pimpinan redaksi di media tempatku magang untuk melakukan wawancara terhadap sejarawan yang paham mengenai tradisi meugang (makmeugang). Khususnya, seorang ahli yang dapat menjelaskan ada atau tidaknya pergeseran pada tradisi meugang di Aceh dari masa ke masa.
Menjelang puasa, media, khususnya, di Aceh, memang sering menjadikan tradisi meugang sebagai salah satu topik pembahasannya. Tidak jarang pula, terdapat media yang khusus meliput sisi lain dari tradisi meugang, seperti kegiatan 'makan-makan” (rekreasi bersama kerabat dan sahabat ke pantai atau tempat wisata) yang dilakukan sehari setelah meugang.
Di Aceh Barat, kecuali T.M. Yatim, tampaknya belum ada pilihan narasumber lain untuk hal tersebut. Hari itu, hampir satu jam lamanya aku mewancarai lelaki berperawakan kurus tersebut. Kami berselancar dari satu zaman ke zaman lainnya, membahas tradisi meugang dan beberapa hal lainnya tentang Aceh.
“Saat itu, jelang puasa, Sultan biasa membagikan daging sapi untuk para fakir miskin. Kebiasaan ini (makan-makan), ini kan baru. Kalau dulu waktu saya kecil, tidak ada namanya 'makan-makan'. Kami lebih banyak menghabiskan waktu, pergi dari rumah ke rumah, makan bersama, sambil berdoa bersama teungku,” ujar T.M. Yatim.
Ketika kuwawancarai, T.M. Yatim tampak kurang sehat. Ia bahkan sedang terbaring di tempat tidurnya saat menerimaku. Aku sempat berkali-kali meminta maaf, karena merasa tidak enak telah menganggu istirahatnya.
Lelaki yang menjadi bagian dari peristiwa bersejarah saat pengibaran bendera merah putih oleh pelajar dari Sekolah Taman Siswa di Meulaboh pada 14 September 1945 ini, memang sedang dalam perawatan keluarga, akibat sakit menahun yang menderanya, saat itu.
Tidak jarang, aku harus mengulang kembali pertanyaanku agar ia mengerti. Jawabannya pun terkadang melebar dari topik pembahasan kami. Menariknya, di usia dan tubuhnya yang tak lagi muda itu, T.M. Yatim memiliki suara yang cukup lantang dan tegas.
Dari balik tubuh tuanya itu, dapat kurasakan, jiwa “kepemimpinan” yang dimilikinya. Jiwa yang ditempa oleh masa dan sejarah yang telah dilaluinya. Getir dan manis sejarah masa lalu seolah terpahat di kerutan wajah lelaki yang Juni lalu ini genap berumur 92 tahun.
Demikian sekilas ingatanku, saat mewawancarai sejarawan T.M. Yatim, di kediamannya, Jalan Teuku Radja Neh, Kuta Padang, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, Mei lalu. Lelaki yang dikenal dekat dengan para seniman Aceh Barat ini adalah salah seorang dari sembilan orang pemuda pelopor pembentukan Barisan Pemuda Indonesia (BPI) di Meulaboh pada 1945, silam.
Kesembilannya yakni, T. Ilyas Polem, H. Daood Dariah (bupati pertama Aceh Barat), H. Daood N.A., T.R. Iskandar, H. Hasan, Amat, T. Tjut Mahmud, M. Saleh, dan tentunya, T.M. Yatim sendiri. Kecuali itu, dirinya juga disebut-sebut pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pasca-kemerdekaan, serta menjabat sebagai camat di Kabupaten Aceh Barat.
Jejaknya di mata mereka
T. Syahluna Polem terkesiap demi melihat salah satu pesan yang dikirim ke grup WhatsApp “Aceh” di android miliknya, Kamis, 2 Agustus 2018, pukul 00.09 WIB.
“Innalillahi wainnailaihi rojiun. Telah berpulang ke rahmatullah tokoh Aceh Barat/pejuang dan perintis kemerdekaan Bapak Haji T.M. Yatim, pada Pukul 21.35 WIB malam ini, 1 Agustus 2018, di RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh dalam usia 92 tahun,” demikian bunyi pesan yang diterima mantan Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Barat itu, Kamis pagi.
“Hilang sudah salah satu pelaku sejarah di Bumi Teuku Umar ini,” kata Syahluna, yang kukonfirmasi via telepon, Kamis sore. “Semoga ia tenang di sisi Ilahi,” imbuhnya lirih.
Menurut Syahluna, kepergian T.M Yatim menandai hilangnya puluhan dokumen penting sejarah Bumi Teuku Umar.
Syahluna masih memiliki silsilah hubungan keluarga dengan T.M. Yatim. Ayahnya, T. Ilyas Polem, juga sejawat dengan T.M. Yatim, dalam Barisan Pemuda Indonesia di Meulaboh.
“Ingatan beliau akan sejarah sangat kuat. Dia juga termasuk pejuang. Dia selalu menegaskan kepada saya, agar jangan melupakan sejarah. Selalu,” kenang Syahluna.
Hal senada diungkap putra Aceh Barat, yang saat ini berkarier di Provinsi Aceh, H.T. Ahmad Dadek, S.H. Bagi Dadek, T.M. Yatim adalah fakta sejarah dan penyambung masa lalu.
“Beliau adalah fakta sejarah dan saya yang menulis dan merekamnya. Jadi, Aceh Barat kehilangan narasumber sejarah dan kehilangan penyambung masa lalu Aceh dengan masa lalu,” ungkap penulis dan juga sejarawan, saat ini dipercaya menjabat Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA).
Kini T.M. Yatim telah pergi. Kembali kepada pencipta-Nya. Disemayamkan di salah satu sudut kota, di Kompleks Pemakaman Jirat Manyang, Gampong Ujong Kalak, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat. Dikubur bersama segenap sejarah yang telah ia lalui di masa silamnya.[]