Anggota Majelis Permusyawaratan Nasional (MPN) Partai Gelora, Moharriadi Syafari, mengungkapkan pandangannya terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Menurutnya, ini merupakan kekhususan dan keistimewaan yang telah didapatkan Aceh selama ini.
“Dinamika perjalanan sangat panjang, dari konflik yang kita alami. Walaupun di sana-sini banyak orang masih mendiskusikan adanya kekurangan,” ujarnya ketika ditemui portalsatu.com, Kamis siang, 2 Januari, 2023, di Banda Aceh.
Dia berharap dalam persoalan UUPA, kedua pihak baik Aceh maupun Jakarta (pemerintah pusat) harus berkomunikasi dengan baik, terutama di internal Pemerintah Aceh mesti betul-betul melihat poin-poin yang perlu untuk diperkuat dan diperbaiki.
Moharriadi menyatakan dua hal itu perlu dikomunikasikan secara intensif ke Jakarta, baik dengan pemerintah pusat, atau lewat jalur partai politik, maupun jalan lainnya yang dapat “diterobos”. Sehingga Jakarta dapat memberi ruang gerak yang besar kepada Aceh.
“Supaya Aceh, kalau istilahnya ‘tidak lagi melepaskan kepala dan hanya memegang ekornya saja’, sehingga terkesan selama ini tidak ada kepercayaan yang besar untuk Aceh dalam menentukan langkahnya sendiri,” ujarnya.
Mendukung Spirit UUPA
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai NasDem Aceh, Teuku Taufiqulhadi, mengatakan UUPA disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang tentunya melibatkan partai-partai politik nasional (parnas).
Menurut dia, Aceh diberikan hak eksklusif karena latar belakang sejarahnya, sehingga lahirlah UUPA, yang merupakan amanah dari MoU Helsinki. “Jadi NasDem akan mendukung sepenuhnya, karena itu merupakan aspirasi masyarakat Aceh,” ujar Taufiqulhadi ketika ditemui portalsatu.com di Pango, Banda Aceh, Sabtu sore ,28 Januari 2023.
Oleh karena itu, kata Taufiqulhadi, belum lama ini dirinya telah menyatakan sikap, mendukung Direktur Utama Bank Aceh Syariah (BAS) harus orang Aceh. “Itulah bentuk dari sikap saya, bagaimana saya berbicara tentang spirit UUPA. Saya sangat mendukung UUPA,” tegasnya.
Lahirnya Perpres dan Permen Kangkangi UUPA
Sekretaris Jenderal Forum LSM Aceh, Sudirman Hasan, menilai implementasi UUPA belum sesuai harapan masyarakat.
“Enam belas tahun lebih sudah UUPA, implementasinya belum berjalan seperti yang diharapkan. Bahkan, masih jauh dari harapan masyarakat Aceh,” kata Sudirman Hasan kepada portalsatu.com via WhatsApp, Sabtu malam, 28 Januari 2023.
Dengan demikian, kata Sudirman, perlu upaya bersama untuk penguatan UUPA ke depan. Wacana revisi UUPA, harus dikawal dan diusulkan poin-poin perubahannya oleh semua pihak di Aceh. “Agar kalau pun jadi direvisi, perubahannya itu untuk kepentingan dan menguntungkan Aceh,” tuturnya.
Menurut Sudirman, salah satu kendala implementasi UUPA adalah tidak semua pihak di pusat mengetahui isi UU No. 11 tahun 2006 itu. Selain itu, keikhlasan dan keseriusan pusat juga dapat diragukan. Hal ini dapat dilihat dengan lahirnya regulasi baru, baik undang undang, Perpres (Peraturan Presiden) dan Permen (Peraturan Menteri) yang mengangkangi pasal-pasal atau kewenangan Aceh dalam UUPA.
“Termasuk yang terbaru seperti revisi UU Pemilu. Jadi, perubahan atau revisi dalam konteks penguatan UUPA, menurut saya, suatu keniscayaan yang harus disesuaikan,” tegasnya.
Dana Otsus Aceh Belum Transparan
Direktur Aceh Institute, Muazzinah Yacob, menyebut UUPA yang lahir pada 2006 silam sebagai kompensasi peran politik Aceh, untuk meredam konflik, dan memenuhi hak-hak dari perjanjian damai. Kekhususan UUPA menunjukkan Aceh berbeda dari provinsi lain di Indonesia.
“Sebenarnya, poin penting dari UUPA adalah (Aceh) bisa mengatur pemerintah sendiri. Satu sisi kita orang Aceh harus bersyukur ada UUPA. Ini yang menunjukan kompensasi peran politik,” kata Muazzinah Yacob kepada portalsatu.com di kawasan Lampineung, Banda Aceh, Senin malam, 30 Januari 2023.
Dia menilai selama ini sosialisasi terkait UUPA sangat minim, sehingga masyarakat tidak paham dengan persoalan tersebut. Oleh karena itu, dalam tahapan revisi ini, sosialisasi UUPA ke tengah-tengah masyarakat mesti maksimal.
Selain itu, kata Muazzinah, selama ini pengelolaan Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh yang merupakan amanah langsung dari UUPA juga belum transparan. Misalnya, terkait beasiswa untuk anak yatim korban konflik dan masyarakat miskin yang jelas-jelas korelasinya dengan UUPA dan Otsus.
“Katakanlah di sektor pendidikan yang alokasi anggarannya di Dinas Pendidikan. Pertanyaannya, berapa anak korban konflik yang sudah jelas beasiswanya. Jangan-jangan selama ini yang menerima beasiswa semuanya anak orang kaya. Ini menjadi masalah lagi,” kata Muazzinah.
Di sektor kesehatan, Muazzinah mempertanyakan sejauh mana fasilitas dan pelayanan kesehatan terhadap pasien yang benar-benar korban konflik. Misalnya, hari ini ada korban konflik Aceh yang di dalam badannya masih ada peluru, mestinya ia mendapatkan penanganan khusus.
“Selama ini tidak, pasien (korban) konflik juga harus mengantre lama, dan sebagainya,” ucap perempuan kelahiran Peusangan, Bireuen itu.[]
Penulis: Adam Zainal
Editor: Thayeb Loh Angen.