BANDA ACEH – Budayawan Aceh, Nab Bahany, angkat bicara soal Surat Edaran Pj. Bupati Bireuen Nomor: 452/199/2023, tanggal 24 Februari 2023, tentang Larangan pelaksanaan live musik, yang ditujukan kepada pemilik kafe, hotel, restoran, dan tempat hiburan lainnya.
Ditemui portalsatu.com di Banda Aceh, Senin, 6 Maret 2023, sore, Nab Bahany menilai Surat Edaran (SE) Pj. Bupati Bireuen itu dapat dilihat sebagai ketidakpahaman bupati dalam mengkomunikasikan hal-hal semacam itu, sehingga menjadi polemik di masyarakat.
Menurut Nab Bahany, seharusnya Pj. Bupati Bireuen terlebih dahulu melakukan komunikasi-komunikasi dengan para pihak, sebelum mengeluarkan SE itu. “Dengan lembaga-lembaga terkait, seperti Majelis Adat Aceh (MAA) Bireuen ataupun MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) Bireuen,” ujarnya.
Nab Bahany menyebut Pj. Bupati Bireuen semestinya ikut mempertimbangkan efek atau dampak yang berpotensi muncul, sebelum SE larangan live musik itu dikeluarkan.
“Seharusnya ada koordinasi-koordinasi lebih dulu dengan berbagai pihak,” ucap Nab Bahany.
Sebelumnya, dia membuat postingan di akun Facebook Nab Bahany As, 5 Maret 2023, berjudul “Dunia Seni Budaya Aceh Kembali Dikejutkan”. Dalam postingan itu, Nab Bahany menuturkan setelah akhir tahun lalu dunia seni budaya Aceh viral oleh polemik (pro-kontra) soal pelarangan musik yang difatwakan MPU Aceh Nomor 12 tahun 2013. Kini dunia seni budaya Aceh kembali dihenyakkan oleh Surat Edaran Pj. Bupati Bireuen yang melarang penggunaan alat musik dalam syair dan nyanyian-nyanyian, terutama dalam wilayah Kabupaten Bireuen.
Pelarangan itu, kata Nab Bahany, juga didasarkan pada Fatwa MPU Aceh Nomor 12 tahun 2013 tentang Pelarangan menggunakan alat musik dalam lantunan-lantunan syair dan nyanyian.
Padahal, menurut Nab Bahany, persoalan seni musik dalam Islam ini, tahun 2022 kemarin, telah dibuat sebuah diskusi pubik yang diinisiasi Disbudpar Aceh, di Hotel Hermes Banda Aceh. Diskusi itu dimaksudkan untuk memperoleh kesamaan pandangan, terutama di Aceh, terhadap bagaimana sebenarnya kekedudukan seni dalam Islam.
Nab Bahany menyebut dalam diskusi publik itu dihadirkan Ketua MPU diwakili Wakil Ketua MPU Aceh, ahli sejarah kebudayaan Islam dari UIN Ar-Raniry, dan ulama-ulama pimpinan dayah yang ada di Banda Aceh serta Aceh Besar sebagai pembicara.
Menurut Nab Bahany, hasil diskusi tersebut melahirkan tiga rekomendasi. Salah satu rekomendasinya mengimbau MPU Aceh agar dapat meninjau kembali (mengkaji ulang), salah satu butir fatwanya yang melarang alat musik di Aceh, seperti gitar, piano, bas, seruling, biola, dan sejenisnya.
Untuk diketahui, kata Nab Bahany, persoalan pengembangan seni budaya di Aceh, termasuk seni musik, telah pernah diselesaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh tahun 1972, yaitu masa Tgk. Abdullah Ujong Rimba selaku Ketua MUI Aceh saat itu.
Nab Bahany menjelaskan dalam keputusan MUI Aceh tahun 1972 yang ditandatangani Tgk. Abdullah Ujong Rimba sama sekali tidak melarang (mengharamkan alat musik). MUI Aceh dalam keputusannya tahun 1972 itu, hanya memberikan rambu-rambu bahwa setiap pengembangan seni budaya Aceh dapat disesuaikan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
“Itu artinya, silakan Anda bermusik, asal musik yang Anda gunakan tidak bertenangan dengan nilai-nilai ajaran Islam,” tulis Nab Bahany.
Nab Bahany pun mempertanyakan, bagaimana Islam tidak membolehkan musik. Sementara dalam sepanjang sejarah Islam sendiri, teori-teori tentang musik dikembangkan oleh ulama-ulama (para filosof-filosof) Islam terkemuka di abad-abad kejayaan peradaban Islam.
Nab Bahany menyebut para filosof-filosof Islam dahulu telah menulis ratusan kitab-kitabnya tentang teori musik. Ibnu Sina selain dikenal sebagai ahli kedokteran, beliau juga seorang pakar musik dalam dunia Islam.
“Lalu kenapa musik ini kemudian menjadi sesuatu yang haram dalam Islam. Padahal, dalam sejarah Islam itu, musik ini adalah bagian dari salah satu kemajuan kebudayaan Islam dalam sejarah kejayaan peradaban umat Islam itu sendiri. Wallahu’aklam,” tulis Nab Bahany dalam postingannya itu.
Lihat pula: Terkait Larangan Live Musik, Tim Pemkab Bireuen Sambangi Kafe.[](Adam Zainal)