BANDA ACEH – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dari Fraksi Partai Aceh, Sulaiman, S.E., mempertanyakan strategi dan rencana aksi Pemerintah Aceh dalam mengatasi konflik satwa selama ini.
Sulaiman menilai konflik satwa terjadi karena tidak adanya upaya serius yang dilakukan Pemerintah Aceh terutama Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) dalam pengelolaan satwa liar.
Menurunya, konflik satwa liar yang terjadi di Aceh hampir tak pernah usai. Terbaru konflik kembali terjadi antara harimau dengan manusia di Desa Peunaron Lama, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur, yang berujung penetapan tersangka terhadap seorang warga yang kambingnya dimakan harimau pada Rabu (22/2) lalu.
Pemilik ternak ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan meracuni harimau yang telah menerkam kambingnya di kebun miliknya.
“Aceh punya Qanun tentang pengelolaan Satwa Liar yang telah disahkan pada 2019 lalu. Tapi sampai saat ini Peraturan Gubernur (Pergub) mengenai Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Satwa Liar belum juga ditetapkan,” kata Sulaiman, Senin, 6 Maret 2023.
Padahal, sebut Sulaiman, dalam Qanun tersebut sangat jelas dikatakan bahwa Pemerintah Aceh harus menetapkan Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Satwa Liar, paling lama satu tahun sejak Qanun tersebut diundangkan, yaitu pada 18 Oktober 2019.
“Dua tahun lalu sudah saya desak supaya Pemerintah Aceh segera mengimplementasikan Qanun Nomor 11 tahun 2019 tentang Pengelolaan Satwa Liar. Namun, sampai saat ini belum juga terealisasi,” katanya.
Sulaiman menyebut saat ini tidak ada langkah konkret yang bisa dijadikan acuan dalam menangani persoalan konflik manusia dengan satwa liar di Aceh.
Di samping itu, kata Sulaiman, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh punya Standar Operasional Prosedur (SOP) sendiri dalam pengelolaan dan penanganan konflik satwa liar secara nasional. “Tapi itu tidak dapat dijadikan acuan konkret dalam pengelolaan satwa liar di Aceh, mengingat populasi satwa liar di Aceh lebih banyak dibanding dengan daerah lain di Indonesia,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Pemerintah Aceh harus mempunyai Strategi dan Rencana Aksi tersendiri dalam pengelolaan Satwa liar di Aceh, dan itu semua sudah diatur dalam Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2019 tentang Pengelolaan Satwa Liar di Aceh, tambah Sulaiman.
Politisi Partai Aceh ini juga mempertanyakan kinerja DLHK Aceh yang dinilainya tidak menunjukkan keseriusannya dalam pengelolaan satwa liar di Aceh.
Sulaiman mempertanyakan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Satwa Liar Aceh kepada DLHK yang dua tahun lalu sudah tahap finalisasi.
“Jadi, di mana dokumen itu sekarang, kenapa juga belum ditetapkan melalui Pergub? Finalisasi seperti apa yang dilakukan, sehingga sudah dua tahun juga belum rampung,” tutur Sulaiman.
Sulaiman mengharapkan Kadis DLHK Aceh tidak main-main dengan persoalan satwa liar Aceh, segera selesaikan turunan dari Qanun tersebut.
“Jika tidak mampu, silakan mundur supaya amanah tersebut dapat dijalankan oleh orang-orang yang bertanggung jawab,” tegasnya.
Restorative Justice
Berkaitan konflik pemilik kambing dan harimau di Aceh Timur, Sulaiman berharap kepada Kapolda Aceh agar kasus tersebut dapat diselesaikan secara Restorative Justice (RJ). mengingat hal itu terjadi dikarenakan belum adanya langkah konkret dalam pengelolaan satwa liar di Aceh.
“Hari ini sangat tidak adil rasanya jika dia (pemilik kambing) disalahkan secara sepihak, karena pada dasarnya dia juga dilindungi oleh negara. Negara tidak hanya melindungi harimau, tetapi negara juga melindungi setiap hak warga negara,” ucap Sulaiman.
Menurut Sulaiman, yang harus dipahami adalah konflik itu terjadi antara dua makhluk yang sama-sama dilindungi oleh negara. Negara harus hadir melindungi warganya dan menjamin kebutuhan hidupnya.
“Apa yang dilakukan oleh pemilik kambing tersebut bukanlah kejahatan yang luar biasa, dia tidak memburu harimau tersebut untuk diperdagangkan kulitnya, tetapi dia hanya menunjukkan reaksinya dikarenakan harimau tersebut telah menerkam kambing miliknya,” ujarnya.
“Bila perbuatan pemilik kambing harus dihukum karena melanggar aturan negara, maka kita juga harus sadar melindungi hak hidup dia, juga merupakan aturan negara, dan sangat jelas termaktub dalam UUD 1945,” tambah Sulaiman.
Sulaiman menilai konflik satwa dengan manusia terus terjadi karena lengahnya pemangku kebijakan dalam menyiapkan langkah-langkah konkret dalam pengelolaan satwa liar saat ini.
“Mungkin dalam hal ini merasa sama-sama terganggu (manusia dan satwa), makanya harus ada acuan khusus dulu dalam penanganan satwa hidup berdampingan dengan manusia, baru kita bisa menyalahkan siapa,” tegasnya.
Dengan demikian, kata Sulaiman lagi, dalam kasus seperti ini dirinya berharap agar penegak hukum dapat menyelesaikannya secara Restorative Justice.
“Berbicara dilindungi oleh negara, juga sama-sama dilindungi oleh negara (harimau dan manusia). Oleh karena itu, apa yang terjadi di Aceh Timur saya harap Kapolda Aceh dapat membuka mata hatinya untuk menyelesaikannya secara damai atau Restorative Justice,” pungkas Sulaiman.[](rilis)