LHOKSEUMAWE – Ketua Umum HMI Cabang Lhokseumawe-Aceh Utara Muhammad Fadli mengutuk keras Menteri Agama Yaqut Cholil yang membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing.
Fadli meyebut azan itu panggilan keagungan dalam Islam, lafaznya sangat mulia dan suci. Namun, Menag membandingkan azan dengan gonggongan anjing, yang dalam Islam anjing itu haram. Oleh karena itu, wajar umat Islam secara umum sakit hati mendengar ucapan Menag.
“Kami menilai pernyataan Menag tidak mencerminkan sosok yang bijaksana dan berbudi luhur, malahan pernyataannya sangat kontroversial dan menyakiti hati umat Islam,” kata Fadli dalam siaran persnya, Jumat, 25 Februari 2022.
HMI Lhokseumawe-Aceh Utara menuntut Menag membuat klarifikasi sendiri dan meminta maaf secara terbuka kepada seluruh umat Islam di Indonesia. “Karena telah mencoba menyakiti umat Islam dengan pernyataannya yang tendensius dan penuh apologetik tersebut,” ujar Fadli.
Menurut Fadli, pernyataan Menag yang diucapkan di depan publik tersebut berpotensi dapat dipidana dengan dijerat pasal 156a KUHP terkait dugaan penistaan dan pelecehan suatu keyakinan ajaran agama. “Perbuatan yang dapat dikategorikan tindak pidana 156a KUHP yaitu unsur perbuatan tindak pidananya berupa pelecehan, merendahkan terhadap suatu keyakinan ajaran agama yang dianut di Indonesia, dan unsur dengan sengaja mengeluarkan perasaan atau perbuatan merendahkan. Melecehkan adalah menyatakan perasaan kebencian atau meremehkan ajaran agama tertentu dan dinyatakan di hadapan dan/atau ditujukan kepada publik,” tuturnya.
HMI Lhokseumawe-Aceh Utara juga menolak Surat Edaran Menag Nomor 5 tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Alasan penolakan di antaranya bahwa azan merupakan perintah agama, salah satunya seperti termaktub dalam Hadis, “Jika telah tiba waktu shalat, hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandakan azan untuk kalian, dan hendaklah orang yang paling tua di antara kalian yang menjadi imam”.
Selain itu, secara konstitusional dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (2), negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan demikian, secara agama dan konstitusi negara mempunyai legitimasi yang kuat.
“Sudah 76 tahun Indonesia merdeka, semua agama di Indonesia bisa hidup damai dan tentram, termasuk ketika ada yang mengumandangkan azan, atau bunyi lonceng di gereja, masyarakat masih bisa hidup berdampingan sampai sekarang. Namun menjadi keliru ketika suatu hal yang sangat teknis dalam kehidupan beragama yang tidak terjadi permasalahan fundamental kemudian Menag mencoba mengatur hal tersebut. Kebijakannya itu membuat umat beragama merasa terusik dan tidak bisa beribadat dengan tenang dan nyaman,” kata Fadli.
HMI Lhokseumawe-Aceh Utara mendesak Menag mencabut SE Nomor 5 tahun 2022 tersebut.
“Kami juga meminta Presiden Jokowi mengevaluasi Menag. Ini menjadi preseden buruk bagi kepemimpinan Jokowi apabila menteri kontroversial seperti ini masih belum dievaluasi dan diberikan sanksi,” pungkas Fadli.
Sebelumnya, Menag Yaqut saat diwawancara sejumlah awak media di Pekanbaru, Riau, sempat menjelaskan bahwa volume suara toa masjid dan musala harus diatur maksimal 100 desibel (dB). Selain itu, waktu penggunaan disesuaikan di setiap waktu sebelum dan sesudah azan.
Hal itu dia sampaikan untuk menjelaskan surat edaran yang mengatur penggunaan toa di masjid dan musala yang dikeluarkannya beberapa waktu lalu. Namun, Yaqut kemudian mencontohkan suara-suara lain yang dapat menimbulkan gangguan. Salah satunya suara gonggongan anjing.
“Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu, enggak? Artinya apa? Suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak jadi gangguan. Sepiker di musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada terganggu,” kata Yaqut.[](ril)