BANDA ACEH – Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan (DPW PPP) Aceh, Husniati Bantasyam, menanggapi soal revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang sedang diperjuangkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh.
Husniati menyebut undang-undang memang perlu direvisi jika tidak lagi efisien dan efektif, apalagi UUPA yang selama ini dinilai banyak berbenturan dengan peraturan Pemerintah pusat (Jakarta).
“(Sebuah UU perlu direvisi) mungkin, karena adanya perubahan-perubahan di masyarakat, atau undang-undang tersebut tidak mampu membuat masyarakat dan daerahnya menjadi lebih baik. Mungkin juga tak bisa menjamin masa depan rakyat dalam menikmati kesejahteraan dan keadilan di berbagai aspek,” tutur Husniati dihubungi portalsatu.com, Kamis, 2 Maret 2023.
Jadi, kata Husniati, dalam revisi UUPA harus ada kepentingan masyarakat yang akan lebih diperhatikan. Masyarakat dimaksud termasuk kaum perempuan, yang dalam proses pembuatan kebijakan selama ini masih tetap diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, inferior terhadap kaum laki-laki.
Husniati meminta dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) atau sosialisasi draf revisi UUPA yang digelar tim DPR Aceh di kabupaten/kota, harus ada keseriusan menampung aspirasi masyarakat. “Jangan ada hura-hura atau kepura-puraan. Jika prosesnya benar, maka logikanya revisi itu akan bermanfaat kepada rakyat,” katanya.
Ketua Koalisi Barisan Guru Bersatu (KoBar GB) Aceh ini menyebut Pemerintah Aceh dan DPRA sudah mendengar secara luas adanya kehendak berbagai kelompok masyarakat untuk dilakukannya revisi terhadap UUPA. Oleh karena itu, yang mesti “dijual” ke Pemerintah pusat sebagai nilai tawar adalah aspirasi masyarakat.
Dia berharap revisi UUPA itu harus untuk jangka panjang. “Kalau bisa direvisi sedemikian rupa seolah-olah ini adalah revisi terakhir. Revisi UUPA harus jauh menjangkau ke puluhan atau ratusan tahun yang akan datang,” ujar Husniati.
Itu sebabnya, kata Husniati, revisi UUPA tak boleh dilakukan asal jadi. “Beberapa pasal saja dulu, 5 atau 10 (pasal), nanti direvisi lagi. Praktek semacam itu tak bagus dan efisien. Banyak pihak yang akan jadi penumpang gelap,” ungkapnya.
Bagi Husniati, revisi UUPA itu suatu keniscayaan, sebab memang terlihat ada persoalan jika dibiarkan tanpa perubahan. Setidaknya hal tersebut berkaitan dengan Dana Otonomi Khusus Aceh. “Yang imbasnya negatif, besar sekali ke sektor lain, jika karena hanya tinggal 1% dari pagu Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional,” jelasnya.
Hal ini, tambah Husniati, akan terkait dengan turunnya pelayanan kepada masyarakat dalam bidang kesehatan, dan pendidikan. Juga menurunnya kemampuan Pemerintah Aceh dalam mengentaskan kemiskinan, pembangunan infrastruktur, dan pelaksanaan keistimewaan Aceh.
Sebagai perempuan, Husniati mengaku setuju UUPA direvisi. Dia berharap nantinya hasil revisi tersebut dapat menjadi hadiah kepada kaum perempuan di Aceh.
“Setidaknya perempuan akan semakin terbantu di sektor reproduksi dan kesehatan ibu dan anak, akses yang setara dengan affirmative action di sektor pendidikan, dan juga kepada sumberdaya ekonomi dan politik,” tegasnya.
Diketahui, saat ini DPR Aceh sedang berupaya menggali masukan dari berbagai pihak untuk dapat disempurnakan draf revisi UUPA. Di antaranya, melalui RDPU digelar tim DPRA di kabupaten/kota di Aceh. RDPU itu dibagi empat zona, yakni wilayah tengah, barat selatan, pusat (ibukota provinsi Aceh), dan utara.[](Adam Zainal)