BANDA ACEH – Politikus (ahli politik) Partai Aceh, Halim Abe, menilai kehadiran Partai Adil Sejahtera (PAS) sebagai salah satu peserta Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 mengindikasikan munculnya kegundahan politik di kalangan cendekiawan dayah di Aceh.
“Kesadaran politik ini menjadi cikal bakal lahirnya Partai PAS sebagai pilar baru gerakan politik yang berbasis lokal di Aceh,” kata Halim Abe menjawab portalsatu.com melalui WhatsApp, Jumat, 3 Maret 2023, malam.
Halim Abe yakin PAS akan menjadi partner sesama partai lokal (Parlok) sebagai pengisi ruang kosong dalam sistem politik Aceh yang selama ini terabaikan.
Menurut Halim Abe, kehadiran Tgk. H. M. Yusuf bin Abdul Wahab atau Tu Sop Jeunieb (Dewan Mustasyar PAS) dan Tu Bulqaini (Ketua Umum Majelis Pimpinan Pusat PAS/Ketum PAS) pada Mubes III Partai Aceh di Banda Aceh, 27 Februari 2023, mengindikasikan PAS adalah partai “sandingan”, bukan “tandingan” bagi PA.
Halim Abe menilai kehadiran PAS tidak akan memicu perselisihan di kalangan cendekiawan dayah yang terlibat dalam partai politik berbeda. Walaupun analisa bakal terjadinya pengkerdilan ulama dan campur tangan pihak ketiga untuk membenturkan sesama parlok dan sesama ulama sempat menjadi perbincangan di awal-awal wacana pembentukan PAS.
“Saya pikir guree-guree (guru-guru/ulama) yang ada di dayah tidak akan terjebak pada ruang gelap tersebut, karena pada dasarnya sebagian besar ulama dayah di Aceh menganut mazhab yang sama sebagai pengikut Ahlussunnah wal jama’ah. Jadi, perbedaan pandangan politik akan tereliminir dengan sendirinya ketika para ulama kembali ke khittah-nya,” ujar Halim Abe.
Halim Abe menegaskan selama ini faktor pemicu perpecahan sosial di Aceh bukan disebabkan munculnya banyak Parlok. Bukan juga karena perbedaan pemahaman, tetapi ketidakmampuan individu dalam memahami perbedaan itu sendiri.
“Sebagian kita memahami perbedaan secara absurd, sehingga kita sering terjebak pada hal-hal kecil dan mengabaikan kepentingan yang lebih besar,” ungkap Halim Abe.
Dalam hal ini, kata Halim Abe, istilah “pentingnya persatuan” muncul karena adanya perbedaan. Seandainya setiap individu tidak berbeda tentu tidak akan muncul istilah “pentingnya persatuan”.
“Secara tidak sadar kita mengabaikan istilah ‘perbedaan membawa hikmah’ dalam kehidupan dan perilaku politik,” ujar Halim Abe.
Perkuat nilai tawar Aceh dengan pusat
Halim Abe secara lebih luas melihat visi dan misi partai yang berbasiskan dayah tidak jauh berbeda dengan Parlok lain, karena fondasi lokal Aceh berbasiskan pada syariat Islam.
“Aceh identik dengan nilai-nilai keislaman. Setiap Parlok yang lahir dari pemikiran tokoh-tokoh Aceh tidak akan jauh bergeser dari nilai-nilai tersebut, baik itu dari kalangan intelektual dayah, aktivis, kaum akademisi maupun kaum pejuang,” tutur Halim Abe.
Menurut Halim Abe, jika para pimpinan Parlok mampu membangun rasa saling percaya dan berkompetisi untuk mencapai kepentingan bersama, tentu bertambahnya partai lokal akan menjadi gairah baru. “Guna memperkuat nilai tawar Aceh dengan Pemerintah pusat sebagai daerah yang memiliki kewenangan khusus,” ucapnya.
Itulah sebabnya, Halim Abe berharap kehadiran PAS sebagai salah satu kontestan Pemilu 2024 harus mampu memperkuat nilai tawar Aceh sebagai provinsi yang memiliki simpul-simpul kewenangan khusus.
Kuncinya, kata Halim Abe, tentu ada pada aktor-aktor politik yang terlibat dalam kontestasi Pemilu. “Pimpinan Parlok harus memahami manajemen politik dan resolusi konflik dalam keterlibatannya di pesta demokrasi,” tuturnya.
Dia meminta para pimpinan Parlok agar terkonsolidasi dengan baik dalam menyikapi percikan-percikan politik. “Guncangan politik pasti terjadi dalam proses Pemilihan Legislatif (Pileg) atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), tetapi para pimpinan Parlok tidak boleh terbentur karena goncangan tersebut,” tegas Halim Abe.
Halim Abe juga menyarankan para pimpinan Parlok membangun political trust. Hal itu menjadi mutlak di level pimpinan Parlok untuk merawat kebersamaan.
“Saya pikir, para pimpinan Parlok perlu melakukan deklarasi secara terbuka sebelum Pemilu berlangsung untuk memperkuat konsolidasi yang menjadi titik penting resolusi konflik,” ujar Halim Abe.
Pada akhirnya, kata Halim Abe, semua harus memahami bahwa untuk memperbaiki sistem politik di Aceh dibutuhkan intelegensi dalam membedakan teori dan praktik. Tatanan hukum Aceh tidak akan keluar dari UUD 1945 yang berasaskan Pancasila, walaupun Aceh memiliki kewenangan khusus.
Menurut Halim Abe, pemikiran-pemikiran yang berbasiskan Islam belum tentu bisa serta-merta dituangkan menjadi produk hukum melalui lembaga legislatif. Karena Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk Islam yang tidak menggunakan hukum Islam sebagai sandaran utama.
“Bek leupah ta peugah, han leupah ta peubuet, sinan jeut keubut tanyoe dirudah,” ucap Halim Abe.
Halim Abe berharap kehadiran lebih dari satu Parlok dengan latar belakang berbeda akan menjadikan para ulama, kaum pejuang, dan akademisi dapat berdiri tegak sejajar sebagai pilar utama penyangga kekuatan sistem politik Aceh yang berbasis kearifan lokal.[](Adam Zainal)