BANDA ACEH – Sayap Partai Aceh, Muda Seudang, meminta revisi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) harus sejalan dengan kehendak perdamaian Aceh.
Juru Bicara Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Muda Seudang Aceh, Muhammad Chalis, S.IP., dihubungi portalsatu.com, Jumat, 10 Maret 2023, malam, mengatakan UUPA sangat penting bagi Aceh.
“Tetapi UUPA yang sesuai dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Bukan UUPA sekarang yang tidak sesuai dengan kehendak perjanjian damai,” kata Chalis.
Chalis menilai implementasi UUPA selama ini tidak sesuai harapan masyarakat Aceh. Sehingga banyak kebijakan Pemerintah Aceh sangat sedikit menguntungkan publik, apalagi rakyat kecil. “Maka sudah selayaknya UUPA direvisi semaksimal mungkin,” tegasnya.
Muda Sedang meminta DPR Aceh memastikan draf revisi UUPA benar-benar sesuai dengan amanah MoU Helsinki. “Supaya tidak ada lagi revisi kedua. Harus bersifat menyeluruh, atau bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat bawah,” ujar Chalis.
Menurut Chalis, jika saat ini masyarakat Aceh kurang peduli terhadap persoalan UUPA, mungkin karena kekecewaan yang sangat mendalam. Sebab pascadamai Aceh, masyarakat kecil merasa hanya menjadi alat kepentingan elite semata.
“Keuntungan dengan adanya UUPA selama ini hanya sedikit dirasakan oleh masyarakat. Makanya hari ini kalau memang diubah harus betul-betul melibatkan seluruh pihak yang ada di Aceh,” kata Chalis.
Dalam hal ini, kata Chalis, jangan terkesan hanya politisi yang punya kewajiban atas UUPA. Politisi tidak kelaparan, tetapi masyarakat sangat merasakan dampak dari persoalan Aceh hari ini.
“Revisi UUPA harus benar-benar serius dan teliti. Jangan sampai setelah direvisi makin bertentangan dengan MoU Helsinki, dan kekuatan politik Aceh semakin lemah,” tegas Chalis.
Oleh karena itu, kata Chalis, Muda Sedang Aceh menginginkan UUPA hasil revisi nantinya harus sesuai dengan butir-butir MoU Helsinki. Jika UUPA dinilai masih bertentangan dengan isi perjanjian damai, kata dia, Aceh tidak dapat mengurus dirinya sendiri lantaran banyak kewenangan dipegang Pemerintah pusat.
“Padahal jelas dalam MoU Helsinki hanya enam kewenangan pusat di Aceh. Yaitu, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter fiskal, dan sebagian urusan agama. Selebihnya Aceh dapat mengatur dirinya sendiri,” tutur Chalis.[](Adam Zainal)