Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim*
Sebuah riwayat dari Imam Al-Bukhari menyebutkan, dahulu pada zaman Nabi Saw, ada seorang laki-laki datang ke Madinah dan menetap di sana di tengah komunitas umat Islam. Tak disebutkan asalnya dari mana, namun besar kemungkinan ia masuk Islam dan hidup membaur bersama kaum muslimin. Diceritakan bahwa saat istrinya melahirkan anak laki-laki dan untanya juga ikut melahirkan, ia memuji Islam. “Ini agama yang benar,” ujarnya. Namun, ketika istrinya tidak melahirkan anak laki-laki untuknya, dan untanya juga tidak ada yang melahirkan, dengan mudahnya ia mencela Islam. “Ini agama sial,” katanya.
Sikap laki-laki tersebut mendapat perhatian dan tanggapan serius dari Allah Swt sehingga menurunkan satu ayat yang kemudian menjadi pelajaran kepada seluruh umat Islam. Ayat tersebut adalah firman Allah, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata” (al-Hajj: 11). Ayat ini mempersonifikasikan orang-orang yang imannya lemah, orang-orang yang memperlakukan keyakinan agamanya (akidah) sebagai alat dagang. Jika mendapatkan keuntungan saat beragama ia bergembira, dan akan berduka kalau mengalami kerugian.
Ayat ini sangat menarik untuk dibahas, karena ada semacam kotroversi yang lahir darinya jika dibandingkan dengan sejumlah ayat lain yang menyamakan agama ini dengan dagang. Artinya, ayat di atas memandang buruk orang-orang yang mempersepsikan agama ini sebagai “sebuah perdagangan”, padahal nyata-nyata Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan “suatu perniagaan” yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (Shaff: 10 – 11). Atau ayat lainnya, “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi” (Fatir: 29).
Beragama Sesungguhnya Cari Untung
Untuk menghilangkan kontroversial dua jenis ayat di atas, jawaban singkat yang bisa diberikan di antaranya, Allah mengumpamakan agama ini sebagai dagang karena Islam menjanjikan keuntungan, mirip dengan dagang. Kemudian semua orang pasti menyukai dan menginginkan keuntungan, sehingga setiap manusia tanpa kecuali pasti terlibat dalam kegiatan dagang (ekonomi), dalam bentuk dan makna dagang yang sangat luas, baik langsung maupun tidak, baik sebagai penjual atau pembeli, produsen atau konsumen. Intinya setiap individu selalu berupaya mendapatkan keuntungan dalam segenap aktivitas yang dijalankannya, baik berupa barang, jasa, atau hal lainnya. Bahkan karena terlalu fokus pada keuntungan, banyak orang nekat berspekulasi, abai terhadap risiko dan potensi kerugian. Sehingga pada gilirannya, ada yang untung, ada pula yang rugi, dengan berbagai sebab dan faktor.
Melalui beberapa firman-Nya, Allah ingin menjelaskan kepada manusia, bahwa berdagang di dunia ini, atau berdagang dengan manusia tidak selalu mendatangkan keuntungan, bahkan bisa lebih banyak rugi daripada untungnya serta berakibat bangkrut. Lantaran tidak ada manusia yang mau menanggung rugi, Allah menawarkan sebuah perdagangan yang selalu membawa keuntungan dan bersifat pasti, yaitu berdagang dengan-Nya, beriman kepada-Nya, dan seterusnya, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Bahkan keuntungan yang didapat bisa tidak terbatas seperti tertera dalam sebuah firman-Nya, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak” (al-Baqarah: 245).
Beberapa ayat di atas dan yang semisal dengannya merupakan motivasi kepada umat Islam agar setiap apapun yang ia kerjakan orientasinya hendaklah balasan pahala dari Allah Swt yang diumpamakan sebagai keuntungan dagang. Namun, pada kenyataannya, banyak orang terjebak pada sikap pragmatisme hedonisme, sehingga setiap perbuatan yang dikerjakannya selalu diukur dengan keuntungan duniawi, bukan pahala, apakah perbuatan itu dilakukan untuk dirinya atau untuk agama ini. Padahal dunia yang diinginkan itu belum tentu ia dapatkan. Berbeda jika seseorang berharap keuntungan akhirat, niat saja sudah ada pahalanya. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Seseorang yang berwuduk dengan benar, lalu pergi ke masjid hendak berjamaah, namun sesampai di sana ia dapati jamaah sudah bubar (shalat sudah selesai), maka Allah tuliskan kepadanya pahala seperti orang yang berjamaah, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun” (HR: Nasai).
Sikap pragmatisme inilah yang disinggung Alquran pada ayat di atas. Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku” (al-Fajr: 15 – 16). Ayat ini memotret sikap yang sama dengan laki-laki yang datang ke Madinah sebagai seorang muslim. Saat ia mendapatkan kenyamanan atau keuntungan duniawi ia memuji Islam. Artinya, ia merasa nyaman dengan keislamannya, bersemangat dalam ibadahnya. Namun sebaliknya, saat tidak mendapatkan dunia seperti yang diinginkan, ia berputar arah, berbalik mencela Islam dan menyalahkan Allah Swt.
Agama Sebagai Hiburan
Sikap pragmatis dalam beragama hampir menjadi ciri dan karakter keberagamaan sebagian umat Islam hari ini, baik di kalangan papan atas, ataupun masyarakat kelas bawah. Artinya, pola pragmatisme ada di semua kelas sosial masyarakat. Kenyataan ini digambarkan dalam sebuah hadis, “Akan datang satu masa di mana orang-orang kaya dari umat ini akan berhaji untuk jalan-jalan, adapun kelas ekonomi menengah untuk berdagang, para alim di antara mereka berhaji untuk popularitas, sementara masyarakat miskinnya pergi untuk meminta-minta (mengemis) di musim haji” (HR: Dailami).
Memang sanad hadis ini lemah, namun melihat realita hari ini, maknanya sangat bisa diterima (shahih), karena memang begitulah kenyataan yang terlihat. Walaupun niat orang hanya Allah yang tahu. Tetapi prilaku seseorang sedikitnya menunjukkan isi hatinya. Hadis di atas, maknanya diperkuat oleh ungkapan Abdullah ibnu ‘Umar (Wafat 73H/692M), “Banyak orang yang berpergian ke tanah suci saat musim haji, tapi yang benar-benar berhaji sungguh sangat sedikit”. Ini menunjukkan bahwa ada banyak orang saat menjalankan agama benar-benar sebatas formalitas semata. Ada hal lain di luar Tuhan yang mereka cari saat beragama. Abdullah ibnu ‘Umar wafat pada tahun 73 Hijriah, masih pada abad terbaik dari umat ini, tetapi ia sudah melihat rusaknya ibadah dari banyak orang yang datang berhaji. Lalu, bandingnkan dengan zaman sekarang yang sudah berjarak seribuan tahun lebih dari masanya.
Jika didalami sungguh-sungguh makna hadis di atas atau ungkapan Abdullah ibnu ‘Umar bisa dikatakan bahwa perubahan orientasi dalam beragama tidak hanya ditemukan dalam ibadah haji atau umrah, tetapi juga dalam ibadah-ibadah lainnya, seperti shalat dan puasa. Banyak orang kini menjadikan ibadah sebagai sarana hiburan, dalam makna ia tidak beribadah kecuali untuk mendapatkan kesenangan tertentu, baik bersifat sosial, ekonomi atau bahkan politik. Persis seperti ibadah haji yang dicontohkan dalam hadis di atas, setiap orang dengan latar belakang ekonomi dan sosial berbeda punya tujuan yang berbeda pula. Secara kasat mata tampak ibadah itu begitu digandrungi oleh banyak orang, tetapi ternyata semua mereka hanya mencari kesenangan masing-masing yang berbeda-beda. Di mana kesenangan itu semuanya bersifat duniawi dan jauh sama sekali dari tujuan disyariatkannya sebuah ibadah.
Dalam sebuah hadis Nabi pernah menyebutkan, “Kiamat tak akan terjadi sehingga manusia berbangga-bangga dengan bangunan mesjid mereka” (HR: Abu Daud). Memang hadis ini secara literal agak sedikit jauh dari pembahasan di atas, tapi perhatikanlah maknanya secara mendalam. Akan tiba satu waktu yang dilalui oleh umat ini, di mana mereka berlomba-lomba memperbagus dan berbangga-bangga dengan bangunan, sesuatu yang tidak substansi dan tidak prinsip, tetapi meninggalkan sesuatu yang esensial dan penting, sebagaimana disebutkan dalam hadis lainnya, “Akan tiba satu masa kepada umatku, mereka berbangga-bangga dengan kemegahan masjid, tapi mereka tidak memakmurkannya kecuali sedikit” (HR: Ibnu Khuzaimah). Hari ini orang-orang terlihat ramai di banyak masjid, tetapi seperti disebutkan sebelumnya, mereka datang untuk maksud dan kepentingan masing-masing. Hanya sedikit yang benar-benar datang untuk Allah Swt.
Ritual yang sifatnya tahunan selalu dibanjiri banyak orang, seperti peringatan satu Muharram, Isra’ dan Mi’raj, Nisfu Sya’ban, dan lain-lain. Apalagi jika ditambah dengan polesan tertentu, seperti hadirnya penceramah kondang misalnya. Ini juga menjadi indikator jika banyak orang beragama hanya sekadar untuk “hura-hura”. Agama diposisikan sebagai wadah hiburan, bazar, dan pesta rakyat. Karena itu tak perlu heran, bulan Ramadan selalu terlihat ramai dan meriah, baik siang maupun malam harinya. Tidak sedikit yang memanfaatkan Ramadan sebagai momen untuk menaikkan omset dan memperlaris dagangannya. Bulan yang tidak hanya disambut oleh umat Islam, tapi juga oleh para tauke yang beragama Nasrani atau lainnya. Tentu dengan tidak mengenyamping hamba-hamba Allah yang salih dan tulus niatnya semata-mata untuk Allah.
Makanya tidak aneh jika Nabi pernah bersabda, “Berapa banyak orang yang berpuasa, tapi tak ada yang didapat darinya kecuali haus dahaga, dan berapa banyak orang yang bangun shalat malam, juga tak ada yang didapat darinya kecuali hanya lelahnya bergadang” (HR: Nasa’i). Padahal shalat tahajudnya berjamaah, buka puasanya juga “rame-rame”, semuanya terlaksana dengan sangat meriah dan penuh suka cita. Tapi sayang, mereka tidak melakukan itu untuk Allah. Mereka hanya cari hiburan, atau mungkin sedang buat “konten”. Wallahu’alam.[]
* Muhammad Syahrial Razali Ibrahim adalah Dosen dan Dekan Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe, dan salah seorang Pimpinan Dayah Ma’had Ta’limul Qur’an (Mataqu) Ustman Bin Affan Lhokseumawe. Ia juga dikenal sebagai Teungku Balee di Lhokseumawe.