Kamis, Oktober 3, 2024

Tiga Alasan Jack Gayo...

BLANGKEJEREN - Mantan Kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Kabupaten Gayo Lues Jack Gayo...

Deklarasi Pilkada Damai di...

SUBJLUSSALAM - Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Subulussalam melaksanakan acara Deklarasi Pilkada Damai...

Gajah Liar Ubrak-Abrik Kebun...

ACEH UTARA - Kawanan gajah liar mulai memasuki perkebunan warga di Dusun Batee...

Ketua KIP Subulussalam Ajak...

SUBJLUSSALAM - Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Subulussalam melaksanakan acara Deklarasi Pilkada Damai...
BerandaNewsKolektor Manuskrip Aceh:...

Kolektor Manuskrip Aceh: Seni Ukir dan Pahat Bagian Penting dari Masyarakat Aceh Masa Lampau

BANDA ACEH – Kolektor Manuskrip Aceh, Tarmizi Abdul Hamid akrab disapa Cek Midi, mengatakan seni ukir dan pahat menjadi bagian penting bagi masyarakat Aceh terdahulu.

Cek Midi mengatakan, seni ukir dan pahat berkembang pesat di Aceh pada abad 16-17 Masehi.

Dia menceritakan, saat itu, tempat ibadah, dan rumah bangsawan seperti ulee balang dihiasi ukiran khas keacehan.

“Dalam ukiran itu motif Aceh yang sering ditonjolkan pada masa lalu itu lebih fokus pada tumbuhan. Dimana pun ada ukirannya kita belum pernah menemukan ukiran di Aceh dalam bentuk fauna jarang kita temukan,” kata Cek Midi di sela-sela pameran seni foto seni pahat, ukir pada kayu dan batu, dan lukisan pada kertas yang diselenggarakan sejumlah budayawan di Taman Seni dan Budaya Aceh, 26-28 Maret 2021.

“Artinya, yang sering kita temukan ukiran di Aceh baik di bangunan kayu maupun beton, di pahat batu nisan, juga yang paling istimewa di dalam manuskrip itu kita temukan gaya khas Aceh dalam bentuk flora,” ujar Cek Midi.

Cek Midi menjelaskan leluhur orang Aceh memiliki keuletan yang tinggi dalam melahirkan seni ukir dan pahat pada batu, kayu serta manuskrip.

Menurut pria yang mengoleksi ratusan manuskrip kuno Aceh ini, ukiran pada manuskrip dan pahatan pada batu nisan kuno Aceh adalah bukti bahwa seniman Aceh terdahulu memiliki kreativitas yang tinggi.

Cek Midi menjelaskan dengan media yang sulit, namun para seniman Aceh terdahulu mampu melahirkan mahakarya yang secara kualitas, corak dan motif memiliki keindahan dan ciri khas.

“Kalau dulu tidak ada alat bantu untuk menunjang kreativitas tersebut mereka melakukan secara manual dengan tangan sendiri, kalau sekarang sudah ada mesin pahat dan komputer kalau media kertas,” ungkap Cek Midi.

Namun sangat disayangkan, kata Cek Midi, akibat adanya penjajahan, konflik dan bencana alam, nilai-nilai seni tersebut mulai tergerus dan generasi Aceh mulai meninggalkannya.

“Seni ditinggalkan karena konflik, bencana, ketika terjadi itu orang Aceh harus mempertahankan kehidupan, jadi tidak sempat melakukan seni ukir ini karena membutuhkan masa tertentu. Seni ini tidak spontanitas, seni ukir itu dilahirkan tapi butuh proses karena ini karya yang sangat ulet, butuh masa,” kata Cek Midi.

Menurut Cek Midi, generasi Aceh saat ini harus mengkaji kembali nilai-nilai kreativitas leluhur yang dicurahkan dalam bentuk karya seni tersebut.

“Kalau sekarang untuk mengembangkan nilai seni itu sangat mudah. Dulu mereka hanya mengandalkan tangan sendiri. Ini harus ditonjolkan kepada generasi sekarang ini,” ujarnya. [] (*)

Baca juga: