Senin, September 9, 2024

Persaudaraan Masyarakat Brunei Darussalam...

BANDA ACEH - Berkenaan dengan berita duka cita, telah berpulang ke Rahmatullah seorang...

Peduli Terhadap Anak Yatim, Abu...

SUBULUSSALAM - Pimpinan Pondok Pesantren Babul Khairi, Desa Batul Napal, Sultan Daulat, Abu...

Masyarakat Gayo-Agara Gelar Kesenian...

KUTACANE - Dalam rangka melestarikan tari Saman hingga ke anak cucuk, masyarakat Gayo-Agara...

Panwaslih Aceh Paparkan Hasil...

LHOKSEUMAWE - Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih/Bawaslu) Provinsi Aceh menggelar sosialisasi hasil pengawasan dan...
BerandaP2TP2A: Kekerasan Seksual...

P2TP2A: Kekerasan Seksual Terhadap Anak Bukan Aib Tapi Kejahatan, Laporkan!

MEULABOH – Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Aceh Barat, Diah Pratiwi, S.Psi., mengatakan, hingga pertengahan 2018, terdapat 13 kasus kekerasan seksual terhadap anak di Aceh Barat. Jumlah korban mencapai 18 anak.

“Ada 13 kasus dalam enam bulan (Januari hingga Juli). Rata-rata sebulan ada dua kasus. Ditangani di Polres ada 10 kasus. Tiga kasus lainnya ditangani di Polsek setempat. Adapun jumlah korban, kenapa 18, karena ada kasus di mana korbannya tidak hanya satu orang,” sebut Diah Pratiwi, didampingi Kabid Perlindungan Anak P2TP2A Aceh Barat, kepada portalsatu.com, Jumat, 6 Juli 2018, sore.

Beberapa kasus di antaranya, kata Diah, pelakunya adalah keluarga atau orang dekat korban. Menurutnya, kasus kekerasan seksual terhadap anak yang pelakunya adalah keluarga korban, cenderung ditutupi oleh keluarga korban, karena dianggap merupakan aib, sehingga jarang terungkap.

“Jarang ada yang langsung lapor. Ada satu kasus dari umur empat tahun mengalami kekerasan seksual oleh ayahnya sendiri, hingga si anak kelas 5 SD. Ibu korban apa mungkin tidak tahu? Tahu, namun ditutupi. Karena dianggap aib. Setelah kita tekankan bahwa itu harus dilaporkan baru mau,” kata Diah.

Selain itu, sambung dia, adakalanya tindakan pelaku cenderung tidak dianggap sebagai kekerasan oleh korban. Karena pelaku orang dekat, korban tentu tidak berpikir bahwa pelaku sedang melakukan perbuatan yang melanggar hukum. 

“Kebanyakan korban tidak melawan karena si anak dekat dengan pelaku dan merasa seakan-akan bagi si anak itu bukan kekerasan seksual. Pelaku biasanya membujuk korban terlebih dahulu. Korban tentunya tidak menyadari bahwa dia sedang diperkosa. Karena mereka masih anak-anak,” kata Diah.

Namun, kata dia, si anak akan cenderung takut jika pelaku bukanlah orang yang dikenal. Korban biasanya segera membeberkan kejadian yang baru dia alami ke orang tuanya. “Karena si anak takut dan benci, dan merasa dipaksa. Pasti cepat diceritakan oleh korban. Sehingga kasusnya cepat terungkap,” ucapnya.

Menurut perempuan yang juga berprofesi sebagai psikolog ini, pedofilia (ketertarikan seksual orang dewasa terhadap anak-anak), adalah penyakit yang khas. Tetap akan ada sampai kapan pun. “Guru sama anak didiknya, guru ngaji sama muridnya, ayah sama anak, kakek sama cucunya. Itu tetap ada sampai kapan pun,” ucapnya.

Dia menambahkan, “Yang dirugikan, dalam hal ini, tentunya si anak yang menjadi korban. Pengalaman traumatis korban tentunya berat untuk ditanggung olehnya sendiri. Butuh proses untuk trauma healing si anak. Belum lagi, jika terungkap ke publik, si anak akan menjadi olokan,” lanjut dia.

Namun, imbuh dia, bukan berarti kasus harus ditutupi dan dianggap sebagai aib. Dia menekankan, kekerasan seksual terhadap anak bukanlah aib yang mesti ditutupi. Tetapi kejahatan yang mesti diungkap. Di mana para pelakunya dihukum seberatnya-beratnya, bukan malah dilindungi.

Karena, lanjut dia, terdapat beberapa kasus, keluarga korban tidak mau diajak bekerja sama untuk mengungkap kekerasan seksual yang menimpa si anak, karena dianggap merupakan memalukan.

“Keluarga kan dapat melapor ke kita. Tidak akan diungkap ke publik kok. Pelaku itu harus dihukum. Karena itu adalah tindak kejahatan. Pelaku tidak boleh dilindungi. Laporkan!” tegasnya.[]

Baca juga: