JAKARTA – Penjabat Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, bersama Anggota DPR RI , T.A. Khalid, melakukan pertemuan khusus dengan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Wahyu Sakti Trenggono, di Kantor KKP, Jakarta, Rabu, 23 Agustus 2023.
Pertemuan itu merupakan respons Pemerintah Aceh atas keluhan para nelayan di Idi Rayek, Aceh Timur, dan nelayan di kabupaten lainnya di Aceh akibat dari keluarnya Surat Edaran (SE) Menteri Kelautan dan Perikanan tentang besaran persentase Pajak Negara Bukan Penghasilan (PNBP) yang memberatkan para nelayan di Aceh.
Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, TA Khalid, meminta KKP RI segera meninjau kembali besaran PNBP atau retribusi yang menurut para nelayan memberatkan mereka, yakni lima persen untuk setiap trip kapal GT60, dan 10 persen untuk setiap trip kapal di atas GT60.
“Kita harap kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk meninjau kembali aturan ini,” ujar TA Khalid.
TA Khalid juga minta KKP memerhatikan kekhususan Aceh sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 165, dan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2010 tentang Perikanan.
“Dalam UU tersebut disebutkan bahwa Aceh memiliki wewenang khusus untuk menentukan penggunaan operasional kapal dalam segala jenis dan ukuran,” tegas TA Khalid.
Sementara dalam SE Menteri Kelautan dan Perikanan disebutkan setiap kapal melaut di atas 12 mil, wajib bermigrasi ke pusat. Artinya, kewenangan Aceh menggunakan kapal GT60 jadi percuma lantaran batasan melaut hanya 12 mil.
Selain itu, Pejabat Gubernur Aceh dan TA Khalid menyambut baik keluarnya PP 26 tahun 2023, agar semua sendimen pasir yang telah membuat dangkal muara di Aceh dapat segera dikeruk. “Sehingga nelayan di Aceh tidak harus menunggu pasang untuk melaut dan menunggu pasang untuk pulang,” ucap TA Khalid.
Menanggapi hal itu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Sakti Trenggono, menyambut baik atas semua yang disampaikan Pemerintah Aceh dan Anggota DPR RI, TA Khalid, termasuk mengenai pengerukan di Pelabuhan Perikanan Samudera Kutaraja (Lampulo), Banda Aceh akan segera dilakukan.
Menurut Wahyu, terkait dengan sendimetasi hingga saat ini masih dilakukan harmonisasi program teknis dengan lintas kementerian seperti Kementerian ESDM dan LKH.
“Terkait besaran PNBP nanti akan kita perhatikan dan akan kami koordinasikan dengan kementerian dan lembaga terkait lainnya. Insya Allah,” ujar Wahyu.
Sebelumnya diberitakan, para nelayan di Idi Rayek, Kabupaten Aceh Timur, mengeluhkan besaran PNBP yang ditetapkan melalui SE terbaru dari KKP RI. Keluhan itu disampaikan kepada Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar, yang melakukan kunjungan kerja ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kuala Idi, Sabtu, 19 Agustus 2023.
“Dalam SE itu disebutkan, setiap kapal yang melaut di atas 12 mil, wajib bermigrasi ke pusat. Sedangkan kita di Aceh diberikan kewenangan untuk beroperasi dengan kapal yang berkapasitas GT60,” kata Panglima Laot Lhok Kuala Idi, H. Husaini.
Oleh karena itu, jika ada larangan melaut di atas 12 mil, kewenangan Aceh yang membolehkan nelayan melaut dengan kapal GT60 dianggap percuma.
Menurut Husaini, Pemerintah pusat melalui SE itu juga menetapkan besaran PNBP atau retribusi yang sangat memberatkan. Yaitu lima persen untuk setiap trip bagi kapal GT60, dan 10 persen untuk setiap trip kapal di atas GT60.
“Ini sangat memberatkan bagi nelayan. Belum lagi harga acuan yang ditetapkan untuk setiap kilogram hasil tangkapan bukanlah harga acuan Aceh, tapi harga acuan Sumatera,” kata Husaini.
Terkait persoalan itu, beberapa waktu lalu para tokoh dan pemilik kapal di Aceh Timur sudah duduk berembuk, jika SE tersebut terus diberlakukan, besar kemungkinan satu persatu kapal pencari ikan di kabupaten itu akan berhenti beroperasi.
Memang saat ini beberapa pemilik kapal telah menandatangani formulir migrasi yang keluarkan KKP setempat. Namun, masih banyak pemilik kapal belum menandatangani formulir yang diajukan saat kapal bergerak menuju wilayah tangkapan di laut.
Akibatnya, beberapa minggu lalu, lima kapal nelayan ditangkap dan dicabut dokumennya. Kapal-kapal yang ditangkap itu dibawa ke Belawan, Sumatera Utara.
“Pada prinsipnya kami tidak setuju, tapi karena kami sudah mengeluarkan banyak operasional untuk kapal melaut, sebagian terpaksa menandatangani persetujuan migrasi itu, yang dikeluarkan KKP di sini. Karena kalau tidak setuju, akan berisiko saat di laut, akan diambil tindakan, pencabutan dokumen dan penangkapan kapal,” kata Husaini.
Menanggapi keluhan itu, Wali Nanggroe meminta para nelayan yang bernaung di bawah organisasi Panglima Laot, untuk membuat surat keberatan yang ditujukan kepada Pemerintah Aceh, Pemerintah pusat dan stakeholder lainnya.
Baca: Nelayan Aceh Timur Keluhkan Persoalan Ini kepada Wali Nanggroe.[](ril)