Minggu, September 8, 2024

Panwaslih Aceh Paparkan Hasil...

LHOKSEUMAWE - Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih/Bawaslu) Provinsi Aceh menggelar sosialisasi hasil pengawasan dan...

Pemkab Agara: Masyarakat Bisa...

KUTACANE - Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara menyatakan masyarakat bisa menonton pertandingan cabang olahraga...

Ulama Aceh Tu Sop...

JAKARTA – Inna lillahi wa innailaihi rajiun. Aceh berduka. Ulama kharismatik Aceh, Tgk....

Fraksi Megegoh Terbentuk Pada...

SUBULUSSALAM - Partai Aceh, Partai Nasdem, dan Partai Amanat Nasional (PAN) Kota Subulussalam hari ini...
BerandaInspirasiSedikit Gambaran Umum...

Sedikit Gambaran Umum tentang Persoalan Sejarah Aceh

Oleh: Taqiyuddin Muhammad*

Ceramah ini disampaikan dalam “Seminar Hasil Kajian Sebaran Batu Nisan Samudra Pasai” yang diselenggarakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Aceh Utara, Sabtu, 5 Muharram 1443 H (14 Agustus 2021 M), di Lhokseumawe.

Tema yang diketengahkan dalam seminar ini sebenarnya adalah permasalahan yang sudah sangat lebih maju daripada apa yang dapat dipahami oleh banyak orang di Aceh. Jika dipahami, itu pun hanya secara dangkal. Hal ini mengacu kepada realita-realita yang dengan mudah diamati dalam masyarakat Aceh, antara lain:

1. Bagi masyarakat umum, sejarah hanya sebutan lain untuk cerita atau hikayat menyangkutkan apapun di masa lampau. Biasanya, cukup dengan berdalilkan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, semua cerita masa lampau, terlepas dari masuk akal atau tidak masuk akalnya, dapat saja diterima sebagai sejarah. Sejarah sebagai pengetahuan, atau sebuah cabang ilmu pengetahuan, yang dibangun atas dasar-dasar tertentu adalah substansi yang hilang, atau sama sekali tidak ditekankan, untuk apa yang sering disebut dan dipahami sebagai sejarah. Pendidikan sejarah di sekolah-sekolah dan berbagai lembaga pendidikan tampaknya tidak berhasil menegakkan pemahaman bahwa sejarah, pada hakikatnya, adalah ilmu pengetahuan, dan bukan sekadar cerita-cerita atau kisah-kisah yang mengedepankan sisi-sisi dramatis untuk mempengaruhi emosi.

2. Kelompok masyarakat terdidik yang memahami makna sesungguhnya dari sejarah (ilmu sejarah), dan bahkan ‘menghafal’ dasar-dasar teoritis yang membentuk pengetahuan sejarah, selain mereka berjumlah sedikit, di banyak waktu, mereka juga terlihat miskin kritik dan akhirnya gagal dalam mengenali mana yang merupakan sejarah dan mana yang pada hakikatnya adalah pseudo-sejarah (sejarah palsu). Dua hal, paling tidak, merupakan faktor penyebab kegagalan tersebut. Pertama, alam pikir yang terbentuk dalam lingkungan pendidikan yang tidak banyak memberikan perhatian kepada sumber-sumber Naqliyyah dan ‘Aqliyyah. Kedua, pola pikir yang terigiring tanpa sadar dalam arus ideologi yang diciptakan untuk mendukung konsep dan praktik politik yang diadopsi oleh kekuasaan. Sehingga pada gilirannya terbentuk logika atau akal yang terperangkap dalam ideologi tersebut, dan sulit untuk dibebaskan, sekalipun oleh prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.

3. Narasi sejarah Aceh yang masih banyak beredar di berbagai lingkaran masyarakat Aceh hari ini, baik yang diproduksi dalam bentuk tulisan diklaim bersifat ilmiah maupun yang diproduksi lewat tradisi tutur dengan berbagai macamnya, secara umum, masih dapat dikatakan sebagai narasi sejarah yang berdiri pada tumpuan-tumpuan yang lemah, bahkan sebagian besarnya sangat lemah. Narasi sejarah yang diproduksi sangat jarang berdasarkan sumber-sumber pokok (ushul) yang autentik. Sumber-sumber yang biasanya dipakai, dapat dikategorikan kepada: pertama, laporan perjalanan orang-orang asing yang tidak pernah dievaluasi dengan baik; kedua, tulisan-tulisan yang memuat hasil penyelidikan bersifat parsial dan tentatif—berikut analisis dan tafsiran (interpretasi) yang dibangun di atas penyelidikan prematur tersebut—terutama yang dilakukan oleh orang-orang Eropa dalam masa-masa imperialisme dan kolonialisme Barat; dan ketiga, cerita-cerita—atau lazim disebut dengan hikayat-hikayat—dalam bahasa Melayu atau Aceh, baik itu disalin maupun dituturkan, yang dominan menampilkan unsur-unsur fantasi (khayalan). Narasi sejarah yang sebagian besarnya disusun berdasarkan sumber-sumber semacam itu masih relatif memperoleh keyakinan sebagai “sejarah Aceh” (bermakna: dianggap patut untuk diceritakan, dituliskan serta dimasukkan dalam ruang pendidikan). Suatu hal yang sepertinya sama sekali tidak disadari, narasi sejarah tersebut secara substansial mengetengahkan sejarah masyarakat Islam. Ini sesungguhnya yang menjadikan persoalan sejarah mesti ditangani dengan cara yang sangat jauh berbeda dengan cara-cara yang menghasilkan narasi sejarah beredar selama ini. Tetapi, dikarenakan pengetahuan tentang Islam dan sejarah Islam yang tidak memadai untuk sampai ke tingkat mampu mengenal Islam dan sejarah Islam dengan baik, narasi sejarah yang beredar dewasa ini menjadi suatu hal yang mudah untuk diterima oleh banyak orang, atau didiamkan dan dibiarkan saja oleh golongan yang sepatutnya lebih memahami Islam. Bahkan, narasi sejarah Aceh yang beredar selama ini seperti tampak dibiarkan untuk ditangani oleh orang-orang atau bahkan oleh para sejarawan yang sebenarnya tidak begitu memahami Islam dan sejarah Islam, sementara orang-orang yang dianggap sepatutnya lebih memahami Islam dan sejarahnya tidak tergerak untuk mengetahui dan memahami sejarah dan terutama sejarah Islam. Di pihak lain, umum dan lintas generasi masyarakat Aceh terpapar kepada kekaburan, bahkan kebutaan, terhadap sejarah Islam secara umum, begitu pula sejarah Aceh yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari dalamnya, secara khusus. Tidak disadari, ini akan menyebabkan banyak masalah yang menghalangi Aceh untuk memiliki kembali kekuatan yang pernah dicapai di masa lampau serta mengulang peran yang pernah dilakukannya, dan dengan begitu, sebuah amanah sejarah telah disia-siakan.

4. Setelah melakukan pemeriksaan yang luas terhadap narasi sejarah Aceh yang beredar sejak puluhan tahun yang lalu sampai dengan hari ini, sebagai hasilnya, saya terpaksa menggugurkan narasi tersebut dari peringkat mu’tabar sebagai sejarah Islam dan sejarah Aceh, meskipun itu tetap dengan disertai penghargaan yang sangat tinggi atas jasa para sejarawan perintis dan pelopor dalam penulisan sejarah Aceh. Konsekuensinya, jalan baru mesti segera dirintis untuk membangun narasi sejarah yang menyingkapkan hal-hal yang relatif lebih dekat kepada kenyataan-kenyataan di masa lampau Aceh. Ini tidak berarti secara serta-merta narasi sejarah yang lama itu ditolak mentah-mentah secara keseluruhan, melainkan itu semua akan ditundukkan kepada proses pengujian yang melibatkan beberapa disiplin ilmu pengetahuan secara langsung semisal ilmu sejarah Islam serta metodologi penelitiannya, ilmu sejarah umum, geografi, arkeologi Islam, sosiologi Islam. Di jalan baru ini, kerja membangun narasi sejarah Aceh diawali tahapan pengumpulan seluruh material sejarah dari sumber-sumber pokok (ushul) yang autentik seberapa pun itu dapat dikumpulkan. Inilah kemudian yang melatarbelakangi perhatian terhadap “batu nisan Aceh” dengan berbagai material sejarah yang diberikannya. Batu nisan Aceh dengan berbagai aspek yang meliputinya, ternyata, merupakan sumber material sejarah Aceh yang kaya, dan dalam waktu yang sama, lebih mampu menjelaskan watak (karakteristik) kenyataan di masa lampau Aceh. Sayangnya, sumber ini sangat minim disentuh. Para sejarawan atau pengkaji sejarah sebelumnya, sekalipun mereka meyakini sumber ini akan sangat membantu dalam membangun narasi sejarah Aceh, namun keterbatasan tekad dan kemampuan intelektual memaksa mereka untuk tidak memberikan perhatian yang sepantasnya. Sehingga, sampai dengan masa jalan baru ini mulai dirintis sejak lebih dari satu dekade yang lalu, tidak dijumpai banyak sorotan dan penerangan untuk batu nisan Aceh. Beberapa kajian mengenai batu nisan Aceh memang sempat lahir dari segelintir sarjana yang berlatarbelakang sebagai arkeolog atau sejarawan benda budaya—rata-rata dari luar Aceh—namun cakupan kajian mereka masih bersifat parsial, selain juga tidak bertitik tolak dari tujuan untuk membangun narasi sejarah Aceh, atau bahkan sejarah Islam di kawasan Asia Tenggara. Di pihak Aceh sendiri, batu nisan Aceh masih tampak hanya sebagai warisan budaya yang menarik minat dan perhatian beberapa kelompok masyarakat yang peduli terhadap sejarah Aceh.

Mempertimbang kenyataan-kenyataan di atas, tema sebagaimana diusulkan dalam seminar ini, saya yakin tidak akan memunculkan diskusi produktif. Tema itu hanya akan memunculkan pembicaraan bolak-balik antara soal dan jawab, pertanyaan dan penjelasan, tanpa menghasilkan banyak pengembangan, bandingan, atau kritik dan saran yang berarti, dikarenakan batu nisan Aceh masih berada jauh dari perhatian, penyelidikan, bahkan pengetahuan masyarakat Aceh secara umum, tidak terkecuali kalangan akademis. Ini adalah suatu kenyataan yang sulit untuk dipungkiri!

Permasalahan-permasalahan dalam Persoalan Sejarah Aceh

Beranjak dari pertimbangan sebagaimana dikemukakan, saya memilih beralih dari permasalahan batu nisan Aceh, yang bersifat khusus, ke persoalan sejarah Aceh, yang bersifat umum, untuk berusaha semampu mungkin meletakkan gambaran umum persoalan ini sekaligus kemudian menunjuk di mana posisi permasalahan batu nisan Aceh dalam persoalan yang lebih besar ini.

Gambaran umum tersebut nantinya penting dalam rangka mengarahkan pandangan serta berbagai usaha bertujuan untuk menghasilkan narasi sejarah Aceh yang lebih berkualitas, patut menjadi cerminan, dan pantas menjadi sumber ilhaman. Tapi ini target yang jauh. Target paling dekat yang mungkin dapat dicapai dengan gambaran umum itu, paling tidak, dalam masa mendatang terlihat adanya perubahan dan peningkatan tingkat perhatian berbagai kalangan masyarakat Aceh, terutama para pemangku kepentingan, kalangan akademis, guru-guru, serta tokoh-tokoh berpengaruh dalam masyarakat Aceh, terhadap kepentingan sejarah Islam dan persoalan sejarah Aceh!

Suatu hal yang kemudian mesti segera dikatakan untuk segera disadari dalam hal ini ialah: persolaan sejarah Aceh sesungguhnya memiliki teramat banyak permasalahan. Batu nisan Aceh hanya salah satunya, dan sama sekali bukan awal atau akhir dari permasalahan. Permasalahan dalam persoalan sejarah Aceh langsung muncul sejak sejarah Aceh hendak dibicarakan, dan kemudian harus melalui beberapa permasalahan penting lainnya sebelum sampai ke tingkat atau ke ruang di mana permasalahan batu nisan Aceh—atau permasalahan dalam tingkat dan jenis semisalnya—layak untuk diketengahkan dan dibicarakan. Jika tidak, pembicaraan tentang sejarah Aceh tetap akan terdengar sebagai sebuah pembicaraan tanpa pangkal-ujung, tidak memiliki banyak faedah, dan boleh jadi hanya sebuah kesia-siaan.

Karena itu, saya mencoba mengurutkan permasalahan-permasalahan yang patut dibicarakan dan diberikan ruang diskusi-diskusi khusus di masa mendatang.

1. Sejarah Aceh, penting untuk siapa?

Permasalahan ini perlu diketengahkan agar tenaga dan waktu yang terbatas tidak terbuang sia-sia oleh karena persoalan sejarah Aceh dibicarakan tidak di dalam kelasnya.

Permasalahan ini akan dibahas sedikit lebih luas nantinya!

2. Apa pengertian sejarah menurut ulama Islam?

Penuturan atau penulisan sejarah Aceh yang beredar selama ini tampak tidak memberikan kepedulian yang cukup terhadap orang-orang atau masyarakat yang disejarahkan atau dituturkan. Hanya mementingkan cerita yang dapat dirajut tentang mereka, tapi dalam waktu yang sama, lupa untuk mengidentifikasi siapa mereka sesungguhnya lewat jejak-jejak yang mereka tinggalkan. Bagaimana jika mereka adalah orang-orang yang memahami sejarah, lantas apa yang dituturkan atau dituliskan hari ini sebagai “sejarah mereka” adalah sesuatu yang sebenarnya tidak diperhitungkan sebagai sejarah menurut mereka?

Pembicaraan tentang permasalahan ini nantinya juga akan diperluas seperlunya!

3. Apa itu sejarah Islam?

Islam menciptakan material sejarah—yakni, perilaku manusia, pola hidup, tatanan sosial, peristiwa-peristiwa dan lain sebagainya—yang berbeda dan memiliki kekhususan dari segi keterpengaruhannya dengan seruan, pandangan, nilai, serta perhatian Islam. Inilah kemudian yang melahirkan sebuah sejarah dan peradaban yang memiliki karakteristik khusus.

Hal itu merupakan persimpangan penting dari sejarah umum yang tidak dapat diabaikan dalam penuturan dan penulisan sejarah sebuah masyarakat atau bangsa yang berelasi dengan Islam, terlebih lagi mereka yang terikat kuat dan tidak memandang yang lain sebagai sumber petunjuk dalam kehidupan. Sejarah mereka dengan demikian memiliki bentuk cetak khusus yang mudah ditandai apabila Islam, dan bagaimana Islam menggerakkan roda sejarah, benar-benar dipahami.

Dari sini, Islam, sejarah Islam, serta karakteristik dari sejarah Islam, mesti merupakan permasalahan yang selalu menjadi titik perhatian dalam penelitian, penulisan dan penuturan sejarah Aceh. Jika tidak, penuturan dan penulisan yang dilakukan justru akan membongkar ketidaktahuan dan ketidakpahaman penutur dan penulisnya tentang sejarah Islam sekaligus pula sejarah Aceh yang merupakan bagian di dalamnya. Dan, ini akan membuat “sejarah” yang dituturkan atau dituliskannya itu menjadi tidak mu’tabar (tidak diperhitungkan).

Permasalahan ini layak untuk mendapatkan sorotan-sorotan serta kajian-kajian yang lebih luas, dan ruang-ruang diskusi khusus.

4. Permulaan sejarah Aceh dan urgensi sejarahnya.

Hampir tidak ada cerita Aceh sebelum Islam. Cerita-cerita yang mengembalikan permulaan Islam di Aceh ke sekitar seribu tahun sebelum hari ini juga tidak memiliki sandaran kuat, sehingga tidak lebih dari sekadar cerita-cerita. Itu pun terkadang hanya menyebutkan nama-nama raja bersama tanggal memerintah dan tanggal meninggal, atau nama raja dan sedikit kisah tentangnya yang mungkin dianggap unik atau ajaib. Cerita tentang permulaan Islam dan permulaan pemerintahan Islam yang beruntung memperoleh sedikit pegangan dari dunia nyata adalah cerita-cerita tentang Pasai. Tapi, segera perlu diingatkan, itu juga hanya merupakan cerita-cerita, bukan sejarah dalam pengertian ilmiahnya.

Namun, cerita-cerita itu, secara garis besar, ikut mengonfirmasikan masa sejarah Aceh yang dimulai sejak kedatangan Islam. Peristiwa-peristiwa serta berbagai kondisi kehidupan masyarakat Aceh ketika kedatangan Islam itu belum diketahui sampai saat ini, atau tepatnya, belum dipermasalahkan secara serius. Ini juga sudah sebuah permasalahan!

Permasalahan yang diajukan di sini ialah sebuah asumsi jika masyarakat masa lampau ternyata hanya ingin menyimpan ingatan yang berkaitan dengan kehidupan mereka di masa Islam, sedangkan dengan kehidupan mereka di masa sebelum Islam, mereka hanya mengambil berbagai pengalaman, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat memperkuat kehidupan mereka di masa Islam, untuk meninggikan Islam, dan membentuk peradabannya dalam cetakan Islam.

Asumsi tersebut layak untuk dipermasalahkan dan dibicarakan secara lebih luas untuk menemukan lapangan-lapangan yang selama ini kurang mendapat sorotan ilmiah dalam pembicaraan sejarah Aceh. Sehingga, urgensi sejarah Aceh dapat berkembang dan menjangkau sisi-sisi peradaban yang ditujukan untuk memperkuat kehidupan yang Islami dan meninggikan Islam.

5. Sumber sejarah Aceh.

Ini adalah permasalahan paling pelik dalam persoalan sejarah Aceh, dan melahirkan sangat banyak permasalahan. Namun demikian, ini juga terkadang merupakan permasalahan yang jarang disadari secara mendalam. Masalah sumber sejarah inilah yang menyebabkan tidak banyaknya perkembangan dalam penuturan dan penulisan sejarah Aceh, dan karenanya, sejarah Aceh tidak menarik perhatian banyak orang, dan wajar jika dipandang sebagai narasi klise atau cerita basi.

Untuk memajukan pengetahuan sejarah Aceh, permasalahan ini mesti memperoleh perhatian dan sorotan yang luas mulai dari revaluasi (penilaian ulang) sumber-sumber sejarah yang selama ini digunakan, penentuan karakteristik sumber-sumber yang dapat digunakan serta klasifikasinya, sampai kepada penyusunan masterplan yang memuat rencana-rencana strategis dalam upaya penelusuran sumber-sumber baru bagi sejarah Aceh serta pengkajiannya. Rencana-rencana itu pun mesti meliputi strategi penyediaan dan persiapan tenaga kerja yang handal, dan ini saja sudah merupakan sebuah masalah berat yang penyelesaiannya akan lebih banyak dipertaruhkan pada kemampuan dunia pendidikan di Aceh secara khusus. Selain itu, dan ini sama sekali tidak dapat diabaikan dalam penyusunan masterplan, adalah masalah menyangkut sumber finansial. Dalam hal ini, saya kira, pemerintah, dengan sistem dan keadaan perpolitikan dewasa ini, tidak dapat begitu diandalkan untuk suatu kerja yang serius dan kontinu. Menyangkut sumber finansial, masterplan mesti memuat pemikiran-pemikiran inovatif dan rencana-rencana kuat untuk melibatkan para pendukung dana dan sumber finansial yang baru dan potensial, dan terutamanya, mereka yang mementingkan sejarah Aceh serta masa depan Aceh.

Dari sini, untuk menuju ke permasalahan lebih luas mengenai batu nisan Aceh secara khusus, permasalahan-permasalahan yang patut dibicarakan dan didiskusikan sebelumnya, antara lain:

6. Batu nisan Aceh dan kesadaran sejarah.

Batu nisan Aceh muncul dalam ledakan terhebatnya dalam kurun waktu abad ke-9 Hijriah (ke-15 M) sampai ke-10 Hijrah (ke-16 M). Meski muncul dalam kepadatan yang signifikan sepanjang pantai utara sampai pantai barat Aceh, namun ledakan terbesarnya mengambil tempat di kawasan Aceh Utara, khususnya, dalam abad ke-9 Hijriah sampai permulaan abad ke-10 Hijriah, dan di kawasan Aceh Besar dan Banda Aceh. Selain jumlah kemunculannya yang sangat fenomenal, batu-batu nisan itu menghasilkan data-data epigrafis yang begitu kaya, yang merupakan salah satu keistimewan paling menonjol dari batu-batu nisan dalam kurun waktu tersebut.

Pertanyaannya adalah mengapa kemunculan yang fenomenal dan istimewa itu tidak terjadi sebelum kurun waktu itu? Dan, mengapa pula kemunculannya sesudah kurun waktu itu tidak lagi bersama keistimewaan yang dimiliki sebelumnya? Permsalahan ini perlu diberikan perhatian dan dibicarakan dalam konteks tingkat kesadaran sejarah yang dimiliki oleh masyarakat Islam dalam kurun waktu itu. Pengalaman apa yang telah mengilhami mereka untuk memiliki kesadaran sejarah dalam tingkat seperti itu? Dan bagaimanakah sesungguhnya kesadaran sejarah yang dimiliki oleh masyarakat Islam? Permasalahan ini mesti diberikan sorotan dan diskusi yang lebih luas menyangkut batu nisan Aceh.

7. Material sejarah dari batu nisan Aceh.

Sebagai benda warisan budaya, batu nisan Aceh memiliki banyak aspek yang dapat diperhatikan. Dari berbagai aspek tersebut dapat dihasilkan berbagai informasi atau petunjuk-petunjuk untuk suatu informasi terkait sejarah. Kami telah Menyusun sebuah buku berjudul Batu Nisan Aceh, yang menguraikan tentang batu nisan Aceh dari berbagai sisi dan aspeknya. Meskipun buku itu telah pernah diterbitkan secara khusus oleh Lembaga Wali Nanggrou Aceh, tapi saya menganggapnya masih sebagai draf. Dengan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan seperlunya, saya kira, buku itu nantinya dapat menjadi pemandu ke berbagai permasalahan menyangkut batu nisan Aceh, termasuk antara lain, permasalahan sebaran batu nisan Pasai.

Sejarah Aceh, Penting untuk Siapa?

Dalam pembicaraan mengenai sejarah Aceh¹, kerumunan orang banyak mesti segera dipisahkan (dibedakan) antara mereka yang cenderung berpola pikir individualis dan semata-mata hidup untuk menargetkan kenyamanan dan kesenangan pribadi di dunia—atau juga di akhirat, sesuai persepsi pribadinya—dan antara mereka yang meyakini dan berpikir bahwa kehidupan mesti menyasarkan tujuan-tujuan yang lebih penting dari setakat memenuhi hajat atau kesenangan pribadi. Pemisahan ini ditujukan agar waktu dan tenaga yang diberikan dalam pembicaraan tentang sejarah Aceh tidak terbuang di kelas yang bukan tempatnya.²

Orang-orang yang berpola pikir individualis mesti diberikan kelas yang selayaknya untuk mereka. Sebab, mereka percaya bahwa untuk mendapatkan apa yang diiginkan, mereka tidak perlu sejarah, bahkan juga ragu jika mereka perlu kepada Islam selain ibadat-ibadat yang diwajibkan, dan itu pun terkadang hanya karena mengingat kesenangan yang dijanjikan di akhirat, bukan karena keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi orang-orang seperti ini, sejarah Aceh, bahkan sejarah Islam, dianggap tidak penting dan akan diacuhkan. Terkecuali, hanya apabila dapat melayani kepentingan pribadi mereka. Itu baru dianggap penting, dan pastinya hanya akan seukuran kepentingan mereka.

Sejarah Aceh, bahkan sejarah Islam atau sejarah secara umum, akan ditemukan kepentingannya oleh setiap orang yang meyakini bahwa kehidupan lebih dari sekadar untuk mencapai hal-hal yang bersifat pribadi, dan mereka ini bisa jadi dari berbagai kalangan masyarakat di berbagai lapangan pekerjaan dan profesi, berbagai kondisi dan taraf kehidupan, berbagai usia berakal. Semakin banyak orang yang memiliki keyakinan seperti ini, semakin bertambah potensi jumlah orang yang memahami arti penting sejarah, terutama sejarah Islam dan sejarah Aceh. Artinya, pembicaraan tentang sejarah, terutama sejarah Aceh, akan mungkin sekali menuai hasil atau berfaedah jika dibicarakan dalam kelas orang-orang yang tidak hanya mementingkan kehidupan pribadinya. Ini, saya pikir, merupakan syarat pertama dan pada tingkat minimalnya.

Tetapi, sebelum kita berlalu dari permasalahan ini, suatu hal yang secara langsung teramati dan perlu segera diberi diperhatikan secara khusus adalah bahwa kesadaran terhadap kepentingan sejarah sesungguhnya berawal dari keyakinan, yaitu, keyakinan bahwa kehidupan lebih dari sekadar untuk mencapai kepentingan-kepentingan pribadi, dan karena inilah berdiri bangsa-bangsa, serta menguatnya bangsa-bangsa tertentu. Ini, saya kira, menjadi titik awal, yang walau bagaimanapun sederhana dan primitifnya, telah mendorong banyak orang untuk menemukan arti penting sejarah.

Dari sini saya ingin segera meloncat ke hakikat yang lebih besar dari itu, dan secara langsung terkait erat dengan perhatian Muslimin dan para ulamanya terhadap sejarah semenjak masa-masa awal Islam sampai dengan dewasa ini—[tapi sepertinya, untuk sementara waktu, kita perlu mengecualikan Aceh dalam masa sekarang ini].
Hakikat yang lebih besar adalah karena Islam telah meletakkan penjelasan komplet tentang kehidupan. Penjelasan itu datang dari Maha Pencipta, dan karenanya, merupakan penjelasan yang sangat sempurna tentang kehidupan, menyeluruh dan konsisten, dan yang sudah pasti, tidak pernah dapat dibandingkan (disetarakan) dengan apapun penjelasan yang dapat diberikan oleh manusia atau oleh seluruh umat manusia sejak awal kehidupannya di muka bumi. Islam telah menjelaskan hakikat kehidupan, dan mengarahkan manusia ke arah bagaimana seharusnya ia bersikap dan menyikapi kehidupan.

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (سورة الأنعام الأية 32) .
(Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan hal-hal yang melalaikan [karena begitu singkatnya]. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu berpikir begitu?)

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ (سورة الحديد الأية 20)
(Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan hal-hal yang melalaikan, suatu perhiasan dan sikap saling berbangga di antara kamu, serta suatu perlombaan dalam kekayaan dan anak keturunan, [itu] seperti hujan, yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.)

Dalam penjelasannya tentang kehidupan, Al-Qur’an juga telah banyak memaparkan kenyataan-kenyataan yang pernah terjadi di masa lampau untuk menjadi sumber pelajaran dan petunjuk dalam kehidupan.

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ . وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِي إِلَيْهِم مِّنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ ۗ أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۗ وَلَدَارُ الْآخِرَةِ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ اتَّقَوْا ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ . حَتَّىٰ إِذَا اسْتَيْأَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا فَنُجِّيَ مَن نَّشَاءُ ۖ وَلَا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ . لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (سورة يوسف 108-111)
(Katakanlah [wahai Muhammad]: “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan yakin, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.” Dan Kami tidak mengutus sebelummu [Muhammad] melainkan para laki-laki yang Kami berikan wahyu kepada mereka di antara penduduk negeri. Tidakkah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul). Dan sungguh, negeri akhirat itu lebih baik bagi orang yang bertaqwa. Tidakkah kamu berpikir? Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan kaumnya) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada mereka (para rasul) itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang yang Kami kehendaki. Dan siksa Kami tidak dapat ditolak dari orang-orang yang jahat. Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. [Al-Qur’an] itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan [sebagai] petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.)

Al-Qur’an menunjukkan bagaimana pentingnya sejarah bagi setiap manusia, terutama Muslim. Al-Qur’an bahkan menerangkan bahwa Islam adalah ‘aqidah (agama) yang memiliki akar sejarah yang dalam:

مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ وَفِي هَٰذَا (سورة الحج الأية 78)
([Ikutilah] agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia [Allah] telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan [begitu pula] dalam [Al-Qur’an] ini.)

قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِّلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۚ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (سورة الأنعام الأية 161)
(Katakanlah [wahai Muhammad], “Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus. Dia [Ibrahim] tidak termasuk orang-orang musyrik.”)

Sesungguhnya, cukup banyak dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menampilkan semangat kesejarahan dalam Islam, dan bagaimana Islam menekankan arti penting sejarah dalam memahami kehidupan dan menjalaninya. Dalil-dalil itu pula yang pada tingkat pertama telah mendorong dan memotivasi perhatian Muslim kepada sejarah dan kepentingannya. Maka, tepat sekali sebagaimana disimpulkan pengarang Al-Manar:

فالتاريخ هو المرشد الأكبر للأمم العزيزة اليوم إلى ماهي فيه من سعة العمران وعزة السلطان ، وكان القرآن هو المرشد الأول للمسلمين إلى العناية بالتاريخ ومعرفة سنن الله في الأمم ، وكان الاعتقاد بوجوب حفظ السنة وسيرة السلف هو المرشد الثاني إلى ذلك .

(Sejarah merupakan penuntun terbesar ke kekuatan politik dan peradaban besar yang dicapai oleh bangsa-bangsa maju di dunia dewasa ini. Al-Qur’an sesungguhnya adalah penuntun pertama orang-orang Islam untuk memperhatikan sejarah dan mempelajari Sunnatu-Llah dalam kemunculan serta perkembangan bangsa-bangsa. Selanjutnya, keyakinan terhadap wajibnya menjaga Sunnah dan sejarah kehidupan para Mu’min pendahulu, merupakan penuntun kedua dalam perhatian orang-orang Islam kepada sejarah)(3)

Ulama Islam juga telah sangat banyak mengungkapkan arti penting dan faedah sejarah. Thasykubri Zadah (Taşköprüzade), (w. 968 H/1561 M), misalnya, mengatakan dalam Miftah As-Sa’adah tentang faedah umum dari apa yang disebutnya dengan ‘Ilm At-Tawarikh:

وفائدته العبرة بتلك الأحوال والتنصح بها ، وحصول ملكة التجارب بالوقوف على تقلبات الزمن ليحترز عن أمثال ما نقل من المضار ويستجلب نظائرها من المنافع . وهذا العلم كما قيل : عمر آخر للناظرين والانتفاع في مصره بمنافع تحصل للمسافرين .

(Faedah sejarah adalah untuk menimba pelajaran dan peringatan dari berbagai kenyataan dalam sejarah, dan dengan mengamati berbagai perubahan zaman, keahlian seorang yang berpengalaman dapat dimiliki baik itu dalam upaya menghindari berbagai hal yang tidak menguntungkan yang pernah terjadi maupun dalam upaya untuk mendatangkan hal-hal yang menguntungkan sebagaimana pada waktu sebelumnya. Ilmu ini, sebagaimana yang populer didengar, ibarat “umur” yang ditambahkan kepada orang-orang mengkajinya, dan manfaatnya, sama seperti orang yang pergi melancong ke berbagai tempat yang dikunjungi oleh para musafir, dengan tanpa harus meninggalkan kotanya.)(4)

Sejumlah arti penting dan faedah pengetahuan sejarah baik secara umum maupun khusus, dunyawiyyah maupun ukhrawiyyah, sesungguhnya dapat dimaklumi oleh mereka yang “kenal dekat” dengan Islam. Ini menjadikan pembicaraan tentang arti penting sejarah di tengah-tengah orang Islam, sebenarnya dan sepatutnya, hanya dalam konteks mengingatkan. Tetapi, orang-orang yang tidak mementingkan apapun di luar kepentingan pribadinya tidak akan merasa perlu kepada sejarah sebagaimana mereka tidak mementingkan Islam selain dari apa yang mereka perlu untuk memperoleh kenyamanan dan kesenangan hidup! Mereka tentu saja tidak termasuk ke dalam orang-orang yang disebut oleh Ibnu Al-Atsir Al-Jazariy (w. 630 H) seperti ini:

ومن رزقه الله طبعاً سليماً وهداه صراطاً مستقيماً علم أن فوائدها (أي التواريخ) كثيرة ومنافعها الدنيوية والأخروية جمة غزيرة

(Orang yang Allah anugerahkan watak yang baik, dan Allah tunjuk jalan yang lurus, ia pasti tahu bahwa sejarah memiliki banyak faedah, dan manfaatnya secara duniawi maupun ukhrawi begitu besar.)(5) Ini dikatakan Ibnu Al-Atsir sebelum menjelaskan faedah-faedah sejarah dalam kitabnya Al-Kamil fi At-Tarikh.

Sekalipun arti penting dan faedah pengetahuan sejarah sudah sedemikian jelas seperti dikutip dari Tasykubri Zadah tadi, namun kiranya juga masih perlu diperjelas lagi menyangkut hubungan sejarah dengan masa depan. Ini dikarenakan dalam saat pembicaraan tentang kepentingan sejarah tidak jarang terdengar interupsi:
“Apa perlunya sejarah dan cerita masa lalu? Bukankah yang penting adalah masa depan?”

Interupsi seperti itu sekilas terlihat seperti masuk akal untuk menyudutkan kepentingan pengetahuan sejarah. Tapi itu pada hakikatnya sama sekali tidak masuk akal, dan justru tampaknya hanya berasal dari orang-orang yang sebenarnya tidak mengerti dan tidak mementingkan masa depan selain “masa depan” pribadinya yang singkat. Interupsi seperti itu sebenarnya langsung terpatahkan hanya dengan seseorang melihat ke kanan dan ke kiri di mana dunia di sekitarnya tampak jelas mementingkan, bahkan “memburu” sejarah. Itu mestilah karena sangat banyak sisi kehidupan yang justru bertumpu pada sejarah. Malah, seseorang dapat melihat kembali kartu identitasnya untuk menyadari bahwa identitas yang dia miliki dan hidup dengannya hari ini sesungguhnya bertopang pada masa lampau; pada sejarah! Ini secara lebih luas juga memaknakan bahwa berbagai kenyataan yang dihidupi hari ini tidak akan benar-benar dipahami tanpa mengusut perkara masa lalu; perkara sejarah.

Penyudutan kepentingan sejarah dengan menggunakan argumen seperti dalam interupsi tadi sesungguhnya murni sebuah sofisme (menyesatkan). Sebenarnya, tidak menarik untuk membuat bantahan bagi sesuatu yang nilainya tidak lebih dari sebuah celoteh. Tetapi, karena mempertimbangkan kenyataan-kenyataan sebagaimana telah dikemukakan di awal, maka dengan sangat disayangkan, celoteh seperti itu pun ternyata harus ditanggapi untuk mewaspadakan masyarakat, terutama generasi muda, dari kesesatan berpikir semisal itu.

Untuk menambah kejelasan, sekaligus dalam rangka menyediakan argumen penangkal (preventif) keterpedayaan dengan apapun celoteh menyudutkan kepentingan pengetahuan sejarah dengan “mengatasnamakan” perhatian terhadap masa depan, perlu kiranya dibahasa sedikit dan secara singkat tentang hubungan sejarah dengan masa depan.
Menyangkut hal ini, di antara kalimat inspiratif dalam penjelasan Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M) mengenai sejarah ialah:

فهو لذلك أصيل في الحكمة عريق
“Karena itu, [sejarah] adalah sesuatu yang murni dan mengakar dalam hikmah (kebijaksanaan).”(6)

Kalimat ini memberitahukan bahwa sejarah tidak cuma merupakan sajian kisah dari berbagai hal yang berasal dari masa lampau sebagaimana tampak pada lahiriahnya, tapi lebih dari itu, sejarah merupakan ladang penting bagi pencarian hikmah (kebijaksanaan; pengetahuan tentang asal-usul dan hakikat dari segala yang ada). Dengan mencermati dan mempelajari peristiwa-peristiwa sejarah, tersingkap hukum-hukum yang Allah letakkan (sunanu-Llah) dalam gerak sejarah. Pengetahuan tentang hukum-hukum dan sebab-musabab yang menggerakkan sejarah ini merupakan bagian dari kebijaksanaan, dan dengannya, sejarahnya tidak saja menyangkut masa lampau, tapi juga tentang bagaimana memahami kenyataan-kenyataan yang sedang terjadi, dan bagaimana melihat masa depan.

Sekalipun Ibnu Khaldun dianggap sebagai sejarawan yang pertama sekali membicarakan persoalan-persoalan sejarah secara filsafati, yang kemudian dalam abad ke-18 Eropa dikenal sebagai Filsafat Sejarah, dan dikenal dengan Ilmu Sejarah atau Pengantar Ilmu Sejarah di abad ke-19 (Sathi’: 170),(7). Namun, dengan melihat latar belakang Ibnu Khaldun, sudah tentu masuk akal apa yang dinyatakan ‘Imaduddin Khalil bahwa Muqaddimah merupakan suatu perluasan masalah dalam lapangan sejarah dan sosial yang mengacu kepada perspektif Al-Qur’an.(8)

Adalah suatu hal yang sangat terang terlihat bagaimana Al-Qur’an mengajukan pandangan-pandangannya dalam menjelaskan berbagai peristiwa sejarah yang dikisahkan, dan itu semua adalah sebagai peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala terkait perjalanan hidup manusia di sepanjang waktu.

Kenyataan bahwa berbagai peristiwa sejarah yang dikisahkan dalam Al-Qur’an, beserta penjelasan-penjelasannya, adalah sebagai peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan terang, menunjukkan bahwa itu ditujukan untuk menggerakkan manusia ke arah tujuan-tujuan yang telah diletakkan oleh Islam. Dari sini, Islam secara nyata telah meletakkan suatu bingkai yang jelas bagi sejarah, di mana sejarah tidak saja merupakan pengabaran autentik terhadap fakta-fakta yang terjadi di masa lampau, tapi juga penyelaman ke batin peristiwa-peristiwa sejarah untuk menemukan kaidah-kaidah dan hukum-hukum umum yang melahirkannya di sepanjang waktu—di mana hal ini akan banyak membantu dalam memahami dan menjelaskan kenyataan yang sedang dilalui begitu pula dalam memperkirakan serta mempersiapkan apa yang mungkin datang di masa depan. Lebih dari itu, sejarah, dalam bingkai yang diletakkan oleh Islam, adalah untuk membentuk dan melahirkan sejarah. Hal terakhir ini tampak sebagai satu-satunya alasan yang paling relevan mengapa Islam menekankan arti penting sejarah, dan barangkali, ini pula yang menjadi salah satu alasan dari keterlibatan sejumlah besar ulama Islam dalam penulisan sejarah. Muhammad ‘Imarah (w. 1441 H/2020 M) sepertinya tidak menjauh dari kenyataan ini ketika menyatakan:

إن الوعي بالتاريخ باب من أبواب صناعة التاريخ
(Kesadaran sejarah sesungguhnya merupakan salah satu gerbang ke penciptaan sejarah.)(9)

Dengan mengacu kepada bingkai yang telah diletakkan Islam bagi sejarah, saya menganggap, sejarah yang tidak mampu memperlihatkan jalan ke masa depan, baik masa depan yang dekat [‘ajil; duniawi], maupun yang jauh, [ajil; ukhrawi], nilainya tidak akan lebih dari sejarah palsu.

Sebagai kesimpulan sekaligus jawaban dari pertanyaan dalam permasalahan ini: “Sejarah Aceh, penting untuk siapa?”, saya kira, sebuah titik terang sudah dapat terlihat: bahwa sejarah Aceh hanya akan penting bagi mereka yang mengukuhkan tekad dalam upaya perbaikan di berbagai aspek kenyataan hidup Aceh hari ini, dan sekaligus dalam upaya mempersiapkan rancangan untuk masa depannya. Dengan harapan, Aceh dapat kembali hadir dengan kuat ke panggung sejarah peradaban yang telah sejak lama ditinggalkan.
Mengingat kekhususan dan keunikan masyarakat Aceh dengan berbagai kombinasi etnografis, kultur serta kesejarahan yang membentuk jaringan hidupnya, dan itu telah lama mengerak di sana, saya pikir, berbagai upaya perbaikan patut disertai—jika bukan diawali—dengan perbaikan pandangan dan wacana kesejarahan terhadap masa lalu Aceh. Selain dengan alasan itu, penyertaan perbaikan di bagian ini dalam berbagai upaya perbaikan, tentunya, juga dapat berdiri atas alasan bahwa berbagai sisi kekuatan dan kelemahan yang ditemukan di masa lalu Aceh nantinya dapat digunakan sebagai cerminan dalam menentukan arah dan gerak upaya perbaikan.

Sejarah menurut Ulama Islam

Ini permasalahan yang menurut saya mesti segera dibicarakan setelah permasalahan kepentingan sejarah secara umum mendapat kejelasan. Artinya, ini adalah permasalahan yang patut dibicarakan di antara orang-orang yang mementingkan sejarah.
Dengan kata lain, jika sejarah itu penting, lalu sejarah itu apa? Apa pengertian sejarah dalam pemahaman orang-orang Islam? Dan, ini sudah semestinya terkait dengan bagaimana para ulama Islam menjelaskan pengertian sejarah?

Permasalahan ini secara mutlak mesti memperoleh sorotan dan kejelasan untuk kepentingan verifikasi mana yang sesungguhnya diperhitungkan sebagai sejarah dan mana yang tidak dapat dianggap sebagai sejarah, atau hanya pseudo-sejarah (sejarah palsu), dalam takaran pengertian sejarah menurut orang-orang Islam dan para ulamanya.
Kepentingan lain, dan secara khusus, merupakan suatu kepentingan yang langsung terkait persoalan sejarah Aceh, ialah untuk melihat perkembangan serta mengukur pemahaman masyarakat Aceh mengenai hakikat sejarah dari sejak masa lampau sampai dengan dewasa ini. Ini untuk menghindari terjebak dalam sangkaan yang keliru bahwa masyarakat Aceh sejak masa lampau sampai dewasa ini memiliki pemahaman dan tingkat pemahaman yang sama mengenai sejarah. Sangkaan keliru ini, atau kekeliruan yang jarang disadari inilah, yang kiranya telah mendorong mereka yang hidup dewasa ini—atau dalam dekade-dekade sebelumnya—untuk dengan mudah dan kurang rasa tanggung jawab dalam menuturkan serta menuliskan apa yang menurut pemahaman dan tingkat pemahaman mereka merupakan “sejarah orang-orang dahulu”.

Sesuatu yang terlupakan oleh para penutur dan penulis “sejarah orang-orang dahulu” ialah kemungkinan yang masih sangat terbuka lebar jika apa yang dituturkan atau dituliskan sebagai sejarah itu justru sebenarnya ditolak sebagai sejarah oleh orang-orang yang disejarahkan. Menurut hemat saya, penolakan itu, malah, sudah dapat dipastikan, setidaknya dalam periode-periode tertentu. Ini berdasarkan bukti-bukti—belum lagi ragam argumentasi—yang memperlihatkan bahwa orang-orang yang disejarahkan itu ternyata memiliki pemahaman dan tingkat pemahaman tentang sejarah yang hampir total berbeda dengan pemahaman dan tingkat pemahaman orang-orang yang datang kemudian—yakni, dewasa ini dan dalam dekade-dekade abad sebelumnya—yang justru menuturkan dan menuliskan “sejarah” mereka. Poin yang terlupakan atau luput dari perhatian: ternyata “sejarah” yang dituturkan dan dituliskan itu adalah tentang orang-orang yang sesungguhnya mengerti dan memahami hakikat sejarah, dan bahkan memiliki tingkat kesadaran sejarah yang lebih tinggi. Ini terutamanya akibat mengabaikan sumber-sumber pokok dalam penelitian sejarah, dan pengabaian banyak hal lain yang semestinya lebih dulu ditinjau, diperiksa atau dipertimbangkan.

Bukti utama yang memperlihatkan pemahaman dan tingkat pemahaman orang-orang yang disejarahkan itu tentang sejarah, datang dan dipersembahkan oleh data epigrafi yang berasal dari rentang waktu cukup panjang, terutama dari abad-abad ke-9 Hijriah (ke-15 M) dan ke-10 Hijriah (ke-16 M). Data epigrafi yang diperoleh dari sangat banyak inskripsi pada batu-batu nisan kubur era Syumuthtrah (Pasai) dan Aceh, secara ringkas dapat dikatakan, memperlihatkan pola dan gaya yang sangat dekat dan mirip dengan apa yang dikenal sebagai Tarajim (‘Ilmu At-Tarajim; penulisan biografi) yang merupakan cabang dari ‘Ilmu At-Tarikh. Hal ini secara tegas membuktikan bahwa orang-orang yang hidup di masa-masa tersebut (yakni, orang-orang yang di masa kini disejarahkan) telah memahami sejarah (‘Ilmu At-Tarikh) sampai pada tingkat bagaimana sejarah dipahami dalam kurun waktu itu.

Satu teks dari sejarawan Muslim akan dicuplik di sini sebagai misal untuk memberikan sedikit kejelasan tentang pengertian sejarah yang dipahami dan telah berkembang di masa-masa lampau dalam sejarah Islam. Keterangan dalam teks ini, paling tidak, menjadi barometer untuk mengukur sejauh mana “sejarah Aceh” yang dituturkan, dituliskan, dan beredar di kalangan masyarakat selama ini memenuhi standar untuk apa yang sesungguhnya disebut sebagai sejarah dalam pemahaman orang-orang Islam dan para ulamanya di masa lampau, tidak terkecuali di masa lampau Aceh.

Teks yang akan dinukilkan sebentar lagi berasal dari abad-abad permulaan sejarah Islam. Abu ‘Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub Miskawaih, atau yang juga dikenal dengan Ibnu Miskawaih, adalah seorang sejarawan Muslim lahir di Ray (Shahr-e Rey) dan telah menulis Tajaribul Umam (pengalaman-pengalaman dari berbagai bangsa). Ia lahir di sekitar tahun 320 Hijriah (932 M) dan wafat pada 421 Hijriah (1030 M). Ia mengaji Tarikh At-Thabary kepada Abu Bakr Ahmad bin Kamil Al-Qadhi, sahabat Abu Ja’far Ath-Thabariy. Karyanya dalam bidang sejarah, Tajaribul Umam, merupakan sebuah karya ilmiah yang membedah sejarah dari sudut pandang seorang ahli hikmah (filsuf), dan telah memberikan keteladanan bagi para sejarawan setelahnya semisal Rasyiduddin Fadhlu-Llah (645 H-718 H), Ibnu Khaldun (732 H-806 H), Al-Kafiyajiy (abad ke-9 H), As-Sakhawiy (830 H-920 H).(10)

Ibnu Miskawaih memandang sejarah sebagai sumber pengalaman untuk hal-hal yang terus terjadi berulang kali dan diperkirakan dapat terus terjadi dalam bentuk yang serupa atau mirip. Apabila hal-hal itu diketahui pernah terjadi sebelumnya dan merupakan pengalaman dari orang-orang yang terdahulu, maka itu dapat dijadikan sebagai penuntun untuk apa yang perlu dilakukan dan apa yang perlu dihindari.

Ibnu Miskawaih mengatakan:

فإن أمور الدنيا متشابهة وأحوالها متناسبة وصار جميع ما يحفظه الإنسان من الضرب كأنه تجارب له وقد دفع إليها واحتنك بها وكأنه قد عاش ذلك الزمان كله وباشر تلك الأحوال بنفسه واستقبل أموره استقبال الخبر وعرفها قبل وقوعها فجعلها نصب عينه وقبالة لحظه فأعد لها أقرانها وقابلها بأشكالها . وشتان بين من كان بهذه الصورة وبين من كان غرا غمرا لا يتبين الأمر إلا بعد وقوعه ولا يلاحظه إلا بعين الغريب منه يحيره كل خطب يستقبله ويدهشه كل أمر يتجدد له . (ص 60) .
(Persoalan-persoalan dalam dunia ini mirip satu sama lainnya, dan satu kondisi dengan lainnya tampak selaras [proporsional]. Sehingga, apa yang diingat oleh manusia tentang hal-hal semacam itu menjadi seperti pengalaman dirinya sendiri, menyatu dengan dirinya, serta membuatnya berpengalaman, seakan-akan ia pernah hidup di zaman itu dan menghadapi sendiri kondisi-kondisi itu. Ia lantas menyambut persoalan-persoalan yang akan dihadapinya seperti seorang yang sudah berpengalaman dan tahu apa yang bakal terjadi. Ia mencurahkan perhatian dan waktunya untuk itu, seraya mempersiapkan respons dan tindakan yang sesuai. Orang seperti ini tentu saja sangat jauh berbeda dengan orang yang tidak berpengalaman dan lengah, yang baru tahu sesuatu setelah itu terjadi, dan tidak pernah membayangkan itu akan terjadi. Ia menjadi bingung dengan setiap hal yang dijumpai, dan terkejut dengan hal-hal yang baru baginya.)(11)

Supaya sejarah dapat memberikan manfaat sebagaimana diterangkan itu, Ibnu Miskawaih menolak apapun cerita yang tidak dapat diterima sebagai pengalaman manusia. Dari itu, ia melanjutkan:

ووجدت هذا النمط من الأخبار مغمورا بالأخبار التي تجري مجرى الأسمار والخرافات التي لا فائدة فيها غير استجلاب النوم بها والاستمتاع بأنس المستطرف منها ، حتى ضاع بينها وتبدد في أثنائها فبطل الانتفاع به ولم يتصل لسامعه وقارئه اتصالا يربط بعضه بعضا بل تنسى النكتة منها قبل أن تجيء أختها ، وتتفلت من الذهن قبل أن تقيدها نظيرتها ويشتغل الفكر بسياقة خبرها دون تحصيل فائدتها .
([Namun], saya menemukan kabar-kabar [yang mengandung pengalaman] model tadi ditutupi oleh cerita-cerita yang tidak berbeda dengan cerita-cerita di waktu malam hari, takhayul yang tidak ada gunanya selain sebagai pengantar tidur malam dan untuk menikmati leluconnya. Sehingga, kabar-kabar yang mengandung pengalaman menjadi lenyap dan musnah di antara cerita-cerita itu. Tidak dapat diambil faedah. Pendengar dan pembacanya tidak dapat menyambung satu kabar [yang mengandung pengalaman] dengan kabar lainnya, bahkan ide menariknya segera terlupakan sebelum yang lainnya datang, lepas dari ingatan sebelum dapat dirangkai dengan yang sebandingnya. Pikiran jadi hanya berfokus pada rajutan cerita, tanpa mampu menarik apapun faedah.)(12)

Siapapun yang pernah membaca semisal Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Aceh, Bustanus Salatin, atau mendengar kisah-kisah yang mirip seperti diceritakan dalam hikayat-hikayat tersebut, dan kemudian membaca keterangan ini, saya kira, ia pasti akan merasakan seolah-olah Ibnu Miskawaih sedang mengatakan itu di depannya hari ini, sekalipun kalimat-kalimat itu sudah ditulis sejak beratus tahun yang lalu.

Selain itu, suatu hal yang juga perlu digarisbawahi di sini, bahwa keterangan itu keluar dari Ibnu Miskawaih bukan lantaran ia sedang berhadapan dengan bacaan-bacaan semisal hikayat-hikayat yang disebutkan, atau penuturan sejenisnya, tapi di depannya justru sebuah karya ilmiah lain yang menjadi rujukan utama bagi Tajaribul Umam karyanya, yaitu karya Abu Ja’far Ath-Thabariy yang disusun atas periwayatan-periwayatan yang diterima oleh pengarangnya. Artinya, hanya bersandar pada periwayatan-periwayatan saja belum cukup untuk diterima sebagai sejarah. Menurut Ibnu Miskawaih, sejarah mesti berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia, dan karena itu, sejarah akan memberikan faedah kepada siapapun, bahkan menurutnya, kepada mereka yang hanya memperoleh bagian paling kecil dari kehidupan dunia ini sekalipun.(13)

Apabila teks tersebut dianggap mewakili pemahaman yang sudah sangat maju tentang sejarah, pemahaman yang umum di kalangan orang-orang Islam pada masa lampau tidak dapat tidak mengakar ke masa-masa pertumbuhan awal dari sejarah itu sendiri dalam sejarah Islam.

Perhatian dan penekunan di lapangan sejarah telah muncul sejak masa-masa awal sejarah Islam sebagai minat asli dan berdiri sendiri, tanpa memiliki apapun latar belakang dari masa pra-Islam. Al-Qur’an telah menumbuhkan dan menuntun minat itu sedari awal, dan segera dalam perkembangannnya, perhatian dan penekunan itu menemukan bentuk serta metode periwayatan serta penulisannya dari ilmu hadits yang mementingkan kebenaran periwayatan hadits dalam kedudukannya sebagai sumber syara’. Sehingga dari itu, sejarah tampil dalam wujud yang menyerupai dan sangat dekat dengan ilmu hadits, selain juga telah ditangani pada masa-masa awal pertumbuhannya oleh para sejarawan yang rata-ratanya adalah para ahli hadits. Bahkan, sejarah kemudian berkembang untuk meliputi tema-tema yang dipentingkan oleh ilmu hadits, dan diperhitungkan sebagai pengetahuan yang melayani syara’.(14)

Dari sini, sejarah, tentu saja, telah dipahami secara umum [di masa-masa lampau], paling tidak, sebagai suatu pengetahuan yang berjalan beriringan atau berdekatan dengan ilmu hadits, yang dimaklumi sangat menekankan nilai keshahihan dalam periwayatan. Tapi, hal ini justru dapat dikatakan sebagai substansi yang sepenuhnya hilang dari apa yang dipahami, dituturkan, dituliskan sebagai “sejarah” dan “sejarah orang-orang yang hidup di masa lampau Aceh”.

Pembicaraan Berlanjut…

Untuk sementara waktu, inilah yang dapat dikemukakan dalam kesempatan ini tentang gambaran umum persoalan Aceh, dan ini tentunya masih sangat jauh dari gambaran umum yang ingin disampaikan, dibicarakan dan didiskusikan. Karenanya, pembicaraan ini, Insya’a-Llah, akan berlanjut di masa mendatang. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala Menganugerahkan kemudahan dan Menyampaikan maksud dan tujuan.

Catatan Kaki:

  1. Aceh yang dimaksud di sini adalah sebuah eksistensi geografis dan politis yang hadir dalam kenyataan hari ini, yakni tanah dan rakyat Aceh dalam waktu ini, yang menanggung seluruh perwujudan dan manifestasi warisan masa silamnya, baik itu yang sudah diketahui maupun belum diketahui.
  2. Permasalahan ini saya mulai dari sini adalah lantaran gejala sosial yang teramati dalam masyarakat Aceh dewasa ini. Masyarakat Aceh secara umum terarah untuk berpikir dalam batas apa yang membuat hidup dapat lebih nyaman dan senang, tanpa cita-cita besar yang menuntunnya. Itu berarti Aceh akan surut dari panggung sejarah dan memilih untuk hanya “numpang lewat” dalam kehidupan ini tanpa meninggalkan apapun yang pantas untuk diwariskan dan dicatat. Dalam waktu yang sama, pemerintah Aceh juga tampak mempraktikkan asas kepemerintahan dan pembangunan yang menempatkan pemerintah hanya sebagai petugas melayani keperluan masyarakat, dan tidak memimpinnya. Jika kepemerintahan seperti ini dinilai tepat untuk daerah-daerah lain, untuk Aceh dengan corak warisan masa lalu yang sarat pergulatan dalam penentuan nasib, itu sama sekali tidak tepat. Pemerintah Aceh seharusnya tampil dengan nilai-nilai ke-Islama-n dan ke-Aceh-an sebagai pemimpin yang dihormati dan diikuti, bukan sebagai pelayan yang ujung-ujungnya juga tampak hanya melayani diri sendiri. Sementara di sisi lain, tidak jarang terdengar keluhan jika dalam proses pembangunan, pemerintah berhadapan dengan pola pandang masyarakat yang tidak sejalan dengan pola pandang dan kehendaknya. Sudah tentu itu terjadi, dan aneh bila itu tidak terjadi! “Tabrakan” seperti itu sudah wajar terjadi sebab pola pandang yang dimaksud itu adalah pola pandang yang mewakili kepentingan pihak masing-masing. Sementara pola pandang yang menyasarkan kepentingan pembangunan kehidupan materiil dan spirituil masyarakat secara menyeluruh dan berimbang justru sangat sulit ditemukan apalagi untuk dikembangkan. Hal-hal seperti itulah yang mendorong saya untuk memulai pembicaraan menyangkut permasalahan kepentingan sejarah dari sudut pandang yang mungkin berada dalam ruang lingkup sosiologi.
  3. Ridha, As-Sayyid Muhammad Rasyid (1366 H/1947 M), j. 1, h. 311.
    السيد محمد رشيد رضا ، تفسير القرآن العظيم (تفسير المنار) ، الجزء الأول ص 311 (طبعة دار المنار – القاهرة 1366هـ / 1947 م)

4. Zadah, Ahmad bin Mushthafa Thasykubri (1405 H/1985 M)
طاشكبري زاده ، أحمد بن مصطفى ، مفتاح السعادة ومصباح السيادة ، المجلد الأول ص 231 (طبعة دار الكتب – بيروت 1405 هـ/1985 م)

5. Al-Jazariy, Ibnu Al-Atsir (1407 H/1987 M).
ابن الأثير الجزري ، محمد بن محمد بن عبد الكريم بن عبد الواحد الشيباني ، الكامل في التاريخ (تحقيق عبد الله القاضي) ، المجلد الأول ص 9 (طبعة دار الكتب العلمية – بيروت 1407 هـ/1987 م)

6. Ibnu Khaldun (1425 H/2004).
ابن خلدون ، عبد الرحمن بن محمد ، مقدمة ابن خلدون (تحقيق عبد الله محمد الدرويش) ، الجزء الأول ص 80 (طبعة دار يعرب – دمشق 1425 هـ / 2004 م)

7. Al-Hushari, Sathi’ (1387 H/1968 M)
ساطع الحصري ، دراسات عن مقدمة ابن خلدون ، ص 170 (مكتبة الخانجي – القاهرة ودار الكتاب العربي – بيروت 1387 هـ / 1968 م)

8. Khalil, ‘Imaduddin (1403 H/1983 M)
عماد الدين خليل ، ابن خلدون إسلاميا ، ص 8 (المكتب الإسلامي – بيروت 1403 هـ / 1983 م)

9. ‘Imarah, Muhammad (1417 H/1997 M)
محمد عمارة ، الوعي بالتاريخ وصناعة التاريخ ، ص 14 ، 33-34 (دار الرشاد – القاهرة 1417 هـ / 1997 م)

10. Hasan, Sayyid Kusrawiy (1424 H/2002)
سيد كسرو حسن ، مقدمة تحقيق تجارب الأمم وتعاقب الهمم ، الجزء الأول ص 49 – 50 (دار الكتب العلمية – بيروت 1424 هـ / 2002 م)

11. Miskawaih, Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub (1424 H/2002)
مسكويه ، أحمد بن محمد بن يعقوب (ابن مسكويه) ، تجارب الأمم وتعاقب الهمم ، الجزء الأول ص 59-60 (دار الكتب العلمية – بيروت 1424 هـ / 2002 م)

12. Ibid. h. 60.

13. Ibid.

14. Untuk bacaan lebih lanjut tentang hubungan sejarah dengan ilmu hadits dapat dibaca, antara lain:
بشار عواد معروف ، مظاهر تأثير علم الحديث في علم التّاريخ عند المسلمين ، مجلة الاقلام – السنة الأولي، شعبان 1384 – الجزء 5
بشار عواد معروف ، أثر الحديث في نشأة التاريخ عند المسلمين ، مجلة الاقلام – السنة الثانية، محرم 1386 – الجزء 21

* Taqiyuddin Muhammad adalah Epigraf, Peneliti Sejarah Islam.

Baca juga: