BANDA ACEH – Berdasarkan data BPS, kemiskinan di Aceh dari Maret hingga September 2022 mengalami peningkatan, yakni dari 14,64% menjadi 14,75 % atau dari 80.682 jiwa menjadi 81.847 jiwa.
“Data tersebut menunjukkan bahwa Provinsi Aceh kembali menoreh predikat memilukan sebagai daerah termiskin di Sumatra. Tentunya hal ini harus menjadi fokus dari setiap pemimpin dan tokoh Aceh agar dapat mengeluarkan Aceh dari belenggu kemiskinan di tengah dana Silpa APBA tiap tahunnya berjumlah triliunan,” ujar Ketua Brigade Nasional Provinsi Aceh, Khairul Abrar IH., dalam siaran persnya, Sabtu, 21 Januari 2023.
Baca:Â APBA 2023: Belanja Operasi Rp7,4 Triliun, Belanja Modal Rp1,7 T
Khairul Abrar memaparkan pada tahun anggaran 2020, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (Silpa) APBA sebesar Rp3,96 triliun dari Rp16,48 triliun APBA. Sementara 2021, dari Rp16,9 triliun APBA, dana yang tak mampu dihabiskan Rp3,93 triliun.
“Uang besar berjumlah triliunan rupiah itu semestinya dapat dioptimalkan untuk mendongkrak perekonomian Aceh, namun lagi-lagi pemerintah masih terpaku dengan hal makro dan seremonial belaka. Sehingga uang yang besar diperuntukkan untuk Aceh selama ini belum mampu menyentuh masyarakat menengah ke bawah secara maksimal,” ungkap Khairul.
Khairul juga menyampaikan bahwa tercatat hingga tahun 2022 sesuai data dari Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Aceh, saat ini sebanyak 74.810 UMKM di Tanah Rencong.
“Sektor UMKM atau kelompok usaha rakyat ini seharusnya menjadi penopang ekonomi Aceh dan sekaligus solusi untuk membebaskan Aceh dari belenggu kemiskinan jika sektor ini memang diperhatikan secara serius. Sehingga uang triliunan yang diberikan oleh pusat untuk Aceh tidak hanya menjadi Silpa dalam jumlah fantastis setiap tahunnya,” tegas Khairul.
Lihat pula:Â Dr Rustam Effendi: Evaluasi Kembali Belanja Operasi, Perbesar Belanja Modal Dalam APBA 2023
Menurut Khairul, jika anggaran Silpa Rp3,93 triliun dibantu untuk permodalan wirausaha muda pemula (WMP) bagi kegiatan UMKM atau dengan estimasi bantuan baik langsung maupun peralatan usaha per-UMKM Rp25 juta, maka dari Silpa Aceh sebesar Rp3,93 T itu sebanyak 157.200 UMKM akan terbantu.
“Namun, tentu sangat disayangkan, selama ini Pemerintah Aceh lebih fokus kepada pelaksanaan bimtek tanpa adanya output yang jelas. Bimtekpun dilakukan tidak maksimal, hanya untuk menghabiskan anggaran akhir tahun,” ucap Khairul.
Sementara bantuan permodalan hingga pemasaran produk UMKM, kata Khairul, relatif masih sangat minim dilakukan. Untuk formulasi pemasaran produk UMKM juga hanya sebatas berorientasi kepada expo yang terkesan hanyalah momentum sesaat tanpa adanya output berkelanjutan.
Semestinya, menurut Khairul, minimal UMKM yang sudah ada diperkuat dan dipoles baik dengan penambahan modal, peralatan usaha, manajemen, dan pemasaran. Di samping itu juga dilakukan langkah-langkah strategis untuk memunculkan usaha-usaha baru.
“Seharusnya Pemerintah Aceh memiliki konsep riil misalkan bagaimana melibatkan para pemuda untuk terjun membangun sektor UMKM dengan menghadirkan Lembaga Permodalan Kewirausahaan Pemuda Aceh (LPKPA) yang merupakan turunan dari Qanun Nomor 4 tahun 2018 tentang Pembangunan Kepemudaan Aceh. Sehingga setiap pemuda dapat berkontribusi menghadirkan UMKM atau kelompok usaha rakyat dalam rangka mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi Aceh. Namun, lagi-lagi, hal yang paling penting bagaimana komitmen dan keseriusan pemimpin Aceh bersama stakeholdernya dalam memajukan sektor ini,” pungkas Khairul Abrar.[](red)