LHOKSEUMAWE – Ketua BEM Fakultas Hukum Unimal, Muhammad Fadli, menyoroti tarif pemeriksaan Covid-19 melalui rapid test di Rumah Sakit Umum Cut Meutia (RSUCM) milik Pemkab Aceh Utara. Dia menegaskan, “jangan jadikan wabah Covid-19 sebagai ladang bisnis”.
“Di Kabupaten Aceh Utara dalam beberapa hari ini masyarakat Aceh Utara dibuat “shock” terhadap selebaran informasi dari RSUCM yang berisikan informasi terkait tarif paket rawat jalan khusus Covid-19 dengan deskripsi untuk rapid test (Rp400.000), rontgen thorax (Rp150.000), dan surat kesehatan (Rp75.000). Bahkan tarif tersebut dibuat perpaket, ada paket 1 dan paket 2, paket 2 lebih kompleks dari paket 1,” kata Muhammad Fadli dalam pernyataannya dikirim kepada portalsatu.com, Jumat, 5 Juni 2020.
Fadli menilai tarif tersebut sangat memberatkan sehingga masyarakat merasa takut untuk menjalani pemeriksaan Covid-19 di RSUCM Aceh Utara. “Psikis masyarakat Aceh Utara ketika melihat informasi tersebut tentunya menjadi sangat khawatir, kausalitasnya sangat berbahaya. Jika sebelumnya masyarakat ingin terbuka ketika ada ciri-ciri sakit Covid-19 akhirnya dengan melihat informasi tersebut mereka menjadi takut untuk berobat dan melakukan tes. Selain akan terkena dampak sosial dengan 'diasingkan' dari masyarakat, ditambah lagi dengan tarif pemeriksaan Covid-19 yang di luar batas kewajaran,” ungkapnya.
“Kita sangat prihatin terhadap moralitas para pemangku jabatan di Kabupaten Aceh Utara. Direktur RSUCM yang merupakan di bawah garis koordinasi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara telah kehilangan hati nurani dan rasa kemanusiaannya. Seharusnya pandemi Covid-19 ini membuat rasa kepekaan kita terhadap sesama manusia menjadi lebih baik lagi. Perbedaan strata sosial, ras, golongan, dan kelompok yang menjadi jurang pemisah perbedaan sesama manusia selama ini seharusnya di tengah pandemi ini sudah tidak ada lagi,” tegas Fadli.
Fadli menambahkan, “jangan jadikan wabah pandemi Covid-19 ini sebagai ladang bisnis, yang kaya semakin kaya dengan sikap kapitalistiknya, dan yang miskin semakin termarjinalkan dengan hegemoni kaum borjuis komprador”.
Menurut Fadli, Menteri Kesehatan telah mengeluarkan Surat Keputusan No. HK.01.07/Menkes/238/2020 tentang petunjuk teknis klaim penggantian biaya perawatan pasien penyakit infeksi emerging tertentu bagi rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan Covid-19. “Kesimpulan dari surat keputusan Kemenkes tersebut adalah semua masyarakat yang diindikasikan atau yang telah positif Covid-19 bisa berobat gratis kepada rumah sakit yang menjadi rujukan di daerahnya masing-masing,” tuturnya.
“Prosedural untuk memberikan pelayanan gratis terhadap masyarakat yang diindikasikan atau yang positif Covid-19 sudah ada. Namun, yang menjadi pertanyaan besar kepada kita ketika RSUCM memberikan informasi selebaran tentang deskripsi biaya untuk tes Covid-19,” kata Fadli lagi.
Di sisi lain, kata Fadli, Pemkab Aceh Utara telah melakukan realokasi APBK tahun 2020 mencapai Rp30 miliar untuk pencegahan dan penanganan Covid-19. “Ini jumlah yang sangat besar dengan melihat eskalasi kasus Covid-19 di Aceh Utara. Tentunya alokasi anggaran itu untuk menggratiskan perawatan bagi yang terindikasi atau pasien Covid-19 baik itu umum atau mandiri merupakan hal yang sangat substansial,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Fadli, DPRK Aceh Utara harus berani memanggil Bupati dan Direktur RSUCM untuk menanyakan kebijakan tersebut yang dinilai kontra produktif bagi kepentingan masyarakat.
“DPRK harus benar-benar menjadi representasi wakil rakyat dalam mengawasi kebijakan dan kinerja Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Pemerintah Kabupaten Aceh Utara bukan lembaga super bodi yang bisa sesuka hatinya menentukan nasib rakyat Aceh Utara, DPRK harus berjuang dari dalam kekuasaan. Biarkan kami masyarakat khususnya mahasiswa berjuang dari luar kekuasaan,” tegas mahasiswa yang berdomisili di Gampong Alue Ie Mirah, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara itu.
Sebelumnya, Humas Rumah Sakit Umum Cut Meutia (RSUCM) Aceh Utara, Jalaluddin, SKM., M.Kes., mengatakan jika warga ingin mengurus surat keterangan kesehatan dari dokter spesialis memang dikenakan biaya Rp75 ribu. “Tapi kalau dokter umum Rp30 ribu. Tarif itu sudah lama, dan diatur dalam Qanun Aceh Utara, karena biaya itu masuk PAD,” kata Jalaluddin dikonfirmasi portalsatu.com melalui telepon seluler, Kamis, 4 Juni, malam.
Soal pemeriksaan Covid-19 dengan rapid test, Jalaluddin menyebut hanya dikenakan biaya kepada pihak selain pasien. “Untuk pasien gratis (ditanggung dengan anggaran daerah). Yang (harus membayar) Rp400 ribu untuk mandiri dan swasta. Karena sejak setelah lebaran kemarin banyak karyawan perusahaan besar yang berangkat (dari Lhokseumawe dan Aceh Utara) keluar daerah. Kan tidak mungkin untuk rapid testmereka diambil dari biaya (yang dialokasikan) untuk orang sakit atau pasien. Karena pihak rumah sakit harus membeli alat itu (rapid test), sehingga untuk pemeriksaan (dikutip) biaya Rp400 ribu untuk mandiri dan swasta. Itu juga diatur dengan Perbup”.
“Misalnya saya mau naik pesawat keluar daerah, mana bisa rapid test gratis. Gratis itu untuk pasien atau untuk ODP (orang dalam pemantauan). Termasuk tahanan (di Lembaga Pemasyarakatan) itu rapid test-nya gratis. Sementara alat rapid testdari Pemerintah Aceh yang (diwacanakan) untuk pemeriksaan (secara massal dan) garis belum dikirim ke kita,” ujar Jalaluddin.
Lihat pula: GerTaK: Kenapa Masyarakat Harus Bayar Pemeriksaan Covid-19, Kemana Anggaran Realokasi Puluhan Miliar?
(Foto dikirim Humas RSUCM Aceh Utara)
Dikonfirmasi kembali, Jumat, 5 Juni 2020, soal penetapan biaya pemeriksaan kesehatan dalam rangka penerbitan surat keterangan, Jalaluddin menyebutkan, hal itu diatur dalam “Perbup (Aceh Utara) No. 38/2018 tentang tarif pelayanan RSUCM”.
Sedangkan soal rapid test, Jalaluddin mengatakan, “Nunggu (menunggu, red) SK Bupati. Lagi proses. Tapi sudah beberapa kali telaah sama manajemen (RSUCM) tentang tarif”.[]