SAYA mendapat undangan menghadiri konferensi International Conference Sufism, di Istanbul, Turki, pada 03/12/2013. Banyak hal yang menarik dengan pergerakan perubahan yang dilakukan oleh sufi-sufi asal Turki.
Saya diundang bersamaa dua orang teman dari Aceh, Tgk Edy Syuhada dan Tgk Muhammad Umar (Tgk Jiem) mendapat kehormatan mewakili Indonesia menghadiri konferensi bergengsi yang dihadiri sekitar 60 perwakilan Negara-negara Islam di dunia tersebut.
Konferensi tentang sufi diselenggarakan oleh sebuah organisasi yang bergerak dibidang sosial, kesejahteraan dan akhlak. Satu hal yang sangat berbeda yang saya dapatkan dalam konferensi tersebut bahwa kebanyak sufi-sufi yang hadir dalam konferensi tersebut terdiri dari masyarakat kelas menengah dan kelas atas dari segi ekonomi atau boleh dibilang kaum berduit.
Di antara mereka pimpinan perusahaan, direktur rumah sakit, dan lain-lain, yang mungkin berbeda dengan kita di Indonesia kususnya Aceh di mana pergerakan sufi lebih mendominasi di kalangan masyarakat bawah (red; miskin).
Pada konferensi tersebut masing-masing dari perwakilan kelompok sufi memaparkan program-program yang telah mereka laksanakan dan presatasi yang telah peroleh. Di antara yang paling menarik adalah bahwa mereka membangun lembaga pendidikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Lembaga pendidikan yang mereka bangun sesuai dengan konsep Islam yang memisahkan antara kampus laki-laki dengan kampus perempuan. Konsep ini sengaja mereka ciptakan sebagai salah bentuk ‘islamisasi’ di Turki di tengah masyarakat Turki yang hidup dalam kebebasan (free sex), agar lembaga pendidikan lain bisa mencontoh apa yang telah mereka lakukan.
Sangat besar kemungkinan terjalin hubungan bebas antara laki-laki dan perempuan yang berada dalam ruangan kelas atau satu kampus.
Di samping itu lembaga pendidikan yang mereka bangun juga sebagai media kompanye pakaian Islami, dimana sebelumnya turki pernah melarang busana Islami kususnya jilbab bagi perempuan di tempat-tempat resmi seperti di sekolah kampus, instansi pemerintahan dan lain-lain.
Menjauhkan Riba sampai bangun TV
Selain itu para sufi tersebut juga memaparkan usaha yang mereka lakukan dalam bidang bisnis, setiap usaha apa saja yang mereka lakukan dalam bidang berbagai macam harus berdasarkan bisnis halal sesuai dengan syariah yang jauh dari praktek ribawi, bahkan sampai mereka membuat persyaratan yang amat ketat di mana setiap usaha yang mereka jalankan tidak boleh menerima bantuan dari pihak manapun terutama bantuan dari pemerintahan dan partai politik.
Mereka menjalankan usaha secara mandiri dengan modal pribadi yang kemudian dikelola secara bersama, dimana hasilnya akan disumbangkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, terutama korban-korban bencana alam seperti bantuan mereka pada tahun 2004 saat Aceh dilanda Tsunami.
Di antara usaha yang telah berhasil mereka lakukan adalah rumah sakit dengan fasilitas yang cukup dan dokter ahli dalam berbagai bidang penyakit, lebih dari 60 negara yang mengunjugi rumah sakit tersebut untuk berobat, sehingga rumah sakit tersebut menjadi rumah sakit terbaik di Turki.
Selain itu usaha biro perjalanan haji umrah yang terus meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai puluhan ribu jamaah umrah pertahunnya sehingga mereka mendapat pengargaan sebagai biro perjalanan terbaik di Turki.
Banyak lagi usaha-usaha lain yang mereka lakukan, yang semua ini untuk menghapus praktek-praktek riba dalam usaha dan mensosialisikan bisnis halal kepada masyarakat, dimana kita ketahui bahwa sebagian negara turki masuk dalam wilayah Eropa, tentulah sistem perekonomian yang berlaku dikawatirkan dari segi kehalalannya.
Dari segi penguasaan media elektronik dan cetak, mereka telah berhasil membuat stasiun televisi yang menjadi favorit di Turki, stasiun tersebut menampilkan siaran-siaran islami yang mengandung nilai-nilai dakwah dan pendidikan untuk semua jenjang umur. Kehadiran stasiun televisi tersebut sangat membantu proses Islamisasi di Turki sebagai tandingan terhadap program-program yang tidak mengandung nilai pendidikan di televisi lainnya. Selain televisi mereka juga memiliki stasiun radio yang mengudara di seluruh Istanbul dan sekitarnya yang programnya juga sangat Islami. Disamping media elektronik mereka juga memiliki majalah mingguan dan bulanan, semua konten dalam majalah tersebut mengandung nilai pendidikan dan sesuai dengan Islam.
Gerakan Tasawwuf di Turki
Umumnya, gerakan tasawuf di Turki dilakukan sebagai gerakan dakwah untuk mengembalikan Turki kepada era Islam yang dulu pernah jaya pada zaman khalifah Usman, yang kemudian Islam lenyap ditelan arus sekulerisasi yang dipolopori oleh Mustafa Kamal Attaturk. Sejak itulah budaya Turki yang dulunya dibungkus oleh nilai-nilai keislaman berubah 100% menjadi budaya Barat atau Eropa, bahkan simbol-simbol kesilaman dilarang untuk ditampilkan pada tempat-tempat umum.
Hal inilah faktor utama munculnya pergerakan sufi di Turki saat ini untuk mensosialisikan kembali nilai-nilai keislaman di tengah kehidupan masyarakat yang sekuler, dengan cara damai tanpa kekerasan. Mereka telah melalukan masuk dalam segala bidang kehidupan baika dunia pendidikan, usaha, penguasaan media dan sebagainya.
Konferensi yang berlangsung selama dua hari penuh, kemudian diakiri dengan mengunjungi pimpinan Tariqat Tasauf Naqsyabandiyyah yang mereka anut, yang berada di provinsi Manzil, lebih kurang 1000 KM dari Istanbul.
Ratusan jamaah mengunjungi pemimpin gerakan ini yang dikenal ghaus (istilah sufi) dalam setiap harinya untuk melakukan bai’at (proses taubat). Ia diyakini keturunan Rasulullah. Alhamdulillah kami memiliki kesempatan untuk bertatap muka dengannya langsung. Yang sangat menarik ia tidak menerima sedekah dalam bentuk apapun. Ia juga memiliki madrasah yang mengajarkan kitab-kitab agama-agama Islam, fokus kepada pembinaan akhlak.
Santri-santri yang menimba ilmu di tempat tersebut dari berbagai daerah di Turki dan luar Turki, ini juga bagian dari Islamisasi dalam bidang akhlak ditengah keterpurukan akhlak remaja masa kini di Turki.
Terakir, saya menyimpulkan bahwa pergerakan aliran tasawuf di Turki tidak hanya terbatas pada kegiatan ibadah semata sebagaimana tasawuf yang dikenal di daerah kita Aceh, namun pergerakan mereka telah mengarah pada segala bidang baik pendidikan, sosial, penguasan media dan sebagainya, dengan maksud untuk menyebar luaskan dakwah Islam kepada masyarakat, selain itu ingin mengembalikan nilai-nilai keislaman dalam masyarakat yang hidup dalam gaya dan budaya Barat.
Usaha yang mereka lakukan sangatlah patut ditiru oleh para penganut airan tariqat tasawuf di Aceh agar nilai-nilai keislaman merata di semua kalangan dan semua bidang sehingga Aceh murni menjalankan syariat secara kaffah.[]Sumber:hidayatullah.com
Penulis: Dr. Abizal Muhammad Yati, LC, MA, peserta International Conference Sufisme di Istanbul. Penulis juga Wadir Pimpinan Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee