“Orang kita (Aceh) fanatisme berlebih, yang benar jadi salah, yang salah jadi benar,” kata Zikrayanti.
Dosen Jurusan Ilmu Perpustakaan Dan Informasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Zikrayanti, S.IP., M.LIS, menyebutkan, masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang memiliki fanatisme berlebihan.
Misalkan sudah fanatik kepada seorang tokoh, sebut Zikrayanti, apapun yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tertentu, tetap dianggap benar, bila pun salah.
Dijumpai Portalsatu.com, Selasa 14 Februari 2023, di Banda Aceh, Zikrayanti mengatakan, teramat mudah bagi Aceh disusupi oleh isu-isu negatif, bahkan berita-berita yang tidak benar.
“Terlebih menjelang musim pemilu (pemilihan umum) seperti saat ini,” tuturnya.
Menurut Zikrayanti, fanatisme berlebih orang Aceh dapat dilihat dari media sosial seperti Facebook.com. Di mana, konten-konten yang berkaitan dengan agama menjadi marak disebarluaskan.
“Tidak perlu filter (pemilahan atau cek kebenarannya). Asal sudah ada kata jangan lupa share, like, lalu ketik amin, masuk surga. Mudah sekali orang kita percaya,” katanya.
Share-share isu yang Tidak Banar
Hal itu, kata Zikrayanti, disebabkan oleh tidak ada budaya digital yang beredukasi. “Jadi, bila ditanya, bagaimana cara melihat ini benar atau tidak, jawaban gampang sekali, ini sudah di-share ke dalam grup, ya ikut share,” paparnya.
Ia juga mengatakan, orang kita memang suka memakai teknologi, memakai sosial media (sosmed). Namun, pengetahuan untuk memahami konten-konten yang baik dan benar, tidak ada.
“Karena tidak ada ilmu itu di masyarakat kita,” ujarnya.
Bila harus jujur, kata Zikrayanti, penyebab mudahnya orang Aceh terprovokasi oleh isu-isu hoaks dan konten-konten tak benar dipicu dari faktor pengetahuan.
“Bila kita ada pengetahuan tak mungkin terjebak dan mudah diprovokasi,” tukasnya.
Padahal, kata Zikrayanti lagi, masyarakat Aceh paham agama, tidak boleh sembarangan menyebarkan suatu berita.
“Tetapi, karena sifat fanatik yang berlebih, maka broh-broh geu share (sampah-sampah di share),” tutur Zikrayanti dalam bahasa Aceh yang khas.
Sambung Zikrayati, bila diingatkan untuk tidak menyebarkan hoaks, maka akan dijawab. “Galak-galak lon, lah. (Suka-suka aku, lah),” tirunya.
Akuinya, orang Aceh lupa bila menyebarkan isu hoks yang secara tidak langsung telah menyebarkan fitnah. Konsep itu tidak ada sama masyarakat Aceh.
“Ilme agama rabon, pengetahuan rabon. (Ilmu agama rabun, pengetahuan rabun). Bahkan para akademisi di kampus-kampus kadang-kadang menyebarkan hoks juga,” tegasnya.
Di sisi lain, Zikrayanti menguraikan, hal ini serba salah, bila dikatakan tidak berpendidikan, teramat banyak hari ini orang yang berpendidikan, tetapi tidak adanya kemampuan mereka untuk memahami mana yang benar mana yang salah.
Dengan begitu, Zikrayanti mengimbau kepada masyarakat untuk tidak hanya cakap digital semata. Akan tetapi lebih kepada memahami dan belajar literasi digital dengan tekun dan benar.
“Orang Aceh harus tahu, kita ini pemakan hoks atau bukan. Apalagi ini menjelang pemilu. Isu yang di-share rata-rata adalah black campaign (kampanye hitam atau jahat),” pungkasnya.
Tidak adanya Pengetahuan Digital
Namun, kata dia lagi, tak boleh juga disebut orang fanatisme itu tidak paham. Karena ada juga orang fanatik yang paham, maka lebih memilih diam. “Karena dia tahu itu salah, tapi tak mahu membela. Tapi pedomannya tak akan berubah,” tuturnya.
Hari ini, sebut Zikrayanti, banyak anak-anak yang pakai gawai, tetapi para orang tua tak mengontrol dengan baik. Tidak ikut serta menyesuaikan apa yang dibutuhkan anak-anak di dunia digital.
Di samping, sambung Zikrayanti, anak kita tidak belajar atau mendapatkan pembelajaran bagaimana cara menggunakan media sosial yang bijak.
“Persoalannya, sudah kita sebagai orang tua tidak paham, tidak bijak bermedia sosial, anak juga tidak dikontrol saat menggunakan medsos,” urainya.
Bila orang yang sudah paham bermedia sosial dengan baik, kata Zikrayanti lagi, tentu akan mengontrol anak-anaknya ke arah yang bijak dalam menggunakan sosmed.
“Tentu tahu apa kebutuhan anak-anak. Pasti kita mengontrol dan mengarahkan. Tapi, sebaliknya, kalau orang tuanya tak paham, ya tentu demikian,” paparnya.
Menurut Zikrayanti, bagi orang Aceh hari ini, handphone atau gawai adalah segalanya. Karena, ilmu digital dan media sosial tidak ada. Jadi, jangan heran bila sekarang
Menjelang Pemilu
Zikrayanti menjelaskan, isu hoaks memang hal yang terus menjamur di tengah-tengah masyarakat Aceh, apalagi menjelang pemilu seperti saat ini, juga menjelang kampanye politik.
Nanti hal itu, tambah Zikrayanti, menjadi bahasan berantai, pelabelan dan klaim-klaim tak mendasar. Misal, “Itu Yahudi, kafir, PKI.” Namun, kelompok atau orang yang menyebarkan itu tidak mengecek fakta yang sebenarnya.
“Karena kenapa, sudah lazim dan terbiasa. Sudah merasa paling benar,” timpalnya.
Lebih lanjut, Zikrayanti menyebutkan, bila dilihat, “mohon maaf”, penyebaran hoaks yang paling rentan terjadi di kelompok masyarakat yang dianggap pendidikannya masih rendah. Kemampuan berpikirnya masih rendah.
“Ta tanda mantong, meunyoe tanyoe carong han teupajoh hoaks nyan. Meunyoe tanyoe bangai teupajoh (bila kita cerdik tak termakan hoaks. Bila kita bodoh termakan),” jelasnya.
Makanya, jelas Zikrayanti, buzzer dan black campaign dipelihara. Karena pihak-pihak yang punya kepentingan sudah paham dan tahu betul dengan psikologi masyarakat Aceh.
“Masyarakat mana yang bisa disusupi. Kalau Aceh, ya tinggal mainkan saja isu agama,” ungkapnya.
Black Campaign yang Terus dirawat
Pihak yang punya kepentingan, kata Zikrayanti lagi, tentu paham dengan apa yang mudah diterima oleh masyarakat Aceh. Mereka pasti punya banyak bahan atau isi-isi black campaign yang berkaitan dengan agama.
“Tinggal datangkan saja tokoh yang nampak agamis, selesai. Balek-balek com jaroe (cium tangan bolak-balik),” ucap Zikrayanti.
Selain itu, Zikrayanti menerangkan, orang Aceh terlalu mudah melabelkan orang lain yang berseberangan pendapat dengannya. “Pihak pencipta black campaign bisa membaca ini,” ulasnya.
Zikrayanti menjelaskan, hal itu bisa terjadi di Aceh dari tahun ke tahun karena kurangnya pengetahuan masyarakat, fanatisme berlebih, bahkan ikut dengan kondisi sosial atau kebiasaan masyarakat hari ini.
Ia menilai, masalah ini muncul pascakonflik dan pascatsunami Aceh. Kondisi ini, tampak begitu nyata. Bila dalam era konflik hal ini tak dapat diukur atau ditara. Sebab, dulu orang Aceh adalah bangsa yang saling menghargai.
“Bertutur lembut, yang lebih tua dihormati. Pun, teungku-teungku tidak pernah mencibir gadis-gadis remaja yang agak lasak. Jaman sekarang kondisinya berbeda, jauh berubah,” pungkasnya.
Berubahnya kondisi Sosial Pasca Konflik dan Tsunami
Pasca konflik dan tsunami, sebut Zikrayanti, kondisi sosial masyarakat Aceh jauh berubah. Orang Aceh sadar atau tidak sadar merasa diri seperti Tuhan. Hal itu muncul, mungkin penyebabnya kondisi-kondisi sosial atau pengaruh-pengaruh yang kini didapat.
“Hari ini, mengaji dan mendengar ceramah sangat gampang, bisa di gawai, tapi tidak ada yang benar-benar dipelajari. Penceramahnya sanad ilmunya bagaimana, bagaimana latar belakangnya,” terangnya.
Hari ini, sambungnya lagi, “maaf”, ulama pun hari ini apakah berpijak pada kondisi betul-betul dia seorang ulama. Ulama pun mulai berpolitik. Tidak masalah sebenarnya.
“Satu sisi teungku-teungku tidak tahu juga bila mereka dimanfaatkan. Maka saya selalu katakan kalau ulama posisi mesti sebagai ulama (penyejuk, penenang dan penengah).
Namun begitu, tambah Zikrayanti lagi, hari ini kondisi itu hilang, ulama seakan hanya menjadi sebagai simbol. Jadi, jangan heran, banyak ulama yang jadi caleg (calon anggota legislatif). Sebab, hal itu mudah disusupi.
“Mereka (pihak berkepentingan) bisa melihat itu. Bukan maksudnya ulama tak boleh berpolitik. Itu semua pulang ke masing-masing pribadi,” celetuknya.[]
Penulis: Adam Zainal
Editor: Thayeb Loh Angen.
Betoii …