BerandaOpiniAceh, Berguru pada Ali Hasjmy

Aceh, Berguru pada Ali Hasjmy

Populer

Oleh: Nab Bahany As*

Dalam sebuah tulisan kolom Fachry Ali di majalah Tempo, 20 Desember 1986, dengan judul “Aceh Seusai Perang”. Fachry menulis kelemahan Aceh terbesar seusai perang (DI/TII) saat itu bukan terletak pada kon­disi fisiknya, melainkan pada ketiadaan seniman dan budayawannya. Kalau ketiadaan Rendra atau kepergian Umar Kayam, YB. Mangunwijaya, Dikhartoko, Kuntowidjoyo, atau bahkan Emha Ainun Nadjib dalam masyarakat Jawa, menurut Fachry, mereka tak perlu harus menangis terlalu lama. Karena dalam waktu bersamaan dalam masyarakat itu akan muncul budayawan-budayawan atau seniman yang sekaliber itu. Bicara Ali Hasjmy.

Demikian pula dalam masyarakat Minang, mereka tak perlu bersedih terlalu lama dengan kematian penyair Chairil Anwar, Marah Roesli, atau kepergian Sutan Takdir Alisjahbana, atau juga ketiadaan  AA Navis.  Karena di belakang itu akan segera muncul generasi budayawan atau seniman lain sehebat mereka.

Namun, kalau Aceh, kehilangan A. Hasjmy, ketiadaan Zakaria M Pase,  kepergian T.A. Talsya dan Agani Mutyara, serta HM. Zainuddin, hampir tak ditemukan budayawan atau seniman yang tekun sekaliber itu. Sehingga Aceh harus meratap demikian lama menanti munculnya budayawan-budayawan yang memiliki repu­tasi sehebat mereka.

Kalaupun belakangan muncul satu-dua seniman atau budayawan di Aceh—meskipun tak sehebat Hasjmy dan rekan-rekan seangkatannya—itu lebih disebabkan oleh ketidaksabaran Aceh menghamilkan zaman­nya, untuk melahirkan  budayawan-budayawan yang “berseberangan dengan tradisi pemikiran budaya partisan”  yang digeluti oleh banyak seniman Aceh sekarang ini.

Maka boleh jadi, kelema­han Aceh seusai perang (pasca MoU Helsinki) saat ini bukan lagi terletak  pada ketiadaan intelektual adademisi, atau kaum politisinya. Melainkan kelemahan terbesar Aceh sekarang adalah pada ke­tiadaan pemikir-pemikir  kebudayaan secara kritis. Ketiadaan pemikir-pemikir budaya inilah yang menjadi persoalan dalam membangun masa depan kebudayaan dan peradaban Aceh masa sekarang dan yang akan datang.

Ali Hasjmy, dalam kapasitasnya sebagai budayawan telah banyak  menjawab tantangan dalam menyelamatkan nilai-nilai kebudayaan Aceh. Apa yang dipikirkan A. Hasjmy semasa hidupnya, diakui atau tidak, telah menjadi landasan  kerangka berfikir kita terhadap pengembangan kebudayaan Aceh khususnya, dan  kebudayaan bangsa secara nasional.

Berdirinya Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) tahun 1986 di Aceh, adalah bentuk perlawanan cultural Ali Hasjmy terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, yang menyeragamkan Pemerintahan Desa seluruh Indonesia. Dengan Undang-Undang itu secara tidak langsung telah mengakibatkan hilangnya hak “Keistimewaan” yang diberikan negara kepada daerah Aceh di bidang adat, pendidikan dan agama tidak lagi efaktif untuk dijalankan.

Dengan Undang-Undang  Nomor 5 Tahun 1979 itu telah mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dan kultur masyarakat Aceh, terutama dalam pengembangan nilai adat dan budaya masyarakat. Yaitu dengan berubahnya nomenklatur Gampong menjadi desa, Keuchik menjadi Kepada Desa, peran Mukim dan Tuha Peut dihilangkan dan diganti dengan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD).

Untuk menjawab tantangan itu, yakni bagaimana menyelamatkan lembaga-lembaga adat dan nilai-nilai kebudayaan Aceh untuk tetap hidup lestari dalam masyarakat. Ali Hasjmy  mendirikan Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA). Itu sebabnya, mengapa  LAKA hadir di Aceh.  Sekarang berubah menjadi Majelis Adat Aceh (MAA), yang konon satu-satunya wilayah yang memiliki lembaga pengembangan dan pembinaan adat-istiadat masyarakat lokal dalam struktur Pemerintah Daerah hanya ada di Aceh.

Kebudayawanan yang melekat pada A. Hasjmy  bukan hanya milik masyarakat Aceh,  melainkan juga milik masyarakat-bangsa Indonesia dan bahkan  milik masyarakat Asia Tenggara. Karena pengaruh pemikiran Ali Hasjmy terutama dalam hal sejarah dan kebudayaan Melayu bukan hanya di Indonesia, tapi melampaui negara-negara di kawasan ASEAN.

Mungkin tidak ada tokoh budaya dan ilmuan (budayawan) di Asia Tenggara yang tidak mengenal Prof. Ali Hasjmy.  Dia termasuk budayawan yang mampu mempertautkan hubungan kebudayaan Aceh-Melayu dengan kebudayaan-kebudayaan Melayu lainnya di seluruh wilayah nusantara, sebagaimana terungkap dalam bukunya Jembatan Selat Malaka (1997).

Dalam konteks Aceh,  A. Hasjmy adalah tokoh budaya yang telah berhasil mempertemukan nilai-nilai kebudayaan Aceh dengan nilai-nilai Islam. Yang kemudian dasar pemikirannya menjadi rujukan dan tela’ahan dalam setiap kita membicarakan bagaimana nilai-nilai kebudayaan Aceh berkolaborasi dengan unsur-unsur Islam. Baik dalam bentuk seni budayanya, adat istiadatnya, maupun dalam bentuk-bentuk aktifitas sosial lainya. Oleh sebab itu, ketika orang makin mendalami falsafah kebudayaan Aceh, mereka akan cenderung  mengatakan:  bicara kebudayaan Aceh sebenarnya kita berbicara kebudayaan Islam.

Lalu bagaimana kapasitas A. Hasjmy sebagai  ulama atau agamawan? Ditilik dari latar pendidikannya sebagai alumni Dayah Montasik dan Dayah Keunalou Seulimum, dan alumni Tsanawiyah Madrasah Thawalib Padang Panjang (Wildan, 2011), saya tidak ragu mengatakan Prof. Ali Hasjmy adalah seorang ulama besar dan agamawan paling perpengaruh pada zamannya. Keulamaan Hasjmy tidak hanya karena  sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Aceh selama beberapa periode. Namun, keulamaan itu dikuatkan dalam bebagai pemikirannya melalui buku-buku keagamaan yang dihasilkannya.

Lebih dari separuh buku yang ditulis A. Hasjmy—sebanyak lebih kurang 80 judul—adalah membahas masalah keagamaan yang berkaitan dengan persoalan sosial umat. Nuasa keulamaan Hasjmy juga ditemukan dalam novel-novel karyanya.  Novel Suara Azan dan Lonceng Gereja (1940). Dalam novel itu Hasjmy jelas berdakwah untuk  membuat orang  tertarik  pada agama Islam. Sehingga tokoh yang bernama Ramayati yang berlainan agama (Kristiani) dengan Amiruddin yang beragama Islam dalam novel itu, telah membuat Ramayati menjadi tertarik pada cara berfikir Islami yang ada pada Amiruddin.

Sehingga di  akhir cerita novel Suara Azan dan Lonceng Gereja itu, ketika Ramayati jatuh sakit yang bertepatan pada perayaan Natal, Amiruddin datang ke rumah sakit menjenguknya. Saat itulah Ramayati mengikrarkan dirinya pada Amiruddin bahwa dia telah meninggalkan agama Nasrani dan memeluk agama Islam sebagai agama yang benar.

Begitulah cara Hasjmy menyampaikan dakwah Islam melalui karya-karya sastra yang dihasilkannya. Apakah cara berdakwah seperti itu tidak bisa digolongkan sebagai dakwah seorang ulama. Saya kira keulamaan yang melekat pada Ali Hasjmy hampir tak jauh beda dengan keulamaan dan yang ada pada diri HAMKA. Yang membedakan mungkin kalau HAMKA memiliki karya tafsir lengkap dan serial  sejarah Islam, Ali Hasjmy tidak memformatkan karya-karyanya itu dalam bentuk serial tersebut. Terutama dalam menulis sejarah Islam.

Namun, apa yang kita dapati dalam serial buku sejarah  Islam yang ditulis Hamka juga kita dapati dalam karya-karya Ali Hasjmy. Seperti dalam buku Sejarah dan Tamaddun Islam (1969), Kerajaan Saudi Arabia (1957) dan Sejarah Kebudayaan Islam (lima kali cetak ulang—terakhir 1993). Buku-buku ini mereferensikan bahwa penguasaan sejarah Islam yang dimiliki A. Hasjmy tidak jauh mengurangi apa yang dipikirkan oleh HAMKA.

Di sisi lain,  yang membedakan Prof. A. Hasjmy dengan Prof. HAMKA, mekipun keduanya sama-sama tokoh nasional, baik keulamaannya, keagamawanannya, kesejarawanannya, dan bahkan kebudayawanannya, A. Hasjmy lebih memilih daerah kelahirannya (Aceh) sebagai tempat tinggal dalam mendistribusikan pemikiran-pemikirannya untuk kepentingan bangsa dan negara. Mungkin  satu-stunya tokoh bangsa secara nasional yang rela tinggal di daerah adalah sosok Ali Hasjmy. Jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh panutan nasional lainnya,  mereka lebih memilih hijrah meninggalkan daerah kelahiran dan menetap di Jakarta.

Dalam hemat saya, Hasjmy adalah manusia yang sangat multi demensi yang dititipkan Tuhan dalam masyarakat Aceh, baik  sebagai budayawan, agamawan, maupun sebagai politikus dan negarawan. Saking multidemensinya keilmuan yang melekat dalam diri Ali Hasjmy, sulit rasanya kita menentukan dirinya sebagai ahli dalam bidang tertentu.  Kalau dia disebut sebagai budayawan tidak kalah menonjolnya sebagai seorang ulama. Mau digolongkan sebagai sastrawan, dari segi politik dia juga sebagai negarawan. Begitu juga apabila A. Hasjmy kita posisikan sebagai sejarawan, juga tidak mengalahkan reputasinya sebagai seorang penyair dan seniman besar pada zamannya.

Dalam “Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia: A. Hasjmy Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan” (1994). Bila kita membaca buku itu, hampir tak ada lagi ruang atau celah yang tersisa bagi kita untuk memberikan penilaian kereputasiannya bagi sosok budayawan A. Hasjmy. Karena dalam buku itu lebih dari 60 tokoh bangsa telah memberikan penilaian dari berbagai sudut pandang terhadap ketokohan Prof. Ali Hasjmy.

Jadi, kalau pun saya menulis tentang sosok A. Hasjmy sebagai budayawan atau agamawan, saya hanya memungut dari apa yang tercecer  dalam penilaiaan 60 tokoh bangsa terhadap ketokohan Prof. Ali  Hasjmy sebagai asset bagi sejarah Aceh masa kini dan masa depan.[]

*Budayawan, tinggal di Banda Aceh.

Baca Juga: http://portalsatu.com/news/2021/01/sultan-pun-datang-menjelma/

Baca Juga: https://thayeblohangen.wordpress.com/

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita terkait

Berita lainya