Oleh: Muhamamd Syahrial Razali Ibrahim*
Salah satu event besar yang diselenggarakan oleh mayoritas umat Islam setiap tahunnya adalah pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad Saw. Acara ini dilakukan sebagai bentuk syukur dan wujud cinta mereka atas kelahiran Rasulullah Saw yang diyakini sebagai titik awal bangkitnya peradaban manusia dalam makna yang hakiki. Namun sangat disayangkan jika tradisi ini masih menuai kontroversi dan kritikan di tubuh umat Islam sendiri. Oleh sebagian kalangan, merayakan hari lahir dianggap sebagai suatu yang bukan dari Islam. Meskipun di sana ada hadis tentang puasa hari Senin, yang saat ditanya mengapa nabi berpuasa pada hari itu, beliau menjawab “Itu adalah hari aku dilahirkan”. Hadis ini dianggap tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar perayaan hari lahir. Kemudian mengapa bukan hari beliau diangkat menjadi utusan Allah (Rasulullah) yang dibesarkan. Bukankah hari pengangkatan sebagai Rasulullah lebih utama dirayakan dari sekadar hari lahir sebagai seorang Muhammad bin Abdullah. Bukankah inti dari kelahiran Nabi Muhammad Saw ada pada statusnya sebagai utusan Allah SWT.
Di antara anekdot yang sering disampaikan oleh sebagian penceramah terkait perayaan Maulid Nabi Saw adalah soal Abu Lahab yang merayakan kelahiran Nabi Muhammad. Mereka mengatakan, “Abu Lahab saja bersuka cita saat mengetahui lahirnya Nabi Muhammad Saw”. Pernyataan ini sejatinya tidak lebih dari sebuah kecerobohan dan kekeliruan yang terpelihara dalam masyarakat. Sesungguhnya Abu Lahab tidak pernah senang dengan lahirnya seorang nabi atau rasul Allah. Buktinya, Nabi Muhammad nanti menjadi musuh dan diperangi oleh Abu Lahab. Jadi, yang dulu digembirai dan dirayakan oleh Abu Lahab adalah lahirnya seorang anak laki-laki yang akan meneruskan legasi Bani Hasyim, bukan kelahiran calon nabi.
Antara Peringatan dan Perayaan
Ada dua ungkapan yang lazim digunakan oleh umat Islam terkait dengan tradisi Maulid Nabi Saw, yaitu peringatan dan perayaan. Sebagian orang menganggap dua kata ini hanya sebatas perbedaan ucapan, maksudnya sama. Padahal hakikatnya dua kata ini punya makna yang berbeda dan menjadi titik tolak persamaan sekaligus perbedaan persepsi antara umat Islam terhadap Maulid Nabi Saw. Ulama menyepakati bahwa peringatan adalah suatu hal yang baik bahkan dianjurkan. Bahkan al-Quran sendiri dikenal sebagai pengingat. Dalam sebuah ayat Allah berfirman, “Dan berilah peringatan, karena peringatan itu akan bermanfaat buat orang mukmin”, (Adzariyat: 55). Manusia adalah makhluk pelupa yang senantiasa harus diingatkan agar tidak tergelincir dari kebenaran dan jalan Tuhan.
Nabi sendiri sering mengingatkan para sahabatnya dengan mengacu pada munasabah atau momen-momen tertentu, seperti peristiwa alam dan lain-lain. Karena itu, hari atau bulan kelahiran nabi pantas dijadikan sebagai landasan mengigatkan umat ini dengan nabinya Muhammad Saw. Apalagi zaman sekarang, di mana banyak umat Islam sudah begitu jauh dari ajaran nabi, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang jahil dengan sirah hidup nabi. Mereka membesarkan hari lahirnya, tapi abai terhadap sunah dan ajarannya. Di sinilah letak perbedaan antara peringatan dan perayaan, di mana yang satu fokus pada substansi, sementara satunya lagi lebih bersifat seremoni.
Secara garis besar, peringatan Hari Lahir Nabi merupakan satu momen untuk mengingatkan kaum muslimin terhadap nabinya, yang mencakup sejarah hidup, akhlaknya, ajarannya hingga pengorbanannya dalam menyampaikan risalah Islam. Hal ini sangat kontras dengan perayaan yang menitikberatkan pada hal-hal yang tidak prinsip (seremonial). Sehingga perayaan tersebut kerap mengundang dan mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai dan akhlak kenabian (baca: Islam). Karenanya tak usah heran jika sejumlah ulama membid’ahkan perbuatan tersebut. Mereka tidak membid’ahkan kecintaan orang kepada Nabi Saw, tetapi bungkusan cintanya yang dipersoalkan.
Namun sangat disayangkan jika banyak umat Islam tidak mengetahui kenyataan ini dengan baik. Sehingga bagi yang suka membid’ahkan ia akan mencela dan menyamaratakan semua kegiatan maulid, tanpa peduli pada isi dan bungkusnya. Begitu juga dengan sebagian orang yang fanatik maulid, ia akan membela habis-habisan tanpa mau tahu apa yang menjadi akar masalah pada perayaan maulid sehingga dianggap bid’ah oleh ulama lainnya.
Antara Rasional dan Emosional
Praktik beragama jika hanya mengandalkan dalil semata tanpa melibatkan kepekaan sosial biasanya akan berujung pada konflik di tengah-tengah masyarakat. Mengajak orang lain untuk berbuat baik haruslah dengan cara-cara yang baik dan bersahaja, yang dalam bahasa al-Quran disebut dengan hikmah atau bijaksana. Apalagi teks agama itu sendiri tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan konteks tempat di mana ia diturunkan dan dilahirkan. Bahkan dalam kasus tertentu teks itu lahir atau turun justru didahului oleh konteks sosial, yang dalam literatur agama dikenal dengan sabanun nuzul untuk teks al-Quran dan sababul wurud untuk hadis. Kemampuan memahami teks dan konteks, baik dulu maupun kini (kontekstualisasi) akan sangat dipengaruhi oleh kedewasaan seseorang dalam menyikapi berbagai fenomena sosial dan kearifan lokal yang tidak bisa begitu saja bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
Namun di sisi lain, juga tidak pantas jika beragama hanya berkutat pada perasaan atau mengandalkan kebiasaan masyarakat tanpa melibatkan dalil-dalil yang logis. Seseorang saat akan melakukan sesuatu dan mengatasnamakan agama maka ia harus merujuk kepada dalil-dalil agama atau kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh para ulama dalam Islam. Jangan hanya karena merasa cinta kepada nabi, lalu seseorang bebas melakukan apa saja untuk melampiaskan hasrat ‘cintanya’. Cinta nabi tidak lain adalah mencintai Allah Swt, atau dalam bahasa lain dikenal dengan cinta agama. Mencintai agama tidak cukup hanya mengandalkan emosi atau perasaan semata, tapi perlu kepada cara-cara yang rasional bagaimana cinta itu diungkapkan dan diimplementasikan.
Kecerdasan rasional dan kematangan emosional harus berjalan secara beriring, seimbang dan proporsional. Jika tidak, saling tuduh dan menyalahkan akan terus terjadi dalam masyarakat. Kelompok yang hanya mengandalkan rasional akan menyalahkan orang-orang yang mendewakan emosi, begitu juga sebaliknya. Kondisi ini pada akhirnya akan berujung pada pembelaan kelompok, dan beragama hanya untuk menegaskan identitas masing-masing kelompok ke publik. Jika diilustrasikan dalam contoh sosial hari ini, kelompok A misalnya setuju dengan maulid, sementara kelompok B menolak. Maka kelompok A akan mempertahankan maulid dan terus merayakannya dengan alasan, jika tidak ia akan dianggap sebagai bagian dari anggota kelompok B. Padahal disadari betul bahwa “menurut mereka” merayakannya bukan perbuatan wajib. Begitu juga dengan kelompok B, yang namanya maulid akan ditolak, bahkan alergi dengan kata-kata maulid, hal itu dilakukan agar tidak dicap sebagai bagian dari kelompok A.
Meneladani Akhlak Nabi
Apapun pandangan dan penjelasan kita tentang maulid nabi, satu hal yang sangat substansi saat berbicara dan menyinggung kenabian Muhammad Saw adalah meneladani akhlaknya serta meneruskan perjuangannya. Dan di antara akhlak utama Rasulullah Saw adalah cintanya kepada umat. Kasih sayang nabi kepada umatnya tidak terbatas pada yang beriman (muslim) saja, tetapi juga yang mengingkari risalah dan kenabiannya (kafir). Nabi tidak hanya menyanyagi yang beriman dan beramal saleh dari umat ini, tetapi juga mereka-mereka yang jahat dan para pendosa. Sehingga dalam satu hadis beliau menyebutkan dirinya sebagai “Rahmah yang memberi petunjuk”. Hal ini dikuatkan oleh Allah dalam sebuah firman-Nya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”, (al-Anbiya: 107).
Jika kita adalah seorang muslim yang “mengaku” cinta kepada nabi, terlepas dari kelompok mana kita berasal, pro atau kontra maulid, harusnya akhlak yang paling menonjol pada diri kita adalah sikap toleransi dan saling memaafkan. Namun kenyataan di lapangan tidak demikian, dua kelompok yang sama-sama punya klaim cinta nabi tapi saling berseteru dan asik menyalahkan. Tindakan ini pada akhirnya melahirkan kedengkian dan kebencian yang mendalam antara sesama muslim. Padahal ciri orang beriman adalah saling mengasihi di antara mereka. Allah berfirman, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”, (al-Fath: 29).
Saling mengolok antara satu kelompok dengan kelompok lainnya menjadi pemanis obrolan atau penyemangat saat seorang ustaz menyampaikan materi khutbah atau ceramahnya. Padahal dalam al-Quran Allah mengingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sebagian kalian merendahkan sebagian yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan janganlah suka mencela di antara kalian serta memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman”, (al-Hujurat: 11).
Merasa bersih (suci) dan selalu benar adalah perangai buruk yang pertama sekali ditunjukkan oleh iblis setelah pembangkangannya atas perintah Allah SWT sujud kepada Adam As. Sikap inilah yang kerap memengaruhi seseorang atau kelompok tertentu saat dihadapkan pada orang lain atau kelompok yang berbeda denganya, sehingga memunculkan antipati dan kebencian. Harusnya umat ini saling mengingatkan dan menasihati dengan cara yang bijak dan menyejukkan hati jika merasa ada yang keliru pada saudaranya.
Bersabar atas kesalahan orang lain dan selalu berbaik sangka kepada mereka telah membuat orang-orang yang sebelumnya benci dan memerangi Nabi Muhammad akhirnya menjadi muslim yang taat dan tangguh dalam memperjuangkan Islam. Akhlak menyayangi orang lain, berbaik sangka kepada orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya menjadi salah satu rahasia berkahnya dakwah Rasulullah Saw. Inilah yang menyebabkan Islam diterima oleh berbagai bangsa di dunia ini dan benar-benar menjadi rahmat untuk semua.
Sebagai penutup perhatikan firman Allah berikut ini, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu, (Ali ‘Imran: 159). Setiap muslim adalah duta-duta Islam yang harus memiliki sifat-sifat seperti pada ayat di atas, yaitu penyayang, lemah lembut dan pemaaf, sehingga Islam menjadi daya tarik bagi siapapun. Jika sifat-sifat ini harus ditunjukkan pada masyarakat di luar Islam, tentu lebih utama lagi memprioritaskannya untuk orang-orang dalam Islam. Wallahua’lam.[]
* Muhammad Syahrial Razali Ibrahim adalah Dosen dan Dekan Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe, dan salah seorang Pimpinan Dayah Ma’had Ta’limul Qur’an (Mataqu) Ustman Bin Affan Lhokseumawe. Ia juga dikenal sebagai Teungku Balee di Lhokseumawe.