Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim*
Saat ini dan beberapa hari belakangan jamaah haji dari seluruh dunia mulai meninggalkan tanah suci Mekkah setelah sekian lama menjalani rangkaian kegiatan ibadah haji dan umrah. Kepulangan dari wisata religi ini tentunya membawa harapan spritual tersendiri bagi setiap jamaah. Berharap agar ibadah hajinya diterima Allah merupakan dambaan semua mereka. Karena memang pada kenyataannya tidak semua kebaikan yang dikerjakan makbul di sisi Allah. Bagi yang terpenuhi semua syarat rukunnya akan diterima, buat yang tidak tunggu dulu, Anda belum beruntung. Kondisi ini berlaku untuk semua amal kebaikan, tak terkecuali haji. Sehingga ada ungkapan berbunyi, “ar-rakbu katsiir wal hajju qaliil”. Artinya, sungguh ramai orang berhaji, tapi yang benar-benar berhaji—sehingga pantas diterima—sangatlah sedikit.
Ibadah haji yang sempurna dan diterima Allah dalam bahasa agama dikenal dengan sebutan “haji mabrur”. Mabrur merupakan nama objek (isim maf’ul) dari kata birrun (al-birru). Birrun adalah kata yang merepresentasikan semua sifat baik (kalimah jami’ah likulli sifat al-khair), seperti takwa, taat, jujur dan sejenisnya. Orang Arab biasa mengucapkan, barra al-bai’ jika sebuah transaksi jual beli bersih dari praktik tipu-tipu, atau barra fi yaminihi apabila seseorang menunaikan sumpahnya. Dari kata ini muncul istilah birrul walidaini yang bermakna bakti kepada kedua orang tua. Untuk orang yang hajinya makbul atau mabrur diungkapkan dengan kata-kata “barra hajjuhu”.
Istilah haji mabrur tidak ditemukan dalam Alquran, namun disebutkan oleh Nabi dalam beberapa sabdanya. Dalam sebuah hadis nabi berkata, “antara satu umrah dengan umrah lainnya menjadi pengampun antara keduanya, dan tidak ada balasan atas haji mabrur kecuali surga” (HR: Bukhari Muslim). Suatu hari Aisyah berbicara dengan Nabi dan bertanya kepadanya, “Kami memandang jihad itu sebaik-baik amal, lalu mengapa kami tidak berjihad saja wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Tidak, sebaik-baik jihad adalah haji mabrur” (HR: Bukhari). Di hadis yang lain nabi ditanya tentang apa itu haji mabrur. Beliau menjawab, “Memberikan makan dan menebarkan salam” (HR: Ahmad).
Haji Mabrur Perspektif Alquran
Para ulama memaknai haji mabrur berdasarkan hadis Nabi di atas dengan ragam makna. Di antaranya kata mereka, haji mabrur adalah haji yang tidak bercampur sedikitpun dengan dosa. Sebagian lainnya mengatakan haji mabrur adalah haji yang diterima Allah. Tanda haji seseorang diterima bisa dilihat dari konsistensi orang tersebut dalam kebaikan dan menjauh dari bermaksiat kepada Allah. Sehingga ada yang mengatakan haji mabrur adalah haji yang dikerjakan secara tulus dan ikhlas semata-mata karena Allah Swt. Keikhlasan itulah yang membuat seseorang mampu tegak lurus di atas agama ini. Imam al-Qurtubi menjelaskan bahwa haji mabrur adalah haji yang dikerjakan secara sempurna sesuai dengan hukum-hukum atau aturan yang berlaku sehingga diterima Allah Swt. Karena itu dalam ibadah berlaku dua aturan utama yang harus dipenuhi, ikhlas karena Allah, dan mengikuti sunah Rasulullah.
Penjelasan al-Qurtubi merupakan bagian dari penafsiran firman Allah, “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah” (al-Baqarah: 196). Seseorang tidak akan mampu menyempurnakan ibadah haji tanpa mengetahui cara dan hukum-hukumnya (ilmu manasik) yang bersumberkan dari perjalanan haji Rasulullah Saw. Saat mengerjakan haji wada’, Nabi berseru, “Hendaknya kalian mempelajari manasik haji dariku, sungguh aku tidak tahu, karena bisa jadi aku tak lagi berhaji setelah hajiku ini” (HR: Muslim). Tentunya Nabi tidak hanya mengajarkan gerakan lahir dalam beribadah, tetapi juga menekankan pentingnya berhati ikhlas dengan niat yang tulus. Rasulullah pernah berpesan kepada Mu’az, “Ikhlaskan agamamu, maka amal sedikit akan cukup untukmu” (HR: Baihaqqi).
Ikhlas adalah mesin penggerak yang membuat ibadah seseorang berkualitas dan menghasilkan dampak positif dalam kehidupan sehari-hari. Itulah mengapa di ayat lain Allah menegaskan, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (Ali ‘Imran: 97). Kewajiban manusia kepada Allah yang disebutkan pada ayat ini memberi pesan kemutlakan ikhlas dalam beramal. Allah tidak akan menerima ibadah yang disertai syirik dan tidak tulus untuk-Nya, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya (mengingingkan balasan dari-Nya), maka hendaklah ia mengerjakan amal salih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (al-Kahfi: 110). Imam Sa’di dalam tafsirnya mengatakan hanya orang-orang ikhlas dan konsisten mengikuti sunah Rasulullah dalam beramal yang akan mendapatkan balasan dari Allah Swt.
Ayat di atas juga menjelaskan tentang makna ikhlas, yaitu mengharapkan balasan dari Allah Swt setiap kali beramal, tidak pernah terbetik di hatinya sedikitpun agar dibalas oleh manusia, seperti mendapat pujian, ucapan terima kasih, dan lain-lain. Makna ini digambarkan dalam cerita Alquran tentang orang dermawan. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu (orang-orang miskin) semata-mata untuk mengharapkan wajah (balasan) Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih” (al-Insan: 9). Ibnu Katsir berkata, “wajah Allah” adalah pahala dan rida Allah. Mereka adalah orang-orang yang hanya mengharapkan balasan dan rida Allah, tidak lain-lainnya.
Berharap balasan Allah inilah yang menyebabkan seseorang bisa konsisten (istikamah) dalam menjalan kebaikan. Bagi mereka agama ini bukan sebatas ritual formal yang dikerjakan pada waktu atau tempat tertentu. Sehingga bila berada di luar waktu atau tempat tersebut agamapun sirna dari mereka. Manusia ikhlas adalah orang-orang yang hidup dengan agama, dan agama hidup pada mereka, di manapun dan kapanpun. Spiritnya sederhana, yaitu selalu berharap balasan Allah Swt pada setiap kebaikan yang dikerjakan. Bukankah pada dasarnya semua orang hidup dengan sejumlah harapan yang setiap hari ia cita-citakan. Bukankah hanya orang yang memiliki harapan hidup yang akan bertahan hidup, dan hilang harapan (pesimis) adalah kematian yang mengerikan. Allah berfirman, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (Insyirah: 7 – 8).
Implementasi Haji Mabrur
Haji mabrur adalah haji yang dikerjakan secara sempurna lahir dan batin. Yaitu dengan mengedepankan keikhlasan dan mengharapkan balasan dari Allah Swt, sembari dikerjakan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Ikhlas menjadi modal utama bagi seseorang agar kebaikan hajinya tidak terhenti di tanah suci, tapi bersambung hingga ia kembali dan meninggalkan dunia ini. Karena sejatinya semua ibadah memuat pelajaran hidup dan dimensi sosial yang harus terjewantahkan dalam kehidupan sehari-hari, di luar ruang dan waktu ibadah formal. Inilah yang diisyaratkan oleh firman Allah, “Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku” (Az-Zariyat: 56).
Ikhlas pada akhirnya menjadi kata kunci agar kehidupan seseorang seluruhnya berfungsi menjadi ibadah. Di sinilah letak relevansi firman Allah, “Mereka tidak disuruh kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan kepada-Nya” (al-Bayyinah: 5). Kekuatan implementasi ada pada sejauh mana ia berharap balasan Allah Swt. Semakin kuat harapannya, maka akan semakin kuat dan konsisten pula dalam menebarkan kebaikan di luar ibadah. Inilah ciri ibadah yang diterima Allah Swt. Kebaikan yang dikerjakan akan menuntun dirinya mengerjakan kebaikan lainnya. Itulah mengapa selesai mengerjakan haji orang bersangkutan digelar “Pak Haji” atau “Ibu Hajjah”. Walaupun sudah tak lagi berada di tanah suci, spirit dan kebaikan haji diharapkan terus terpelihara dalam tingkah laku dan tindak tanduknya sehari-hari.
Jika merujuk Alquran, akan ditemukan sejumlah pelajaran penting yang hendaknya mengiringi kehidupan orang berhaji sebagai tanda ibadahnya diterima. Memiliki watak mujahid di antara pelajaran penting yang harus terimplementasi dalam keseharian Pak Haji dan Ibu Hajjah. Secara sederhana, mujahid bisa dimaknai sebagai pejuang atau pahlawan yang memiliki jiwa berkorban untuk orang lain. Memang haji bukan perang, tetapi Nabi mengasumsikannya sebagai jihad terbaik. Orang yang berhaji belajar mengorbankan banyak hal, mirip dengan perang atau jihad, mulai dari waktu, tenaga, harta benda hingga harus meninggalkan keluarga dan kampung halamannya. Inilah barangkali mengapa dalam Alquran ayat-ayat tentang ibadah haji disajikan berdampingan dengan ayat-ayat perintah perang, baik dalam surah al-Baqarah maupun dalam surah al-Haj.
Ada satu hal yang menyebabkan haji pantas disandingkan dengan jihad (perang fi sabilillah), yaitu perjuangan melawan logika yang tidak lebih mudah dibandingkan melawan fisik manusia di medan perang. Orang mudah mengerti mengapa harus berperang melawan musuh. Tapi banyak orang susah memahami mengapa tawaf itu harus tujuh kali keliling, begitu juga dengan sa’i antara Safa dan Marwa. Sama halnya dengan wuquf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina sampai tiga malam berturut-turut yang siang harinya diisi dengan kegiatan melempar jumrah adalah hal-hal pelik yang sulit ditembus logika. Tapi itulah iman, sesuatu yang secara kasat mata tidak logis menjadi sangat rasional dan menyenangkan untuk dikerjakan. Spirit inilah yang hendaknya hadir dalam keseharian orang berhaji, sedia berkorban untuk agama ini, baik dalam hal-hal yang bersifat rasional maupun irasional.
Pelajaran lain yang tak kalah pentingnya adalah bersikap welas asih antara sesama sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah, “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji” (al-Baqarah: 197). Sayyid Tantawi menjelaskan bahwa ayat ini melarang orang berhaji melakukan hal-hal di luar adab islami dan senatiasa menjaga keharmonisan antara sesama jamaah. Haji adalah momen di mana orang-orang berkumpul menyahuti jamuan Allah Swt, maka sudah selayaknya mereka bersama-sama dalam ketaatan, saling tolong menolong dalam kebaikan serta menjauh dari perbuatan dosa dan permusuhan. Nabi bersabda, “Siapa yang berhaji, sementara dia tidak melakukan rafats juga jauh dari sikap fasik maka akan diampuni dosanya seperti hari dilahirkan ibunya” (HR: Bukhari dan Muslim).
Sikap saling tolong menolong dalam kebaikan serta jauh dari sifat bermusuhan ditunjukkan oleh hadis Nabi lainnya tentang makna haji mabrur, yaitu “Memberi makan dan menyebarkan salam” (HR: Ahmad). Tanda dekatnya seseorang dengan Allah adalah memiliki hubungan baik dengan makhluk-Nya di bumi, menolong saat saudaranya membutuhkan dan selalu membawa kedamaian di manapun ia berada. Nabi bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya” (HR: Bukhari). Sifat inilah yang mestinya hadir dalam diri orang-orang yang sudah berhaji, manifestasi dari Islam sebagai agama rahmah bagi seluruh umat manusia. Wallahua’lam.
* Penulis adalah Dosen dan Dekan Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe, dan salah seorang Pimpinan Dayah Ma’had Ta’limul Qur’an (Mataqu) Ustman Bin Affan Lhokseumawe. Ia juga dikenal sebagai Teungku Balee di Lhokseumawe.