Minggu, September 8, 2024

Panwaslih Aceh Paparkan Hasil...

LHOKSEUMAWE - Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih/Bawaslu) Provinsi Aceh menggelar sosialisasi hasil pengawasan dan...

Pemkab Agara: Masyarakat Bisa...

KUTACANE - Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara menyatakan masyarakat bisa menonton pertandingan cabang olahraga...

Ulama Aceh Tu Sop...

JAKARTA – Inna lillahi wa innailaihi rajiun. Aceh berduka. Ulama kharismatik Aceh, Tgk....

Fraksi Megegoh Terbentuk Pada...

SUBULUSSALAM - Partai Aceh, Partai Nasdem, dan Partai Amanat Nasional (PAN) Kota Subulussalam hari ini...
BerandaOpiniKemiskinan dan Mitos...

Kemiskinan dan Mitos Pembangunan Aceh

Oleh: Akhsanul Khalis*

Informasi bertambahnya angka kemiskinan di Aceh berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan menempatkan Aceh pada ranking 10 besar provinsi termiskin di Indonesia mendapatkan sorotan dari berbagai elemen masyarakat. Masyarakat ramai mengkritik pemerintah Aceh telah gagal membawa sebagian rakyat Aceh keluar dari kemelut kemiskinan.

Bukan tanpa alasan, selama ini pembangunan Aceh paska konflik yang bersumber dari kucuran anggaran dana otonomi khusus dan hasil pendapatan daerah dengan jumlah yang fantastis. Justru yang terjadi sebaliknya, sebagian rakyat Aceh masih belum merasakan dampak benar pembangunan hingga masih hidup di dalam kemiskinan.

Berbicara kemiskinan di Aceh tidaklah merupakan isu terbaru melainkan permasalahan yang sudah lama dan dinilai sesuatu yang “klise”. Diibaratkan dalam ungkapan pepatah lama seperti menegakkan benang basah, artinya pembangunan dalam upaya memperbaiki nasib orang belum beruntung di Aceh tidak akan pernah tercapai dan terkesan sia-sia.

Kemiskinan di Aceh bukanlah sekedar hyperrealitas (dibesar-besarkan) dari efek perdebatan di dunia maya paska rilis data BPS. Jauh sebelum hasil rilis itu muncul ke publik. Kalau dilakukan penelitian lebih lanjut dengan cara terjun langsung ke masyarakat kawasan pesisir dan pedalaman pasti ditemukan berbagai persoalan kesenjangan sosial, masih ada sebagian masyarakat Aceh tidak mempunyai rumah yang layak huni dan banyak pemuda yang di usia produktif tidak mempunyai pekerjaan.

Mitos Pembangunan

Setiap bangsa memerlukan sebuah mitos untuk mewujudkan eksitensi masa depan. Sebelum Indonesia lahir, para tokoh pendiri bangsa memerlukan sebuah mitos kesatuan sebagai upaya menyatukan perbedaan masyarakat nusantara yang majemuk dengan menancapkan Bhineka Tunggal Ika sebagai motto negara, meskipun cita-cita kesatuan itu masih tidak sesuai ekspetasi pada ranah pelaksanaan.

Di sini yang dimaksud dengan mitos adalah sudut pandang (point of view) yang mendorong kita untuk bertindak dengan cara tertentu dan bisa mempengaruhi kebiasaan mental kolektif ( Yasraf A. Piliang, 2003). Pemicu pertama konflik Aceh karena adanya ‘mitos’ yang terbangun di dalam ingatan kolektif masyarakat yaitu keinginan untuk mengatur diri sendiri atau merdeka secara penuh dari NKRI. Mitos itulah yang akhirnya menemani gerakan bersenjata selama puluhan tahun yang banyak merenggut korban jiwa.

Setelah MoU Helsinski konflik pun usai, perdamaian menyelimuti Aceh.  Mitos sudah berubah dari konflik bersenjata kepada perjuangan “politik diplomasi”. Aceh mendapatkan tawaran baru menjadi daerah otonom dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA) sebagai rujukan dalam tata kelola pemerintahan. Intinya Aceh ingin terus berbeda dengan daerah lain di Indonesia.

Mitos sebagai daerah otonomi khusus menjadi daya tarik bagi rakyat Aceh, semua orang berdendang ria menyambut diberikan hak penuh untuk mengelola Aceh. Elit-elit politik baru yang bermunculan di Aceh tidak ketinggalan memainkan mitos status otonomi khusus, tak ubahnya anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Dalam waktu singkat semua lupa tentang mitos-mitos lama dalam dinamika politik paska konflik. Setiap pembicaraan di warung kopi semua orang membawa dalil UU PA sebagai penganti mitos lama.

Harapan rakyat Aceh sangat bergantung dengan mitos pembangunan berlandaskan UU PA dan dana Otonomi Khusus. Dinamika politik sudah berubah total, semua sudah pandai memerankan diri sebagai politikus ulung. Politik tidak sehitam putih ketika Aceh masih didera konflik bersenjata, proses dramaturgi politik berhasil dilakoni oleh elit-elit baru yang agak lebih mencair.

Elit politik Aceh pandai memainkan mitos-mitos politik di Aceh dengan cara paling sempurna. Melahirkan mitos memilih pemimpin asoe lhok (insider) yang bisa membawa kemajuan pembangunan untuk rakyat Aceh ke depan. Seluruh masyarakat Aceh bisa hilang kesadaran dalam jangka waktu sementara pada saat musim pilkada datang, semua orang berduyun-duyun pergi ke tempat pemilihan untuk menuntaskan libido (hasrat) politik karena berharap nasib kehidupan akan diselesaikan oleh mitos pemimpin asoe lhok, mitos otonomi khusus dan mitos UU PA.

Faktor Kemiskinan

Mitos pembangunan di Aceh dalam wujud kemandirian sejujurnya belum bisa menyelesaikan masalah kemiskinan di tengah rakyat Aceh. Rakyat Aceh sudah pernah bertahun-tahun mencoba mengunakan mitos yang paling radikal, dari mitos merdeka beralih ke otonomi khusus. Apakah mitos-mitos itu menjamin kesejahteraan? ‘Selama sesuatu belum dapat membuktikan ideal maka ia tetap tinggal sebagai mitos’ ( Yasraf A Piliang, hlm 140).

Selama kemiskinan muncul di tengah rakyat Aceh berarti pembangunan yang berladaskan UU PA belum bisa dikatakan ideal. Kemiskinan menjadi faktor utama yang  menyebabkan mitos pembangunan di Aceh seketika runtuh. Beberapa faktor penyebab kemiskinan di Aceh walaupun anggaran daerah yang bersumber dari dana otsus berlimpah.

Secara garis besar penyebab sulitnya memberatas kemiskinan dalam pembangunan di Aceh karena ada dua faktor. Pertama, apa yang disebut sebagai institusi ekonomi-politik ekstraktif (Daron Acemoglu & James A robinson, 2012), institusi ekstraktif ini dikendalikan elit yang cenderung memusatkan sumber daya ekonomi dan politik untuk keuntungan mereka sendiri.

Tidak heran kenapa pembangunan Aceh gagal dalam mengangkat derajat masyarakat agar keluar dari lembah kemiskinan. Aceh yang dikenal sebagai daerah paling kaya sumber daya justru angka kemiskinan terus bertambah. Penyebabnya semakin terus berkembangnya lembaga ekstraktif dalam ranah pengelolaan kebijakan  dana otsus yang jumlahnya triliunan.

Beberapa hasil penelitian yang sudah dilakukan, pengelolaan dana otsus cenderung terjadi praktik rent-seeking para elit-elit politik dan birokrat. Seperti yang diungkapkan dari hasil penelitian lembaga LIPI ‘kue otsus menjadi arena persaingan antar elit di Aceh’ (Siti Zuhro, 2018).

Akibat watak elit politik yang cenderung membentuk institusi ekstraktif dalam pengelolaan dana otsus mengakibatkan kepentingan rakyat terabaikan. Dana otsus sebagai bagian dana asimetris untuk modal penggerak pembangunan di Aceh paska konflik dan tsunami tidak bisa dimanfaatkan oleh rakyat dengan maksimal dan itu berpengaruh kepada kapabilitas (tingkat kemampuan) masyarakat untuk bangun dari keterpurukan.

Kapabilitas menjadi faktor kedua yang menyebabkan kemiskinan di Aceh terus bertambah, karena berdasarkan pendekatan kapabilitas yang dicetuskan oleh ekonom dunia Amartya Sen. Bagaimana yang disebut kapabilitas? Konkritnya, meskipun rakyat Aceh diklaim rata-rata mempunyai harta benda tetapi masih juga masyarakat merasa kewalahan memanfaatkan harta benda untuk dijadikan sebagai sumber penghasilan.

Misalkan setiap orang Aceh mempunyai tanah atau sawah warisan, karena letak tanah atau sawah di daerah yang jauh dari jangkauan irigasi atau jalur irigasi tidak memadai akan mengakibatkan terkendala produksinya dan sering sekali hanya menjadi lahan tidur. Padahal mayoritas masyarakat Aceh bekerja di sektor pertanian bukan sektor industri.

Terkait pada sektor ketenagakerjaan, banyak lulusan perguruan tinggi di Aceh menjadi pengangguran. Mereka yang sudah mempunyai kemampuan manajerial dan sumber daya manusia tetapi akses lapangan pekerjaan tidak tersedia sama saja akan berdampak kepada produktifitas bagi seseorang.

Rendahnya daya serap pekerja di Aceh terkendala pada kebebasan mendapatkan akses pekerjaan, contohnya seorang lulusan sarjana tidak bebas memilih pekerjaaan akibat sektor lapangan kerja yang tidak beragam. Sejumlah besar lulusan perguruan tinggi hanya menunggu kesempatan kerja dengan mendaftar CPNS, sehingga terbentuk bottleneck (kemacetan) karena tidak ada alternatif lain dalam dunia kerja di Aceh.

Maka pekerjaan yang dianggap mencapai taraf kemampanan di Aceh identik dengan bekerja yang hanya berpusat pada sektor formal seperti di lembaga pemerintah. Selebihnya menjadi kontraktor dan relawan partai politik ketika musim pemilu telah tiba.

Harapan kepada pemerintah yang sudah diamanahkan rakyat agar mampu mengentaskan masalah kemiskinan dan pengangguran, karena cita-cita pembangunan bukan sekedar slogan pelaris belaka. Menunggu kebijakan mengentaskan kemiskinan di Aceh bukanlah dalam pengertian semua masyarakat disulap berubah menjadi kaya raya. Setidaknya rakyat masih percaya kepada peran dan fungsi pemerintah untuk pemerataan kesejahteraan.[]

*Staf Pengajar di FISIP UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

Baca Juga: Kampanye Ekologis Melalui Peran Dakwah Islam

Baca juga: