spot_img
spot_img
BerandaBerita Banda AcehKomisioner KPI Aceh Imbau Netizen Jangan “Teumeunak” di Medsos

Komisioner KPI Aceh Imbau Netizen Jangan “Teumeunak” di Medsos

Populer

BANDA ACEH – Komisioner Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh, Dr. Teuku Zulkhairi, mengimbau netizen Aceh untuk menghindari penggunaan bahasa-bahasa teumeunak dan hoaks dalam memproduksi konten-konten di media sosial, khususnya platform Tik Tok yang sangat digemari generasi millenial.

Teuku Zulkhairi mengajak untuk berjuang melawan hoaks karena bertentangan dengan fatwa ulama Aceh, termasuk bahasa teumeunak atau caci maki sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai syariat dan budaya Aceh yang telah lama mengisi ruang peradaban Aceh.

“Orang tua-orang tua di Aceh dulu sangat marah jika mendengar anak-anaknya menggunakan bahasa-bahasa teumeunak dan caci maki di ruang publik. Bisa-bisa orang-orang tua dulu di kampung akan menghukum anaknya yang teumeunak dengan menaruh cabe di mulut sang anak yang suka teumeunak sebagai bentuk hukuman. Itu menandakan bahasa teumeunak telah dilawan sejak dulu oleh endatu kita,” ujar Teuku Zulkhairi melalui siaran persnya, Jumat, 1 September 2023.

Zulkhairi yang juga Sekjend Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh menyebut hasil amatan pihaknya selama ini ada keanehan di dunia media sosial, konten-konten teumeunak cenderung digandrungi netizen. Padahal itu tidak sejalan dengan budaya Aceh yang luhur dan santun dalam lisan.

“Kalau kita perhatikan di Tik Tok terdapat akun-akun yang sangat eksis memproduksi konten-konten teumeunak, saling hujat dan pembunuhan karakter pihak lain. Anehnya itu sangat digemari. Padahal seharusnya ruang media sosial itu menjadi sarana silaturahmi, diskusi, dan hal-hal yang konstruktif oleh sesama anak bangsa,” ujar Zulkhairi.

Menurut Zulkhairi, menghindari penggunaan bahasa-bahasa teumeunak dan hoaks sangat penting dilakukan untuk menjaga nilai-nilai budaya Aceh yang islami dan telah sekian lama dirawat dan dipertahankan para endatu Aceh. “Jangan sampai justru rusak di masa kita di ruang media sosial seperti Tik Tok,” ucapnya.

Zulkhairi juga mengajak netizen Aceh menjauhi bahasa-bahasa teumeunak dan hoaks di media sosial untuk menjaga konsekuensi hukum, karena bisa saja melanggar UU ITE.

Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 6 Tahun 2018 melarang penyebaran hoaks. Dalam fatwa ini, kata Zulkhairi, disebutkan bahwa hoaks adalah informasi/konten yang tidak sesuai dengan kenyataan dan/atau bertujuan untuk hal-hal yang negatif. Ciri-cirinya yaitu informasi/konten yang tidak jelas sumbernya, informasi/konten yang mengandung unsur fitnah dan tuduhan, informasi/konten yang disampaikan secara tidak proporsional.

Ciri-ciri berikutnya yaitu informasi/konten yang mendiskreditkan seseorang, informasi/konten yang disampaikan dalam konteks ‘penyesatan opini’ atau ‘ujaran kebencian’ dan informasi/konten yang biasanya tidak didapatkan di media elektronik dan media cetak.

Dalam fatwa ini, kata Zulkhairi, disebutkan bahwa hukum menciptakan hoaks dan menyebarkannya adalah haram dan bertentangan dengan hukum positif dan hukum adat. Setiap orang yang mengetahui penyebaran informasi bohong wajib melakukan pencegahannya. Ditegaskan juga bahwa setiap tindakan yang dapat merusak kehormatan dan kewibawaan orang lain adalah haram.

Zulkhairi mengungkapkan keprihatinannya bahwa ruang medsos yang tidak ada aturan. Dia berharap agar rancangan Qanun Penyiaran Aceh yang secara jadwal akan dibahas tahun 2023 ini oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) nantinya dapat memasukkan pembahasan tentang masalah itu.

“Kita berharap aturan-aturan mencegah hoaks dan bahasa-bahasa teumeunak dapat dibuat. Misalnya, dapat masuk melalui Qanun Penyiaran Aceh yang merupakan amanah dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA),” ujar Zulkhairi.[](ril)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita terkait

Berita lainya