BANDA ACEH – Fadhli Espece, mahasiswa Aceh di Yogyakarta, menyebut elite Aceh tidak melibatkan anak muda—sebagai penerus estafet kepemimpinan—dalam diskursus revisi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dia menyarakan anak muda atau mahasiswa dapat berperan dengan membentuk posko-posko di setiap daerah untuk menyerap langsung aspirasi dari akar rumput terkait revisi UUPA.
Dihubungi portalsatu.com, Rabu, 8 Maret 2023, malam, mantan Sekretaris Jenderal Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh Nusantara (KMPAN) itu mengatakan wacana revisi UUPA telah bergulir dalam beberapa tahun terakhir. Sejak wacana itu bergulir, stakeholder di Aceh telah membentuk tim khusus untuk melakukan kajian atas Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dan UUPA.
Menurut Fadhli, dalam lima tahun terakhir paling tidak sudah terbentuk lima tim yang di-SK-kan baik oleh Gubernur (Eksekutif) maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh (Legislatif). Bahkan, Lembaga Wali Nanggroe Aceh turut membentuk Tim Khusus Advokasi MoU Helsinki dan UUPA.
“Sayangnya, dari sekian banyak tim yang telah dibentuk oleh elite pemerintahan di Aceh tidak ada representasi anak muda yang dilibatkan dalam diskursus revisi UUPA. UUPA seolah-olah hanya milik elite dan para penguasa. Padahal, anak muda juga penting terlibat sebagai penerus estafet kepemimpinan di Aceh,” kata Fadhli.
Fadhli menilai pengabaian terhadap anak muda juga disebabkan anak muda sendiri yang sudah tidak memiliki bargaining sebagaimana dua dekade silam. “Di satu sisi anak muda Aceh lebih disibukkan dengan isu dan sentimen sektarian, sehingga suara mereka hanya dianggap suara bising belaka,” ujarnya.
Dia menegaskan anak muda Aceh perlu dan harus dilibatkan dalam segala proses pembentukan kebijakan tentang Aceh, apalagi terkait revisi UUPA. “Selama ini anak muda hanya diperalat oleh generasi tua, khususnya menjelang Pemilu,” ungkap Fadhli.
Fadhli menyatakan selama ini anak muda hanya dijadikan sebagai tukang ikat spanduk, pasang baliho, dan pot-pot (mengibarkan) bendera samata. Artinya, anak muda tidak ditempatkan dalam posisi-posisi strategis yang berperan signifikan dalam menentukan arah Aceh ke depan.
“Ketika anak muda sudah tereliminasi dan Aceh mulai meuchokoloh, generasi tua hanya mampu mengutuk keadaan sambil menyalahkan anak muda yang tidak mengerti sejarah. Padahal, kesalahan mereka (kaum tua) yang tidak sadar akan pentingnya kerja estafet untuk jangka panjang, anak muda tidak pernah dilibatkan sebagai pelaku sejarah,” kata Fadhli.
Menurut Fadhli, selain tim-tim yang dibentuk oleh Pemerintah dan DPR Aceh, sebenarnya anak muda dapat berperan dengan membentuk posko-posko di setiap daerah untuk menyerap langsung aspirasi dari akar rumput terkait revisi UUPA.
“Jadi sifatnya bottom-up, tidak hanya top-down. Dengan begini bahkan anak muda dapat menawarkan draf sendiri versi anak muda kepada publik. Namun, hal ini sulit terjadi jika anak muda tidak bersatu,” tegas Fadhli.
Fadhli menyatakan persoalan bargaining atau nilai tawar tidak bisa dibangun dalam satu malam. Bargaining itu tumbuh dari rentetan dan akumulasi kinerja yang telah dilakukan selama ini.
“Ini sangat bergantung pada kualitas pikiran dan sumber daya manusia. Jika pikiran dan SDM berkualitas, kuantitas tidak lagi menjadi persoalan,” ucap Fadhli.
Fadhli menambahkan anak muda harus menyadari bahwa Aceh itu perlu dibangun dengan semangat kolektif. Jika perjuangan ini dilakukan bersama-sama secara tidak langsung nilai tawar itu akan terbangun dengan sendirinya.
Sampai saat ini, kata Fadhli, bisa dikatakan tidak ada gerakan yang dapat mewakili dan merepresentasikan gerakan anak muda Aceh. “Aceh kehilangan gerbong anak muda sebagaimana Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) di masa konflik,” ujarnya.
Menurut Fadhli, karena ketiadaan gerbong, tidak ada yang dapat menjadi representasi anak muda. “Sehingga jika pun ingin dilibatkan tidak tahu mau dilibatkan yang mana, karena kondisi anak muda sendiri tercerai berai”.
“Anak muda saat ini lebih suka mendirikan organisasi ketimbang membangun gerakan. Dampaknya, perjuangan anak muda lebih partisan dan sektarian sehingga kehilangan orientasi kepentingan kolektif,” pungkas Fadhli.
Baca juga: Zulfikar Muhammad Paparkan Alasan Revisi UUPA, dan Nilai Tawar Aceh kepada Jakarta.[](Adam Zainal)