Islam adalah agama kasih sayang yang tidak hanya turun untuk menyejahtarakan manusia, tetapi juga kepada hewan dan seisi bumi.
“Kandang Percontohan untuk Pengamanan Ternak dari Gangguan Harimau”. Tulisan itu tertulis pada papan di muka kandang yang dipagari kawat berduri. Tinggi pagarnya sekitar 2,5 meter, luas arealnya 15 x 25 meter. Kandang itu berada di Desa Lhok Bengkuang Timur, Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan.
Dalam kandang antiserangan harimau milik Dedi Suhendri itu terdapat 20 kambing, 10 sapi, dan lima kerbau. Ternak tersebut dipelihara masyarakat tergabung dalam Kelompok Air Simawuang, salah satunya Dedi.
Menurut Dedi, kandang ini dibuat pada 21 Agustus 2023, setelah pihaknya mendapatkan kawat berduri bantuan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh.
“Kita membuat kandang ini karena sebelumnya sering diganggu harimau, sering diambil (dimangsa) ternak. Terakhir harimau masuk ke sini delapan bulan lalu, saat itu diambil tiga sapi dan kambing 15 ekor,” katanya kepada sejumlah wartawan yang menyambangi desa itu, Jumat (8/12/2023).
“Sejak kandang ini dibuat tidak pernah lagi masuk harimau. Sudah aman, tidak perlu dijaga lagi.”
Sebelum membuat kandang dipagari kawat berduri, Dedi dan kawan-kawan harus berjaga malam agar ternak mereka tidak dimangsa harimau.
“Sesekali harimau itu turun (dari hutan) hanya satu ekor, terkadang empat ekor,” ucapnya.
Dedi menceritakan, 20 tahun silam masyarakat setempat rata-rata menggarap kebun masih bisa hidup berdampingan dengan harimau.
“Artinya, (dulu) tidak terjadi konflik atau terganggu bagi petani kebun. Bahkan ada warga yang bisa membuat harimau menjadi jinak sehingga terjamin keamanannya. Apabila ada harimau lain yang mengganggu, satwa peliharaan orang itu bisa menjaganya,” ungkapnya.
Menurut Dedi, hidup masyarakat zaman dahulu dengan sekarang berbeda. Masyarakat masa lampau umumnya berkebun aktif karena daerah itu hutan. Saat ini tak seramai masa lalu, sehingga ketika satwa liar itu melihat orang di hutan seakan-akan dijadikan sebagai mangsanya.
“Namun, yang jelas harimau bisa berteman dengan manusia, tidak selalu menjadi musuh,” ucapnya.
“Kalau sekarang misalnya ada harimau masuk ke permukiman, masyarakat langsung menghubungi pihak BKSDA untuk mengusir agar menjauh dari tempat aktivitas warga. Tapi tidak ada yang memburu, karena tidak dibolehkan perburuan terhadap satwa liar dilindungi,” tambah Dedi.
Tim Leader Human Wildlife Conflict Mitigation (HWCM) Aceh Selatan, Musir Riswan, mengatakan untuk mitigasi konflik dilakukan dengan pemasangan kamera trap khusus dalam kawasan hutan guna melihat ataupun menghitung populasi harimau. Pihaknya juga mengindentifikasi harimau yang berkonflik dengan warga.
Tahapan-tahapan dilakukan, merespons informasi dari masyarakat, lalu memverifikasi dengan kamera trap. Hasil rekaman bisa melihat fisik harimau. “Karena konflik ini didasari beberapa faktor: segi kesehatan harimau, usia, dan kurangnya mangsa,” jelas Musir.
“Dari data selama ini, kamera trap tidak bisa mengindentifikasi atau memberi informasi kepada kita tentang usia harimau yang muncul. Itu memang harus dilihat secara langsung dari ukuran gigi dan segala macam. Namun, dari kamera tersebut kita bisa melihat fisiknya dan juga perkiraan usia.”.
Dia menyebut dominan harimau beranak dan cenderung keluar dari kawanannya untuk menghindar dari harimau jantan.
“Artinya, harimau berkonflik merupakan harimau sedang beranak, dan ini lebih berbahaya karena mengajari anaknya untuk berburu,” kata Musir.
Menurutnya, hampir setiap dari 18 kecamatan yang ada di Aceh Selatan berpotensi terjadi interaksi negatif dengan harimau, karena daerah ini letaknya antara pesisir dan berbatasan langsung dengan kawasan hutan.
Oleh karena itu, dia berharap masyarakat membangun kandang antiserangan harimau (TPE) seperti di Lhok Bengkuang Timur agar ternak terjaga.
“Dengan adanya TPE itu yang dibantu BKSDA, sangat bersyukur untuk pengamanan ternak jika ada gangguan harimau,” ujarnya.
Namun, kata Musir, Aceh Selatan juga kental dengan kearifan lokalnya dalam menghormati satwa liar. Di antaranya, tradisi “Rabu abeh” atau budaya tolak bala dilakukan setiap bulan Safar.
Dalam tradisi itu, warga memberi makanan kepada harimau berupa nasi putih dan telur rebus yang diletakkan di jalur-jalur potensial dilintasi satwa liar tersebut. Dengan berbagi rezeki itu diharapkan bisa meminimalisir interaksi negatif manusia dan si raja rimba.
“Langkah mitigasinya, kita bersama Pemerintah Aceh Selatan juga melakukan edukasi pada masyarakat desa yang intensitas konfliknya sangat tinggi. Selain itu juga dilakukan hal yang sama di desa-desa berpotensi konflik, serta masuk ke sekolah-sekolah bertujuan informasi kita sampaikan dapat dipahami tentang upaya mitigasi konflik manusia dan satwa liar,” ujar Musir.
Kearifan Lokal
Masyarakat Desa Panton Luas, Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan, membuka Sekretariat Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar. Sekretariat itu berada di rumah Masrita, Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Rimeung Aulia.
“Kami melihat harimau itu ada keuntungan juga bagi masyarakat. Ketika satwa ini mulai berkurang dalam hutan, hewan lain seperti babi ikut memakan tanaman warga disebabkan tidak ada yang menjaga perkebunan secara alami. Makanya, masyarakat di sini senang bisa hidup berdampingan dengan harimau,” ungkap Masrita.
Namun, kata Masrita, apabila harimau itu turun dari hutan, KSM melakukan patroli malam setiap bulan untuk menghindari terjadinya konflik dengan manusia. Sementara untuk bisa hidup berdampingan dengan harimau, masyarakat desa itu memiliki kearifan lokal. Salah satunya dengan memberi makanan kepada harimau, terutama pada hari besar Islam.
“Intinya bagaimana kita bisa menghargai satwa liar yang seakan dapat berteman dengan mereka. Artinya, kalau kita mengabaikan doa tolak bala sehingga akan berdampak pada perkebunan masyarakat sekitar, perlu menghargai antarsesama meskipun tempat tinggal di daerah pedalaman,” kata Masrita, didampingi Keuchik (Kepala Desa) Panton Luas, Abu Hanifah, Wakil KSM, Zulbasni, dan Sekretaris KSM, Yan Feriyal.
.
Feriyal menceritakan KSM itu dibentuk tahun 2016 berangkat dari kesadaran masyarakat pentingnya menjaga satwa liar agar selalu hidup berdampingan dengan masyarakat. KSM didukung Pemkab Aceh Selatan. Untuk pengembangannya, salah satunya meningkatkan kualitas kearifan lokal serta secara modernisasi untuk menjaga hutan dan satwa liar.
“Kami membentuk kelompok ini bahwa adat istiadat kita harus terlestarikan kembali. Adat dimaksud dilakukan doa tolak bala setiap “Rabu abeh” untuk memberikan makan kepada harimau. Alhamdulillah, setelah terbentuk KSM, warga mulai sadar hidup berdampingan dengan satwa liar itu sangat penting, kebutuhan ekosistemnya bisa terjaga kembali. Metodenya kita lakukan edukasi kepada masyarakat, juga bagaimana mitigasi konflik satwa liar yang kami sampaikan,” katanya.
Feriyal menyebut ada pantangan-pantangan saat menghadapi harimau. Misalnya, ketika warga melakukan aktivitas di kebun jika berhadapan dengan satwa itu jangan melarikan diri.
“Baju jangan digantungkan di tunggul pohon kayu, karena kalau ada angin bajunya tergoyang sehingga akan memancing harimau, dianggap itu mangsanya,” ujarnya.
“Harimau juga memberi tanda kepada manusia agar tidak mengizinkan kita berkebun, dengan cara mencakar (isyarat melarang) tanah atau jalur yang biasa dilewati manusia. Itu pertanda kita harus berhati-hati, jangan pergi ke sana (kebun), mungkin dia sedang melakukan aktivitas sedang mencari mangsa.”
“Masyarakat Panton Luas secara umum memang sudah mengetahui terhadap tanda-tanda yang dimunculkan harimau, tapi bagi generasi muda, perlu memberikan edukasi tentang bagaimana mitigasi konflik yang baik dan melihat pertanda (isyarat) apa saja disampaikan (ditunjukkan) dari harimau untuk manusia.”
Menurut Feriyal, satwa liar di kawasan Panton Luas dengan luas hutan sekitar 8.000 hektare itu tidak hanya harimau.
“Satwa lainnya juga masih ada. Yang tidak ada cuma tiga: buaya, badak, dan singa,” ujarnya.
Potensi TNGL
Tata Usaha Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Rinaldo mengatakan untuk mitigasi konflik manusia dan satwa, pihaknya melakukan pendataan satwa, terutama gajah. Selain itu, memantau dengan satelit kemana saja arah gajah bergerak.
“Itu upaya untuk menjaga supaya satwa itu tetap terlindungi. Satwa seperti gajah, harimau, badak, anjing hutan, dan kambing hutan adalah kekayaan alam Aceh yang masih tersimpan di kawasan itu,” katanya, Sabtu (25/11/2023).
Rinaldo menjelaskan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dengan luas 2,6 juta hektare bukan hanya masuk wilayah Aceh, tapi sebagian hingga ke Sumatra Utara.
Di KEL ada TNGL, Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), Taman Hutan Raya serta Taman Buru (TB), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi (HP), Hutan Konservasi (HK), Hutan Produksi Tetap (HPT), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi Konversi (HPK), dan Areal Penggunaan Lain (APL), termasuk perkampungan dan perkotaan serta fasilitas umum dan perkebunan masyarakat.
“Kami masih perlu meneliti lebih jauh lagi apa saja yang ada di dalam TNGL. Kita akan melakukan eksplorasi lagi terkait jenis apa saja yang ada di TNGL, atau masih ada yang belum ditemukan spesiesnya, baik flora (jenis tanaman/tumbuhan) maupun fauna (kehidupan hewan),” ujar Rinaldo.
Ia menyebut di Aceh salah satu kawasan hutan masih utuh adalah TNGL yang sangat bagus untuk menjaga sistem air maupun udara di sekitarnya.
TNGL dideklarasikan sebagai Taman Nasional Pertama di Indonesia pada 6 Maret 1980 (bersama Ujung Kulon, Komodo, Baluran, dan Gede Pangrango). Pada 1981, TNGL diakui sebagai cagar biosfer oleh Program Man and the Biosphere UNESCO (MAB-UNESCO). Selanjutnya, ditetapkan sebagai Asean Heritage Park oleh Asean Centre for Biodiversity pada 1984. UNESCO menetapkan TNGL sebagai Situs Warisan Dunia pada 2004.
Ajaran Islam
Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe, Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, menjelaskan Islam adalah agama kasih sayang yang tidak hanya turun untuk menyejahtarakan manusia, tetapi juga hewan dan seisi bumi.
Allah berfirman, (yang artinya) “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”, (al-Anbiya: 107).
“Dalam bahasa lain, diutusnya Nabi Muhammad dengan syariat yang menyertainya tidak lain adalah curahan rahmat dari Allah kepada seluruh makhluk yang ada di bumi,” kata akademisi akrab disapa Ustaz Syahrial itu menjawab portalsatu.com, Sabtu (16/12/2023),
Menurutnya, kasih sayang (rahmat) yang merupakan bagian terpenting dari karakteristik Islam. Salah satunya terlihat pada keberpihakannya terhadap binatang.
Dalam perspektif tertentu, tambah Syahrial, Islam menempatkan binatang sebagai entitas yang setara dengan manusia, sama-sama makhluk hidup yang berhak mendapat jaminan kehidupan, perlindungan, dan kebebasan.
Bahkan lebih dari itu, mereka pada dasarnya berkontribusi sama dan sama-sama berperan penting dalam rantai ekosistem kehidupan, yang seluruh makhluk hidup saling terhubung dan saling bergantung antara satu dengan lainnya atau simbiosis mutualisme.[]
Muhammad Fazil