BANDA ACEH – Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dr. Taqwaddin, menyarankan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota untuk duduk bersama melakukan koordinasi, sehubungan berlakukanya UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Batu Bara dan Mineral.
“Hal ini perlu dilakukan karena UU 3/2020 tersebut dalam Pasal 173 mengeksplisitkan bahwa bagi Provinsi Aceh terkait perihal pertambangan mengacu pada UUPA. Sehingga kini sudah saatnya urusan pertambangan sesuai kewenangannya dikembalikan ke Pemerintah Kabupaten/Kota,” kata Taqwaddin.
Pernyataan Taqwaddin itu disampaikan dalam diskusi multi pihak dengan tema “Kolaborasi Mendorong Tata Kelola Pertambangan Minerba pasca-Pengesahan UU Nomor 3 Tahun 2020 di Aceh”, digelar di Banda Aceh, Rabu, 30 Juni 2021.
Selain alasan juridis tersebut, Taqwaddin juga menyampaikan bahwa dalam beberapa tahun ini, setelah berlakunya UU No. 23 Tahun 2014, semua kewenangan pertambangan yang dulunya menurut UUPA ada pada pemerintah kabupaten/kota, dihilangkan dan ditarik menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Karenanya, semua izin usaha pertambangan mesti diterbitkan oleh gubernur atau menteri.
Menurut hasil kajian Ombudsman RI Aceh pada tahun 2018, dampak faktual dari ketentuan ini (UU 23/2014) telah menyebabkan prosedur pengurusan izin pertambangan menjadi makin panjang dan mahal. Akibatnya, makin sedikit usaha pertambangan mineral bebatuan yang legal dan procedural di kabupaten/kota.
“Dari aspek pengawasan lingkungan, fakta lapangan menunjukkan bahwa akhir-akhir ini kerusakan lingkungan akibat usaha tambang bebatuan di daerah makin parah. Sedangkan pengawasan makin lemah”.
“Aparat kabupaten tidak lagi melakukan pengawasan dengan alasan mereka tidak memiliki kewenangan. Akibatnya, para pemain tambang pun makin ‘menggila’,” ungkapnya.
Lingkungan menjadi korban. Aktivis dan akademisi lingkungan hanya bisa berdiskusi dan berkoar-koar di pusat ibukota provinsi. Sementara kerusakan lingkungan terus terjadi, mengorbankan warga masyarakat kabupaten/kota.
“Situasi ini menjadi makin buruk selama tidak ada lagi Dinas Pertambangan di pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan aparatur pengawas tambang hanya ada dalam jumlah terbatas pada Dinas ESDM di Pemerintah Provinsi Aceh,” katanya.
Dari aspek kemanfaatan bagi masyarakat, kata Taqwaddin, fakta selama ini kabupaten/kota dan masyarakatnya nyaris tidak mendapat apa-apa dari usaha tambang yang terus marak tanpa izin.
“Tidak ada dasar hukum melakukan pungutan apapun yang memberi manfaat bagi kabupaten. Pemkab hanya siap-siap menerima dampak negatif berupa potensi bencana, tanpa bisa menarik retribusi apapun,” ujarnya.
Mengacu pada dasar normatif dan fakta di atas, Taqwaddin menyarankan agar urusan tambang harus dikembalikan kewenangannya kepada pemerintah kabupaten/kota. “Segeralah pemkab/pemko bertindak secara proaktif dan progessif,” pungkasnya.[](ril/*)