Oleh Nurul Muhdiyah*
Baru-baru ini saya mengikuti workshop bertema Sensitivitas Gender, Kepemimpinan Perempuan dan Perdamaian untuk Perempuan Penyintas Konflik, Perempuan Muda, dan Pemimpin Perempuan. Kegiatan ini diselenggarakan LSM Flower Aceh selama tiga hari pada 24—26 Februari 2023 di Lhokseumawe.
Peserta workshop sebanyak 25 orang dan perwakilan dari berbagai daerah, seperti Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Pidie, Aceh Besar, Banda Aceh, dan Aceh Barat. Saya sendiri salah satu peserta yang mewakili kelompok muda dari Kabupaten Aceh Timur.
Kegiatan ini tidak hanya memberi kesempatan bagi saya untuk belajar tentang isu-isu perempuan dan kesetaraan gender, tetapi juga bertemu langsung dengan orang-orang hebat di Aceh yang telah belasan bahkan puluhan tahun bekerja pada isu ini, seperti Suraiya Kamaruzzaman, Khairani Arifin, Abdullah Abdul Muthalib, Amrina Habibi, dan Riswati.
Flower Aceh merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat yang berdiri sejak 1989 dan fokus pada kerja-kerja memperkuat dan mendorong perwujudan hak-hak dasar perempuan marginal dalam bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya. Serta bergerak untuk meningkatkan kapasitas perempuan, memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan relasi antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan.
Selama 34 tahun kehadirannya, program-program Flower tersebar di berbagai kabupaten/kota dengan merangkul perempuan-perempuan penyintas konflik maupun korban kekerasan dalam rumah tangga.
Mereka diberdayakan agar bisa bangkit dan menjadi jembatan untuk membantu orang lain. Salah satu output dari program-program tersebut ialah lahirnya paralegal yang siap melakukan advokasi bagi korban-korban kekerasan pada perempuan atau anak.
Workshop diawali dengan pembukaan pada hari pertama oleh Programme Development Manager NP Philippine, Aldrin Norio, yang menjadi mitra Flower dalam kegiatan ini. Selanjutnya sepatah dua patah kata dari Project Coordinator NP Indonesia, Hermanto Hasan. Amrina Habibi selaku Kabid Pemenuhan Hak Anak di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh turut memberi sambutan. Terakhir dari Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati.
Amrina yang didaulat sebagai salah satu pemateri menjelaskan beberapa poin yang menjadi catatan saya. Di antaranya tentang keadilan gender yang sangat penting untuk mengatasi beragam ketidakadilan berbasis gender yang terus-menerus berlangsung sehingga membuat perempuan dan kelompok rentan lainnya menderita; mengakhiri segala bentuk diskriminasi; menyadari dan menghargai pelayanan dan pekerjaan; menghapuskan bentuk kekerasan baik secara fisik maupun psikis; serta memastikan bahwa setiap perempuan dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan berpolitik, sosial, dan ekonomi.
Beberapa bentuk ketidakadilan gender antara lain subordinasi (penomorduaan), marginalisasi (peminggiran), beban ganda, kekerasan, dan pemberian label negatif terhadap jenis kelamin tertentu. Untuk mewujudkan keadilan gender diperlukan rangkaian proses yang relevan untuk menghilangkan kesenjangan antara perempuan dengan laki-laki yang diproduksi dan direproduksi dalam keluarga, masyarakat, negara, maupun pasar.
Selain itu, upaya untuk mewujudkan keadilan gender juga mengharuskan lembaga-lembaga utama (termasuk lembaga-lembaga negara) bertanggung jawab untuk mengatasi ketidakadilan dan diskriminasi yang menyebabkan banyak perempuan menjadi miskin dan dipinggirkan.
Selanjutnya Amrina menjelaskan tentang kepemimpinan perempuan. Seseorang baru bisa dikatakan menjadi pemimpin apabila dapat memengaruhi dan memberikan contoh kepada pengikutnya dalam upaya mencapai suatu tujuan. Lebih penting lagi, perempuan harus berani tampil menjadi pemimpin dan ikut serta dalam pengambilan kebijakan, karena jumlah perempuan mencapai separuh penduduk dunia sehingga secara demokratis pendapat dari perempuan harus dipertimbangkan.
“Partisipasi perempuan diharapkan dapat mencegah kondisi yang tidak menguntungkan bagi perempuan dalam menghadapi masalah stereotip terhadap perempuan, diskriminasi di bidang hukum, kehidupan sosial dan juga eksploitasi terhadap perempuan,” kata Amrina.
“Itulah mengapa perempuan perlu memahami konsep diri, yaitu kesadaran, sikap, dan pemahaman tentang siapa diri kita dan mengetahui apa kekurangan dan kelebihan diri guna untuk membangun personal branding atau citra diri yang positif,” tambahnya.
Masih terkait tema kepemimpin, Abdullah Abdul Muthalib yang juga Dewan Pengurus Flower Aceh mengenalkan tugas-tugas pemimpin di level desa yakni keuchik dan tuha peut yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Abdullah menjelaskannya dengan cara yang unik. Ia memberikan setiap peserta selembar kertas yang sudah dituliskan tugas-tugas keuchik dan tuha peut secara acak. Abdullah kemudian menginstruksikan peserta untuk membaca tulisan tersebut dan memastikan apakah itu tugas keuchik atau tuha peut dan menempelkan kertas tadi di papan tulis. Peserta pun memberikan jawaban sesuai dengan pemahamannya. Berikutnya Abdullah menjelaskan bahwa berdasarkan UU di atas, ada 16 tugas dan kewajiban keuchik, dan hanya 6 tugas dan kewajiban tuha peut.
Menurut Abdullah, karena minimnya sosialisasi, tak jarang masyarakat sulit membedakan tugas dan fungsi dari kedua perangkat desa tersebut. Dampaknya, ketika ada persoalan di desa semua dilimpahkan kepada keuchik ataupun sebaliknya.
Pemateri berikutnya pendiri Flower Aceh, Suraiya Kamaruzzaman. Selain dikenal sebagai aktivis perempuan, ia juga dosen di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala dan saat ini tercatat sebagai Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh. Ia pernah mendapat penghargaan UNDP N-Peace Award atas dedikasinya dalam meningkatkan kapasitas dan advokasi pemenuhan hak perempuan Aceh, terutama perempuan yang terpinggirkan dari akses ekonomi dan korban kekerasan seksual yang terperangkap dalam konflik bersenjata.
Di sela-sela waktunya yang singkat, Suraiya memberikan banyak pemahaman, kisah, dan pengajaran yang sangat berkesan. Ia berhasil membuka wawasan peserta tentang mengapa perempuan harus terlibat dalam berbagai aspek karena peran perempuan dapat memberikan legitimasi dan inspirasi bagi generasi seterusnya. Peran perempuan bisa memberikan hasil berbeda pada proses dan substansi suatu persoalan.
Ia bercerita bagaimana perempuan-perempuan di luar sana berjuang demi keadilan, bangkit setelah dipijak, dan menyeka air mata mereka lalu tersenyum demi perubahan.
Salah satu peserta, Zahara, yang juga tokoh perempuan akar rumput turut berbagi pengalaman. Zahara kini aktif dan kerap terlibat di berbagai kegiatan di kampungnya. Namun, untuk bisa eksis menurutnya juga tak mudah. Sebelumnya ia tak pernah didengar, bahkan cenderung terdiskriminasi. Ia menduga karena dirinya adalah seorang pendatang.
Oleh karena itu, Zahara mengatakan pentingnya memilih pemimpin yang memiliki moralitas tinggi, idealis, dan bijaksana karena itulah modal mengubah perbedaan menjadi kesetaraan.
“Sekarang banyak orang yang berlomba-lomba untuk bisa mempunyai jabatan, tetapi tidak sedikit pula yang mengabaikan kewajibannya sebagai pemimpin,” kata Zahra.
Sebagai anak muda yang lahir di tahun milenium dan berasal dari daerah konflik, pertemuan ini sangat berarti bagi saya. Kegiatan ini menjadi cara untuk merawat ingatan tentang sepotong sejarah Aceh dan pentingnya partisipasi anak muda dalam merawat perdamaian. Dan lebih penting lagi, kegiatan ini menjadi wadah transfer pengetahuan antargenerasi.[]
* Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry