BANDA ACEH – Pemimpin Darud Donya, Cut Putri, mengecam keras pemusnahan kawasan Situs Sejarah Rumoh Geudong di Desa Bili Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie. “Ini adalah upaya nyata penghilangan bukti sejarah Aceh masa konflik dan perang. Langkah ini bisa memutus sejarah dan memori kolektif atas kekejaman masa DOM yang seharusnya jadi pembelajaran untuk generasi yang akan datang,” ujar Cut Putri dalam pernyataan tertulis diterima portalsatu.com, Sabtu, 24 Juni 2023.
Pemerintah RI sudah mengakui pelanggaran HAM berat masa lalu di Rumoh Geudong. Banyak rakyat Aceh menjadi korban penyiksaan dan pembunuhan di Rumoh Geudong pada masa Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM).
Cut Putri menilai langkah pemusnahan Rumoh Geudong bisa menimbulkan luka baru. Padahal, luka lama belum sembuh dan menimbulkan kemarahan rakyat Aceh, karena rakyat Aceh adalah para pejuang teguh dan umumnya tabah terhadap cobaan. Dia menyebut langkah pemusnahan situs sejarah akan membangkitkan kemarahan dan perlawanan dari rakyat Aceh. “Ini akan menjadi masalah baru kedepannya”.
Cut Putri menjelaskan pada zaman dahulu Rumoh Geudong adalah kawasan tokoh pejuang Aceh dan menjadi basis perjuangan melawan Belanda. Rumoh Geudong sebagai situs sejarah dulu sangat dijaga. Namun, pada masa DOM, Rumoh Geudong diduduki paksa, dan menjadi tempat genosida.
Rumoh Geudong dibangun pada tahun 1818 oleh Ampon Raja Lamkuta, Uleebalang yang tinggal di Rumoh Raya yang berjarak sekitar 200 meter dari Rumoh Geudong. Semasa perang dengan Belanda, Rumoh Geudong sering digunakan sebagai pos pengatur strategi perang oleh Raja Lamkuta. Setelah Raja Lamkuta wafat, Rumoh Geudong ditempati adiknya, Teuku Cut Ahmad, kemudian Teuku Keujren Rahmad, Teuku Keujren Husein, dan Teuku Keujren Gade. Rumoh Geudong juga dijadikan sebagai basis perjuangan melawan tentara Jepang. Sejak masa Jepang hingga Indonesia merdeka, rumah itu dihuni Teuku Raja Umar dan keturunannya, anak dari Teuku Keujren Husein.
[Rumoh Geudong pada masa silam. Foto koleksi Institut Peradaban Aceh]
Saat Jakarta memberlakukan Operasi Militer di Aceh pada April 1990, Rumoh Geudong ditempati paksa oleh tentara tanpa seizin pemiliknya. “Saat itu, pemilik Rumoh Geudong sempat menyatakan keberatannya. Namun, pasukan pemerintah sudah membuat rumah itu sebagai lokasi genosida atau pembunuhan massal rakyat Aceh,” ungkap Cut Putri.
Rumoh Geudong dijadikan sebagai kamp konsentrasi militer, sekaligus tempat untuk mengawasi masyarakat bagi pasukan Kopassus ketika Aceh dalam status DOM pada 1989-1998.
“Saat Rumoh Geudong dikuasai aparat, muncul orang tua alim yang mengatakan bahwa siapapun yang berbuat jahat di Rumoh Geudong kelak akan ditimpa bala bencana dan mati menyedihkan. Dan hal itu terbukti kemudian, semua pelaku DOM dari pemimpin yang terendah kemudian tertimpa bala bencana dan mati menyedihkan dilupakan dalam sejarah”.
Darud Donya meminta dibangun ulang Museum Genosida Rumoh Geudong. “Pembangunan Museum Genosida Rumoh Geudong akan menjadi bagian wisata sejarah genosida di Aceh,” kata Cut Putri.
Di dunia sudah terkenal beberapa museum Genosida. Seperti Museum Genosida di Rwanda, Museum Pembantaian Kaum Indian di Amerika, Museum Holocaust Di Jerman, Museum Genosida Polpot Khmer Merah di Kamboja, Museum Nanjing di Cina, Kamp konsentrasi Auschwitz Polandia, dan lain-lain. Semua museum itu dibangun langsung oleh pemerintah setempat untuk mengenang sejarah bangsanya dan menjadi pembelajaran masyarakat dunia.
“Langkah pembangunan Museum Genosida Aceh bertujuan supaya generasi akan datang belajar sejarah. Agar kesalahan, kekejaman dan kepedihan yang sama tidak akan pernah kembali berulang,” tegas Cut Putri.
Pemerintah RI sudah mengakui pelanggaran HAM yang dilakukannya, kata Cut Putri, maka museum adalah bukti pengingat untuk generasi ke depan akan efek perang yang penuh angkara murka dan saling memusnahkan antarsesama manusia.
“Ini seharusnya menjadi hal yang dikenang, sebagai bukti kebesaran jiwa anak bangsa dalam usaha menciptakan perdamaian,” ujar Cut Putri.
Baca juga: Ini Alasan Pj Bupati Pidie Soal Penghancuran Sisa Bangunan Rumoh Geudong
Menurut Cut Putri, kalau pemerintah beralasan memusnahkan situs sejarah Rumoh Geudong agar kita melupakan sejarah perang supaya tidak ada dendam, lalu untuk apa kita masih melestarikan peninggalan sejarah perang Belanda yang kelam?
Pemimpin Darud Donya itu mencontohkan, selama ini peninggalan perang dengan Belanda dijaga dan dilestarikan, sebagai situs sejarah dan cagar budaya, untuk mengenang efek perang yang merugikan kedua belah pihak dan pembelajaran di masa depan.
Hubungan sejarah Aceh dan Belanda pun semakin baik, banyak pelajar mendapatkan beasiswa ke Belanda. Bahkan Belanda juga membantu pembangunan Aceh. Hal yang sama juga terjadi di seluruh Indonesia.
Demikian juga dalam merawat sejarah memori kelam Tsunami Aceh. “Kalau Pemerintah beralasan memusnahkan situs sejarah Rumah Geudong agar kita tidak lagi mengenang kesedihan dan kepedihan, lalu untuk apa dibuat peringatan tsunami setiap tahun,” kata Cut Putri.
“Rakyat Aceh yang mengalami tsunami tentu merasa sedih dan sangat terpukul. Tapi, kita tetap harus kuat, bahkan menceritakannya berulang-ulang kepada generasi penerus, walau kita sendiri harus menahan kepedihan mendalam,” tuturnya.
Situ-Situs Sejarah Tsunami dilestarikan. Museum-museum peringatan Tsunami bahkan didirikan, untuk mengingat dan mengenang segala kepedihan, kehilangan, kerugian dan kerusakan yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa kita.
“Semua itu bukan untuk menimbulkan kesedihan berkepanjangan, namun untuk mengingatkan betapa kuatnya kita sebagai manusia yang dapat bangkit kembali, bersaudara, bersatu dan bersama-sama belajar agar hal yang sama tidak terulang lagi. Pembelajaran sejarah inilah yang harus kita wariskan kepada generasi masa depan,” kata Cut Putri.
[Lokasi bekas Rumoh Geudong setelah diratakan oleh Pemkab Pidie. Foto: portalsatu/Zamahsari]
Pemimpin Darud Donya juga menolak pernyataan Pemerintah Pidie di media bahwa Rumoh Geudong bukan situs sejarah. Darud Donya meminta Pemerintah Pidie mempelajari kembali Undang-Undang Nomor 10 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022, serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
Objek yaitu benda, struktur, bangunan dan/atau lokasi kawasan yang memenuhi kriteria sudah berusia lebih dari 50 tahun, atau yang belum mencapai 50 tahun namun memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa, dapat memenuhi kriteria sebagai cagar budaya.
Situs sejarah adalah bagian warisan atas benda atau kawasan yang menjadi tempat dilestarikannya kepingan sejarah politik, militer, budaya, atau sosial karena mengandung memorial kolektif dan nilai warisan sejarah budaya.
Pemerintah juga berkewajiban melakukan pencarian benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai cagar budaya, untuk dilestarikan dan dirawat sebagai bagian dari sejarah bangsa.
“Situs sejarah sebagai Objek yang Diduga Cagar Budaya atau ODCB, dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Dengan demikian pemusnahan Situs Sejarah Rumoh Geudong adalah pelanggaran peraturan perundang-undangan yang nyata,” tegas Cut Putri.
Darud Donya juga meminta Pemerintah Pidie memerhatikan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 5 tahun 2020 tentang Pemeliharaan Situs Sejarah dan Cagar Budaya Dalam Perspektif Syariat Islam. Fatwa itu antara lain menetapkan bahwa, “Hukum menghilangkan, merusak, mengotori dan melecehkan nilai-nilai cagar budaya islami adalah haram”. Maka MPU Aceh menerbitkan Tausiyah yang meminta kepada Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota untuk melestarikan dan tidak menggusur situs sejarah dan cagar budaya dalam rangka pembangunan di Aceh.
Darud Donya meminta Pemerintah Pidie dan Pemerintah pusat berjiwa besar, sebagaimana jiwa besarnya bangsa Aceh “memerdekakan” Indonesia dari Belanda dulu. “Tanpa Aceh, Indonesia tidak akan ada”.
“Memandanglah dari sudut pandang yang positif, bukan dari sudut pandang dendam atau kesedihan. Mari kita kenang segala sejarah kelam itu sebagai bagian dari sejarah besar bangsa untuk pembelajaran bagi generasi penerus. Darud Donya meminta dibangun ulang Museum Genosida Rumoh Geudong, sebagaimana yang dilakukan negara-negara lain di dunia untuk mengenang kejamnya perang di negara mereka,” kata Cut Putri kepada Pemerintah pusat dan Pemerintah Pidie.
Pembangunan Museum Genosida Rumoh Geudong akan menjadi bagian wisata sejarah genosida di Aceh. Aceh adalah negeri yang kaya dengan sejarah, sehingga selain wisata religi, wisata sejarah di Aceh akan semakin bertambah lagi dengan adanya Museum Genosida Aceh.
“Selain itu Museum Genosida di Situs Sejarah Rumoh Geudong akan menjadi pusat pembelajaran dunia. Seluruh dunia akan datang ke Aceh untuk belajar akan jiwa besar kedua belah pihak dalam menciptakan perdamaian yang hakiki,” pungkas Cut Putri.[](red)