Oleh: Taufik Sentana
Peminat studi sosial-budaya.
(Benar Sabda Baginda Muhammad SAW atas hal ini, “Kalian dihidupi oleh orang-orang lemah di antara kalian”. Di sini ada pengakuan hak eksistensi mereka secara pribadi dan kultural. Tanpa memandang mereka sebagai orang rendah atau hanya akar rumput).
====
Sudah mafhum bagi kita bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan.
Bahasa mengandung makna cita dan rasa bahkan dapat dialih rupa dalam beragam bentuk kepentingan dan idiom khas.
Misal, kata “massa” dalam sistem sosial akan berbeda maknanya dalam hukum fisika. Begitupun kata “gaya” dalam pendekatan ekonomi akan berbeda maknanya secara kepemimpinan.
Sejatinya, bahasa merupakan kekayaan azali yang dimiliki manusia, itulah makna “Allamahul Bayan” yang disebut dalam Alquran. Dia (Allah swt) telah mengajari manusia kecakapan dialogis untuk memahami simbol-simbol komunikasi.
Dalam perjalanan peradaban manusia, kemampuan bahasa itu menjadi bentuk dominasi dan masyarakatnya menjadi subordinasi dari sistem bahasa itu: Tergantung bagaimana sistem nilai yang dianut masyarakatnya pula.
Maka benarlah istilah yang populer kita dengar, bahwa “Siapa yang memahami bahasa suatu kaum tentu ia akan selamat dari makarnya”.
Peradaban manusia tadi tak lepas dari perangkat kekuasaan. Maksudnya ada dominasi kekuasaan dalam dialek antarwarga dan lintaswarga (dunia).
Bahasa itu mewakili sinyal kekuatan dan penerimaan sosiologis. Bahkan juga menyembunyikan simbol-simbol khusus sebagai bentuk klasifikasi hirarki sosial.
Dibanding dengan gambar dan sistem audio, bahasa lisan ataupun tulisan memiliki tingkat kehalusan dan kerumitan sendiri. Walau sering diucapkan, “Satu gambar mewakili seribu kata”.
Sehingga dalam konteks peradaban dan kekuasaan tadilah muncul berbagai idiom dan simbol-simbol bahasa khusus.
Simbol-simbol Itu sebagai bentuk daya ungkap keadaan tertentu, atau eksistensi suatu entitas. Misalnya dalam hirarki/pranata sosial Aceh, ada istilah Teungku dan Teuku, Ulee balang dan sebagainya.
Adapun dalam idiom perpolitikan kita yang mutakhir belakangan ini, sering kita menyimak dan memperhatikan istilah “Akar Rumput” yang diucapkan oleh tokoh dan elit politik. Bahkan media!
Siapakah yang mungkin pertama sekali melestarikan ungkapan tersebut? Apakah akademisi, politisi?
Sehingga ungkapan Akar Rumput mengakar kuat dalam kesadaran publik tanpa menguji keabsahan penggunaanya kembali. Kita terlanjur menganggap bahwa itu hal yang biasa dan tak memengaruhi apapun.
Padahal ungkapan dan idiom idiom itu mewakili perlambangan abstrak dan paradigma tertentu. Bahkan memiliki sejarah tertentu pula hingga akhirnya menjadi kalimat publik/umum (seperti istilah “mafia”).
Memahami Akar Rumput
Dalam ulasan Wikipedia bebas, disebutkan bahwa istilah akar rumput atau dalam sebutan lain, akar umbi (bahasa Inggrisnya grassroots) merupakan suatu gerakan dari bawah, yang memanfaatkan masyarakat di sebuah distrik, kawasan atau komunitas terkecil sebagai dasar untuk kepentingan politik atau ekonomi.
Catatan Wikipedia itu menunjukkan, setidaknya istilah dan pembahasan tentang gerakan ini muncul era tahun 1960-an, mungkin ini bagian respon dari sistem kapitalisme Eropa saat itu, yang dianggap hanya memihak pada kaum elit/borjuis.
Pada tahap ini, organisasi akar rumput tersebut menggunakan tindakan kolektif dari tingkat lokal menuju perubahan dampak di tingkat lokal, regional, nasional atau bahkan internasional. Sehingga ditengarai bahwa jejaring mereka sangat kuat, walau hanya sebagai akar rumput.
Jadi sifat asli dari gerakan (pendukung) akar rumput ini, diasosiasikan dengan pembuatan keputusan dari bawah ke atas, bukan sebaliknya. Dan terkadang, perubahan ini dianggap lebih alami atau spontan ketimbang struktur kekuatan yang lebih tradisional.
Dalam ilustrasi ini, agaknya sejarah pergolakan Aceh dapat disebut sebagai gerakan akar rumput dengan serangkaian variabel yang panjang: kenyataannya negara lebih suka sebutan separatis untuk saat itu.
Bentuk Kepincangan
Bila sering kita mendengar ungkapan seperti ini: “Kami telah konsolidasikan hal ini hingga ke akar rumput.”
Kalimat itu bukan saja kehilangan makna dan sejarahnya yang otentik. Namun, lebih menitikberatkan pada kondisi “kasta”/level yang hanya bisa disebut akar rumput.
Adapun si pejabat elite tadi, layaknya disebut apa dalam hirarki sosial akar rumput? Mungkinkah ia disebut pucuk rumput, misalnya.
Tentu tidak, sebab dalam bangunan struktur politiknya, si akar rumput seakan terpisah dari arus kepentingan elitis. Akar rumput tidak hanya berbeda level, tetapi juga berbeda “gaya hidup”:/habitat.
Maka wajar, dalam skema paradigma akar rumput ini, masyarakat seakan tak lagi memiliki kedaulatannya setelah keterpilihan wakil-wakilnya. Sehingga suara-suara dari bawah itu (suara akar rumput) tak akan didengar.
Perlu diingat pula bahwa politik yang membangun paradigma akar rumput, idealnya, tidak berhenti pada bagaimana mereka dikelola (bukan dimanfaatkan) dan mereka mesti dikonsepkan untuk memahami kondisi mereka dengan penuh martabat, bukan transaksional.
Mereka bahkan harus berani mengambil posisi dan aksi nyata dalam rangka melakukan protes atau serangkaian perlawanan.
Bila tanpa konsepsi di atas, maka akar rumput dalam sebutan populer kita itu hanyalah bentuk ketimpangan sosial dan kenyataan pahit diskursus politik kita yang belum melihat wajahnya sendiri.
Aksioma Kelas Bawah
Pada tingkat hirarki sosial, sebagaimana merujuk pada kondisi kebangkitan Eropa, khususnya di Spanyol era kontemporer, kaum miskin di sana, misalnya masih menganggap bahwa mereka berhak untuk mencuri milik kaum kaya, dengan alasan bahwa kelimpahan beberapa orang tidak bisa dibenarkan ketika orang lain masih amat kekurangan.
Itulah aksioma yang paling murni, harapan inti untuk pemenuhan hak dasar yang bisa jadi tidak berdelik hukum dalam kasus kasus tertentu.
Artinya, politik yang beradab hendaklah mengangkat derajat mereka secara sosial dan intelektual.
Tidak memandang mereka (yang dianggap akar rumput itu) sebagai pijakan dan penghias taman kemakmuran belaka. Mereka disiram di kala perlu lalu dibiarkan, atau hangus di musim panas.
Padahal secara alamiah, kaum yang dianggap lemah (dilemahkan?) ini memiliki kekuatan sebagai penyangga jajaran elite yang berada di atas mereka.
Benar Sabda Muhammad SAW atas hal ini, “Kalian dihidupi oleh orang-orang lemah di antara kalian”. Di sini ada pengakuan hak eksistensi mereka secara pribadi dan kultural. Tanpa memandang mereka sebagai orang rendah (hanya akar rumput).
Maka untuk itu mesti ada sistem distribusi kemakmuran negara yang adil lewat lembaga lembaga khusus, lewat pola wakaf dan filantropi yang akuntabel.
Sesungguhnya bahwa tanpa dukungan rakyat kecil (mungkin sebutan ini lebih riil daripada sebutan akar rumput), kehidupan berbangsa kita akan mudah ambruk ketika ada guncangan politik.
Dan lebih bahaya lagi ketika “akar rumput” itu mengering, akan mudah sekali terbakar atau dibakar, demikian petikan Komarudin Hidayat dalam kolomya.
Sikap Egaliter
Atas dasar pikiran di atas tadi, dalam catatan terakota.id, Sosiolog Prof. Sayogyo, pada tahun 1990-an pernah mengusulkan untuk mengganti istilah akar rumput (grass root) menjadi akar padi (rice root/paddy root).
Prof Sayogyo sepertinya berusaha melakukan pembebasan bahasa dari belenggu dominasi dan karena bahasa bisa bersifat menindas.
Menurutnya, salah satu alasan mengapa rakyat kecil terus tertindas, yaitu karena mereka disebut “akar rumput” (grass root).
Kita tahu, rumput tumbuh di musim penghujan hanya untuk diinjak dan/atau menjadi pakan ternak. Sementara itu, saat rumput mengering di musim kemarau, ia akan mudah terbakar atau dibakar.
Memposisikan mereka yang di bawah dengan istilah akar rumput (grass root) sejatinya merupakan sebuah kekerasan simbolik.
Maka yang mesti ditumbuhkan kemudian adalah sikap egaliter dalam norma lokal kita. Bukan egaliterian bebas ala Prancis dan lainnya. Namun, suatu sikap moral yang mempersepsikan dan memprioritaskan kesetaraan sosial bagi semua orang.
Menurut laman Wikipedia, istilah egalitarian memiliki dua definisi yang berbeda.
Pertama, egalitarian sebagai doktrin politik bahwa semua orang harus diperlakukan secara sama dan memiliki hak politik, ekonomi, sosial dan sipil yang sama.
Kedua, egalitarian sebagai filosofi sosial yang mendukung penghapusan kesenjangan ekonomi.
Beberapa sumber ilmiah mendefinisikan egalitarianisme sebagai kesetaraan yang mencerminkan keadaan alami manusia.
Ciri utama gagasan egaliter modern adalah bahwa semua manusia adalah setara dalam nilai dasar atau status moral. Sehingga semua warga negara harus diberikan hak yang setara sesuai dengan nilai tinggi yang diakui bersama.
Sesungguhnya prinsip egaliter yang asli ini telah lahir jauh di abad 621 M saat model negara Madinah diproklamirkan hingga mewarnai Eropa dan di abad kegelapannya.[]